Penghangatan global yang memicu kekeringan, salinitas, dan hama penyakit perlu diatasi dengan riset serta inovasi benih tanaman unggul.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemanasan global menjadi tantangan besar bagi pemenuhan pangan di Indonesia ke depan, di antaranya karena dapat menurunkan produktivitas padi secara signifikan. Dibutuhkan pengembangan berbagai varietas dan teknik budidaya yang mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang sedang terjadi.
”Kami berupaya mengembangkan berbagai varietas padi yang tahan terhadap berbagai kondisi lingkungan yang dipicu perubahan iklim, di antaranya terhadap salinitas, perubahan ketersediaan air, dan tahan hama penyakit,” kata Mastur, Kepala Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen) Kementerian Pertanian, di Jakarta, Selasa (16/3/2021).
Menurut dia, berbagai metode perakitan varietas unggul yang tahan perubahan iklim ini bisa dilakukan dengan pemuliaan konvensional hingga rekayasa genetika. ”Saat ini kami sedang melakukan penelitian di tiga provinsi, yaitu Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, dan Maluku Utara, untuk mengidentifikasi varietas tanaman pangan dan rempah yang bisa menjadi sumber daya genetik lokal untuk perubahan iklim,” tuturnya.
Di sisi lain, pertanian juga berkontribusi terhadap pemanasan global sebesar 10–14 persen dari total emisi gas rumah kaca global dan 18 persen dari total metana dari persawahan.
Dari Kalimantan Tengah, diharapkan akan diperoleh varietas padi dan umbi-umbian yang tahan pasang surut dan kadar keasaman tinggi. Selain untuk mempertahankan keragaman hayati, berbagai varietas lokal ini sangat penting untuk merakit benih unggul.
”Berbagai varietas lokal yang ditemukan akan dianalisis genomnya, apa yang menonjol, dan kemudian akan dirakit dengan berbagai varian lain,” ujarnya.
Tahan salinitas
Mastur mengatakan, BB Biogen telah berhasil merakit padi baru yang memiliki ketahanan terhadap lingkungan dengan salinitas atau kadar garam tinggi, yaitu Biosalin 1 Agritan dan Biosalin 2 Agritan. Dua varietas ini sudah dilepas sejak tahun 2020 dan diharapkan bisa dikembangkan petani di area pesisir yang terdampak instrusi air laut.
Rossa Yunita, peneliti BB Biogen, mengatakan, upaya perakitan Biosalin 1 Agritan dan Biosalin 2 Agritan telah dilakukannya sejak 2014. ”Saya menggunakan kombinasi mutasi dan seleksi in vitro atau kultur jaringan dari dua tetua, yaitu padi yang biasa ditanam petani, Ciherang dan Inpari13,” ujarnya.
Sebelum dilepas, menurut Rosa, dua varietas baru ini telah diuji coba ditanam di pesisir Cilacap, Indramayu, Subang, dan Meranti. Selain toleran terhadap salinitas, padi Biosalin 1 Agritan berumur sedang, moderat tahan terhadap wereng batang cokelat, hawar daun bakteri dan blas, serta memiliki mutu beras yang baik dengan tekstur nasi pulen. Padi ini memiliki potensi hasil 8.75 ton per hektar dengan rata-rata hasil di sawah dengan cekaman salinitas berkisar 7,16 ton per hektar.
Adapun Biosalin 2 Agritan memiliki potensi produktivitas dengan menghasilkan 9,06 ton per hektar dengan rata-rata di sawah dengan cekaman salinitas 7,62 ton per hektar. Tanaman ini juga bereaksi moderat terhadap virus tungro, agak tahan terhadap wereng batang cokelat dan hawar daun bakteri, tahan blas, serta memiliki mutu beras yang baik dengan tekstur nasi sedang.
Menurut Rossa, luas lahan pertanian di Indonesia yang terpengaruh salin diperkirakan sekitar 13,2 juta hektar dan akan terus meningkat akibat fenomena pemanasan global. ”Saya berharap, varietas baru ini bisa dikembangkan petani yang lahannya terpengaruh salin, seperti di Pantura (pantau utara) Jawa dan daerah-daerah lain,” ujarnya.
Peningkatan suhu
Mastur mengatakan, selain merakit padi yang adaptif terhadap kadar salin tinggi, saat ini juga diteliti padi yang lebih tahan penyakit blas yang dipicu oleh cendawan Pyricularia grisea. Penyakit padi ini diketahui semakin banyak menyerang seiring dengan pemanasan global yang memicu perubahan pola cuaca.
”Perubahan iklim memiliki banyak dampak. Salah satu tantangan besar ke depan adalah penemuan varian baru padi yang tahan terhadap peningkatan suhu, selain juga padi yang tahan cekaman kekeringan dan genangan banjir karena meningkatnya cuaca ekstrem,” kata Mastur.
Kajian tim peneliti dari Department of Agricultural and Resource Economics North Carolina State University yang dipublikasikan di American Journal of Agricultural Economics pada 4 Maret 2021 menunjukkan dampak buruk kenaikan suhu terhadap penurunan produktivitas berbagai varietas padi. Studi yang dilakukan berdasarkan 50 tahun (1966-2016) data cuaca dan hasil padi di di Luzon tengah, wilayah penghasil beras utama di Filipina (Kompas, 15 Maret 2021).
Studi tersebut meneliti varietas padi yang umum ditanam selama periode 50 tahun tersebut. Tiga varietas yang ditanam itu adalah padi tradisional, ”varietas modern awal” yang ditanam setelah permulaan Revolusi Hijau untuk hasil yang lebih tinggi, dan ”varietas modern terkini” yang dibiakkan untuk karakteristik tertentu, seperti tahan panas atau hama.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa dengan adanya pemanasan, varietas modern terkini memiliki hasil terbaik jika dibandingkan dengan varietas sebelumnya. Meski demikian, secara keseluruhan, keuntungan dari varietas yang dibiakkan untuk menahan peningkatan panas terlalu kecil atau kurang berdampak signifikan secara statistik.
”Makalah ini berimplikasi pada negara-negara penghasil beras lainnya, seperti Vietnam, karena waktu pelepasan berbagai varietas padi agak mirip dengan di Filipina,” kata Roderick Rejesus, profesor dan spesialis penyuluhan ekonomi pertanian dan sumber daya di North Carolina State University yang juga penulis jurnal itu.
Ia berencana untuk mempelajari lebih lanjut praktik dan inovasi pertanian lainnya yang mempengaruhi hasil panen. Itu termasuk meneliti tanaman penutup dan tanaman yang ditanam di lahan pertanian saat bukan musim tanam yang bertujuan untuk menjaga kesehatan tanah.
Sementara penelitian E Marie Muehe dari Stanford University dan tim yang dipublikasikan di jurnal Nature Communication pada November 2019 menemukan, dengan peningkatan suhu, mikroorganisme membuat lebih banyak arsenik yang melekat pada tanah. Hal ini menyebabkan lebih banyak toksin dalam air tanah yang tersedia untuk padi dan menghambat penyerapan nutrisi serta menurunkan pertumbuhan tanaman. Penurunan hasil panen 39 persen.
Kajian Sajid Hussein dari China National Rice Research Institute dan tim di Environment, Climate, Plant and Vegetation Growth (2020) menyebutkan, hampir 51 persen penanaman dan produksi padi akan berkurang di abad mendatang karena perubahan iklim global.
Di sisi lain, pertanian juga berkontribusi terhadap pemanasan global 10–14 persen dari total emisi gas rumah kaca global dan 18 persen dari total metana dari persawahan.