Beradaptasi Menghadapi Perubahan Iklim dengan Agrometeorologi
Dampak perubahan iklim telah membuat musim tidak menentu. Hal ini menyulitkan petani untuk menentukan masa tanam. Pemahaman tentang ilmu agrometeorologi diperlukan petani untuk beradaptasi dengan perubahan iklim.
Dampak perubahan iklim membuat musim tidak menentu sehingga menyulitkan petani untuk menentukan masa tanam. Pemahaman tentang ilmu agrometeorologi dapat membantu petani beradaptasi dengan perubahan iklim sekaligus mengindari terjadinya gagal panen.
Perubahan iklim merupakan salah satu ancaman sangat serius dan memiliki efek langsung serta tidak langsung pada sektor pertanian. Sebab, dampak perubahan iklim telah menyebabkan perubahan pola curah hujan, kekeringan, banjir, hingga redistribusi geografis hama dan penyakit. Hal ini akhirnya akan memengaruhi produktivitas pertanian, ketahanan pangan, dan kesejahteraan petani atau masyarakat umum lainnya.
Studi dari Cornell University, Amerika Serikat, yang terbit di jurnal Nature Climate Change, Mei 2021, menyebutkan, perubahan iklim memangkas produktivitas pertanian global hingga 21 persen selama 60 tahun terakhir. Angka ini setara dengan kehilangan sekitar tujuh tahun peningkatan produktivitas pertanian sejak tahun 1960-an.
Sementara studi para peneliti dari Aalto University, Finlandia, mengenai dampak perubahan iklim yang dipublikasikan di jurnal One Earth, Mei 2021, menyatakan bahwa ancaman terhadap pertanian sangat terasa di negara-negara Asia Selatan dan Tenggara serta Afrika. Bila tidak segera diatasi, hal ini akan mengancam sepertiga dari produksi pangan dunia.
Dalam riset sebelumnya, para peneliti dari Aalto University juga menghitung dampak sejumlah siklus iklim skala regional seperti El Nino-Southern Oscillation (ENSO), North Atlancic Oscilation (NAO), dan Indian Ocean Dipole (IOD) pada produktivitas 12 komoditas pertanian utama. Hasilnya, 67 persen produksi pertanian dunia dipengaruhi dinamika iklim ini (Kompas, 31/3/2018).
Di tengah dampak perubahan iklim yang makin nyata, upaya mitigasi dan adaptasi di sektor pertanian mutlak dilakukan oleh petani. Namun, berbagai faktor internal dan eksternal membuat para petani belum memiliki akses terhadap pengetahuan dan teknologi terbaru dalam upaya adaptasi perubahan iklim, termasuk memahami agrometeorologi.
Secara sederhana, agrometeorologi bisa diartikan sebagai ilmu yang mempelajari dan mempraktikkanpengaturan serta rekayasa terhadap berbagai sumber daya yang ada seperti air, tanah, dan udara. Rekayasa ini bertujuan untuk menghindari gagal panen atau mendukung kegiatan pertanian lainnya agar kesejahteraan petani meningkat.
Guru Besar Purnabakti Antropologi Universitas Indonesia Yunita Winarto mengemukakan, sejak dahulu petani lokal selalu belajar semua ilmu pertanian dari tradisi orang tua atau nenek moyang yang diperoleh secara turun-temurun. Dengan kata lain, pengetahuan mereka diperoleh dari pengalaman langsung melakukan praktik pertanian.
Baca juga: Petani Kecil Paling Rentan Terdampak Perubahan Iklim
”Petani mengelola pertanian berdasarkan pengamatan dari pancaindera dan menanam dengan tanda-tanda alam. Namun, tidak ada yang menginformasikan kepada mereka tentang kondisi iklim yang tengah berubah saat ini,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Ketangguhan Pangan: Literasi Petani untuk Tanggapi Perubahan Iklim”, Sabtu (28/5/2022).
Meski petani memiliki dasar pertanian yang diwariskan, Yunita memandang bahwa mereka tetap perlu mendapat pemahaman tentang agrometeorologi. Sebab, selama ini petani hanya melakukan repetisi atas strategi tanam yang dilakukan pada masa lalu dengan kondisi musim yang sama dan tidak mengetahui kondisi iklim di masa depan.
Selain itu, peningkatan kapasitas petani yang berbasis sains penting karena mereka kerap memperoleh pengenalan teknologi dan perangkatnya tanpa mengetahui risiko penggunaannya bagi eksosistem tanaman. Terpenting, petani juga kurang mendapat kemampuan analisis mengenali dampak iklim pada lahan dan tanaman.
Warung ilmiah lapangan
Salah satu upaya Yunita dengan dibantu pihak lainnya untuk memberikan literasi kepada petani yaitu dengan membentuk warung ilmiah lapangan. Warung ilmiah lapangan yang digagas oleh Yunita dan ahli agrometeorologi Wageningen University, Cornelius JStigterini merupakan kegiatan kerjasama di dunia ilmiah antara peneliti dengan petani.
