Gunung Es Bakteri Kebal Antibiotik pada Rantai Pangan
Pemerintah perlu memperketat pengawasan menyusul ditemukannya bakteri kebal obat pada daging ayam. Bagaimanapun, daging ayam menjadi sumber protein yang familiar bagi masyarakat.
JAKARTA, KOMPAS — Studi terbaru oleh tiga lembaga menunjukkan, bakteri yang kebal pada sejumlah jenis antibiotik ditemukan di usus dan daging ayam broiler dari rumah potong unggas dan gerai penjualan daging. Jumlah sampel yang diambil sangat terbatas, tetapi temuan itu diyakini ”puncak gunung es” terkait situasi resistensi antibiotik di rantai pangan masyarakat Indonesia.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bekerja sama dengan World Animal Protection (WAP) dan Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS) membuat Studi Resistensi Antimikroba (AMR) dalam Rantai Pangan Ayam Potong. Studi berjalan kurun November 2020-Mei 2021.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengingatkan, temuan bakteri kebal pada daging ayam broiler merupakan fenomena gunung es. Diperlukan identifikasi lapangan yang lebih luas untuk mengungkap kemungkinan adanya temuan-temuan lain.
”Yang terdeksi ini adalah potret secara snap shot. Bisa saja di lapangan lebih dahsyat dari apa yang terjadi,” katanya dalam keterangan pers di Jakarta, Jumat (16/7/2021) siang.
Manajer Kampanye Peternakan WAP Rully Prayoga menjelaskan, tim mengambil 120 sampel yang terdiri dari 30 sampel sekum (usus) serta 30 sampel karkas (daging) segar dari satu rumah potong hewan-unggas (RPH-U), dan 60 sampel karkas beku dari tujuh gerai penjualan. ”Kenapa enggak 1,2 juta (sampel), ya kita mau juga sih, cuma kan sangat mahal dan memang seharusnya negara yang membuat ini. Kami trigger aja gitu kan, supaya nanti negara bisa lebih banyak lagi sampelnya,” ujarnya.
Baca juga : Penyalahgunaan Antibiotik di Peternakan Ayam Broiler
Meski demikian, lanjut Rully, pengambilan sampel oleh tim yang hanya bersifat pemotretan masalah dan belum menjangkau secara keseluruhan itu sudah langsung menemukan bakteri AMR pada produk ayam. Selain itu, tim membatasi pengambilan sampel pada RPH-U dan gerai yang dinilai berpengelolaan baik.
Kriteria RPH-U, yakni unit usaha milik swasta, punya kapasitas pemotongan besar, berjejaring dengan banyak gerai, menyuplai daging ke wilayah Jabodetabek, serta bersedia mengikuti studi. Adapun gerai antara lain berkriteria tempat penjajaan produknya dilengkapi fasilitas penyimpanan dingin, memelihara sarana dan prasarana secara rutin, serta ada pemisahan area bersih dan kotor.
Tim pun memilih satu RPH-U PT Ciomas Adisatwa yang berafiliasi dengan PT Japfa Comfeed. Fasilitas yang telah memiliki sertifikat nomor kontrol veteriner (NKV) tersebut memasok karkas ke 120 gerai se-Jabodetabek.
Sampel ayam dari gerai diambil di lima gerai yang mendapat pasokan RPH-U itu, serta di satu gerai Prima Freshmart (PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk atau CPI) dan satu gerai PT Super Unggas Jaya (Suja). Untuk mengetahui ada-tidaknya bakteri resisten, bakteri Escherichia coli (E.coli) dari sampel-sampel itu diisolasi lantas diuji kepekaannya pada antibiotik oleh Balai Besar Penelitian Veteriner Kementerian Pertanian (BBLitvet Kementan) di Bogor.
Rully menyampaikan RPH-U dipilih yang sudah ber-NKV karena tim meyakini sistem NKV itu menjamin keamanan bahan pangan. ”Kami awalnya berasumsi, enggak ada ini bakteri yang kebal,” ujarnya.
Baca juga : Bakteri Kebal Obat pada Ayam dan Ancaman Pandemi Baru
Ternyata, bakteri kebal antibiotik tetap ditemukan. Dari 30 sampel sekum RPH-U, 21 sampel di antaranya berbakteri Eschericia coli (E. coli). Pengujian sensitivitas menunjukkan adanya resistansi bakteri terhadap lima jenis antibiotik, yakni terhadap meropenem sebanyak 67 persen (14 sampel), sulfametoksazol 48 persen (10 sampel), colistin 33 persen (7 sampel), siprofloksasin 24 persen (5 sampel), dan kloramfenikol 5 persen (1 sampel).
Sementara, isolat E. coli pada sampel karkas RPH-U kebal terhadap colistin 60 persen (12 sampel), sulfametoksazol 45 persen (9 sampel), siprofloksasin 20 persen (4 sampel), dan kloramfenikol 10 persen (2 sampel).
Adapun dari total 60 sampel karkas beku di tujuh gerai, 22 sampel di antaranya berbakteri E. coli dan 59 persennya (13 sampel) kebal terhadap colistin, 45 persen (10 sampel) kebal sulfametoksazol, 18 persen (7 sampel) kebal siprofloksasin, dan 9 persen (2 sampel) kebal kloramfenikol. Tidak ditemukan bakteri resistan meropenem pada karkas segar RPHU ataupun karkas beku gerai.
PT Japfa Comfeed selaku induk perusahaan dari PT Ciomas Adisatwa dalam keterangan tertulisnya menyatakan tengah mendalami dan menindaklanjuti hasil temuan ini. Japfa mengaku selama ini sudah menerapkan metode ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal) dan sistem keamanan pangan berstandar internasional. Mereka juga melakukan pengujian mikroba dan residu antibiotik pada daging ayam secara rutin untuk memenuhi persyaratan SNI.
Japfa juga menyatakan telah menerapkan tata laksana budidaya di kandang-kandang peternakan plasma mereka. Dalam pelaksanaannya, para pengelola peternakan selalu didampingi petugas lapangan perusahaan.
Pada satu gerai CPI, dari tiga sampel karkas yang memiliki E. coli, bakteri pada ketiga sampel kebal pada sulfametoksazol, bakteri pada satu sampel kebal kloramfenikol, dan pada satu sampel kebal siprofloksasin.
Menanggapi temuan itu, Senior Vice President Poultry Production dan Animal Health CPI, Jusmeinidar ”Jusi” Jusran, mempertanyakan metodologi pengujian, yakni bagaimana sampel diambil, dibawa, sampai diuji di laboratorium. Sebab, menurut dia, bukan tidak mungkin E. coli dari luar menempel pada daging, misalnya selama perjalanan dari gerai ke laboratorium.
Apalagi, E. coli penyebab penyakit ada di mana-mana, termasuk di lingkungan dan air. ”Bisa saja E coli itu ada karena cross contamination (kontaminasi silang). Itu yang mungkin perlu kita bahas atau kita lihat lebih jauh,” ucap Jusi.
Ia juga mempertanyakan temuan jenis antibiotik yang diketahui tidak kebal melawan bakteri dari daging di gerai CPI, contohnya siprofloksasin. Sebab, CPI selama ini tidak pernah memakainya, baik untuk pengobatan ayam di peternakan internal maupun ayam di kandang-kandang peternak plasma CPI. Berdasarkan data tahun lalu, perusahaan ini bermitra dengan 13.333 peternak plasma dari Sumatera hingga Papua, dengan 5.156 peternak di antaranya berlokasi di Pulau Jawa.
Residu antibiotik
Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Muhammad Munawaroh menuturkan, residu antibiotik menjadi isu yang tidak kalah penting untuk didalami. Perlu ada penelitian lebih lanjut mengenai residu antibiotik pada daging ayam.
Menurut Munawaroh, residu pada produk pangan ini jauh lebih berbahaya ketimbang bakteri resisten. Meski sudah melalui pemanasan, menurut dia, residu antibiotik ini tidak serta-merta lenyap.
”Kalau residu itu tidak hilang jika dipanasi, digoreng, tidak. Ada penelitiannya. Tapi kalau bakteri, insya Allah kalau digoreng, direbus pada suhu tertentu pasti mati,” ungkapnya.
Kalau residu itu tidak hilang jika dipanasi, digoreng, tidak. Ada penelitiannya. Tapi kalau bakteri, insya Allah kalau digoreng, direbus pada suhu tertentu pasti mati
Jusi dari CPI sependapat. Perusahaannya memastikan tidak ada residu antibiotik pada produk-produk mereka lewat pemilihan jenis antibiotik yang tepat serta kepatuhan pada waktu henti obat (withdrawal time). ”Tidak ada bahasan faktor penting bagi konsumen adalah residu antibiotika (di hasil studi),” ujarnya.
Namun, Jacqueline Mills, Head of Campaign Animals in Farming World Animal Protection, tidak setuju jika ancaman bakteri AMR di daging dianggap lebih ”kerdil” dibandingkan residu antibiotik. ”Anda bisa memasak daging dan itu bisa mengurangi risiko, tetapi tidak menghilangkan risiko, khususnya bagi anak-anak dan kelompok rentan lain,” katanya.
Menurut Mills, risiko besar bakteri AMR dari makanan terlihat dari data di sejumlah negara. Contohnya di Amerika Serikat. Berdasarkan laporan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) berjudul ”Antibiotic Resistance Threats in the United States” tahun 2019, Salmonella nontyphoidal diperkirakan mengakibatkan 212.500 kasus infeksi AMR per tahun dan 70 kematian per tahun.
Salmonella nontyphoidal dapat berpindah dari hewan ke manusia lewat makanan. Bakteri ini, antara lain, memicu diare, demam, dan kram perut. Beberapa infeksi bisa menyebar lewat darah dan bahkan berisiko menyebabkan komplikasi yang mengancam jiwa.
Menurut Tulus, pemerintah harus mampu menjamin daging ayam yang dikonsumsi oleh masyarakat merupakan produk pangan yang aman. Dalam hal ini, Kementerian Pertanian diminta untuk melakukan pengawasan yang lebih ketat.
”Konsumen tentu mempunyai keterbatasan untuk memilih dan memilah daging ayam yang aman bagi dirinya,” katanya.
Tulus mendorong agar Kementerian Pertanian memperbaiki regulasi yang mengatur tentang pemberian antibiotik di industri peternakan. Di sisi lain, perlu ada penindakan pada pelanggaran-pelanggaran yang terjadi demi menghindari potensi pelanggaran yang lebih masif.
Munawaroh mengatakan, PDHI sejauh ini sudah mendukung pemerintah dalam menyusun sejumlah aturan dan pedoman penggunaan antibiotik di peternakan. Hanya saja di tingkat pelaksanaan, pengawasan, dan sanksi belum diterapkan.
”Memang ini belum ada. Tidak ada suatu mekanisme bagaimana menghukum seseorang jika menggunakan antibiotik sembarangan,” katanya.