Selain mencari upaya terbaik dalam menghadapi dampak perubahan iklim di bidang pertanian, kegiatan ini juga bertujuan menjadi seperti seorang peneliti. Dengan didampingi para ilmuwan dan petugas, petani mendapat pengayaan pengetahuan, kemampuan analisis dan antisipasi, serta dilatih dalam pengambilan keputusan.
Dalam kegiatan ini, para petani mendapatkan jasa layanan iklim seperti pengukuran curah hujan, pengamatan agroekosistem, evaluasi hasil panen, dan pengorganisasian kegiatan. Selain itu, diberikan juga penyebaran skenario musiman agar mampu melakukan antisipasi sekaligus membuka alternatif solusi bila terjadi masalah gagal panen.
Sejak diinisiasi pada tahun 2008 sampai saat ini, warung ilmiah lapangan telah membentuk tiga lokasi dampingan yakni Kabupaten Indramayu dan Sumedang (Jawa Barat) serta Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat). Setiap lokasi memiliki 193 stasiun pengamatan dengan jumlah anggota aktif 40 petani dan 35 petani pemandu.
“Petani perlu mendapatkan edukasi terkait pertanian berkelanjutan. Dengan begitu, mereka akhirnya bisa berdaulat dan mengantisipasi dampak perubahan iklim,” ungkap Yunita.
Baca juga : Hadapi Perubahan Iklim, Tantangan Pertanian Semakin Berat
Pemanfaatan data dan informasi iklim untuk mematangkan perencanaan tanam juga sudah dikembangkan Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (BPAH) Kementerian Pertanian sejak beberapa tahun lalu. Informasi iklim merupakan data cuaca dan data iklim yang sudah diolah menjadi informasi yang lebih aplikatif untuk pemanfaatan tertentu. Salah satu contoh informasi iklim yakni pola curah hujan.
Informasi iklim yang sudah diolah kembali dapat disajikan dalam dua jenis data, yakni data evaluasi dan prediksi. Data prediksi inilah yang dapat menjadi salah satu prakiraan guna menghadapi potensi kekeringan di suatu wilayah. Sementara dalam perencanaan tanam, data yang digunakan yaitu curah hujan untuk prakiraan awal musim hujan dan pola hujan.
Manfaat
Ketua Perkumpulan Petani Tanggap Perubahan Iklim Indramayu (PPTPI) Nurkilah merasakan secara langsung manfaat mempelajari agrometeorologi dan dampak perubahan iklim. Sebelum mendapat edukasi ini, ia mengaku bahwa petani hanya melihat tanda-tanda alam yang diperoleh secara turun-temurun.
Petani perlu mendapatkan edukasi terkait pertanian berkelanjutan. Dengan begitu, mereka akhirnya bisa berdaulat dan mengantisipasi dampak perubahan iklim.
“Setelah mempelajari agrometerologi, ternyata petani tahu bahwa iklim sudah berubah. Ada hujan tipuan yang menyebabkan gagal tanam dan kami akhirnya juga mempelajari ekosistem secara keseluruhan,” tuturnya.
Nurkilah merasakan langsung bahwa kesalahan mengantisipasi kondisi iklim dalam menimbulkan kerugian besar bagi petani. Sebagai contoh, petani semangka pernah mengalami gagal panen dan kehilangan modal sebanyak Rp 2,5 juta karena fenomena La Nina yang membuat curah hujan di atas normal. Padahal, dalam kondisi normal, petani semangka bisa mendapat keuntuangan hingga Rp 7 juta.
Ketelibatan para peneliti juga diakui Nurkilah membuat para petani memahami berbagai macam hama, penyakit tanaman, hingga cara pembasmiannya. Dengan mengetahui hal ini, para petani bisa menolak pengusaha yang menawarkan obat pembasmi hama atau penyakit yang tidak sesuai dengan peruntukan. Sebab, selama ini petani kerap tertipu dengan kualitas obat tanaman karena tidak memahami ekosistem yang ada di persawahan.
Advocacy Manager Climate Reality Indonesia Ari Wijanarko Adipratomo mengatakan, selama ini solusi untuk mengatasi perubahan iklim sangat berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, laporan terakhir dari Panel Antar-pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) telah memasukan aspek kearifan lokal dalam upaya menangani perubahan iklim.
Menurut Ari, kearifan lokal dibangun dan dibentuk berdasarkan kondisi setempat. Hal ini membuat upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim akan tepat guna karena sesuai dengan permasalahan di wilayah setempat dan mudah diterima masyarakat.
Baca juga : Inovasi Padi yang Adaptif Perubahan Iklim
Sebagai contoh, Chile merupakan salah satu negara yang fokus menanggulangi perubahan iklim berbasis kearifan lokal dengan memberdayakan pertanian lokal masyarakat suku inca hingga meningkatkan ketahanan pangan. Pada saat yang sama, Chile membangun energi terbarukan dengan penggunaan yang mencapai 22 persen.
“Manfaat mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dari tapak yang berbasis kearifan lokal ini harus terus digali. Bila terbukti bisa menyerap emisi, tidak menutup kemungkinan negara bisa mendapat manfaat moneter dari perdagangan karbon,” ucapnya.