Hadapi Perubahan Iklim, Tantangan Pertanian Semakin Berat
Meskipun sektor pertanian mampu bertahan dan tumbuh di tengah pandemi Covid-19, tantangan ke depan semakin berat. Pertani ke depan menghadapi perubahan iklim, minimnya teknologi, dan infrastruktur pengairan.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Sektor pertanian tetap tumbuh meski pandemi Covid-19 melanda dunia, termasuk Indonesia. Namun, tantangan ke depan kian berat. Selain minimnya teknologi dan infrastruktur pengairan, perubahan iklim juga menjadi kendala. Inovasi dan kolaborasi berbagai pihak dibutuhkan.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyampaikan hal tersebut dalam peringatan Hari Pangan Sedunia Ke-41 di Gegesik, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Senin (25/10/2021). Turut hadir Dewan Pertimbangan Presiden Habib Muhammad Luthfi Ali Yahya, Wakil Bupati Cirebon Wahyu Tjiptaningsih, serta sejumlah bupati dan gubernur beberapa daerah via virtual.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, produk domestik regional bruto sektor pertanian pada triwulan II-2021 tumbuh positif 12,93 persen dibandingkan triwulan sebelumnya. Padahal, pada saat yang sama sektor lainnya tumbuh negatif akibat pandemi Covid-19.
Ekspor produk pertanian pada Januari-September tahun ini juga mencapai Rp 450 triliun atau tumbuh 45,36 persen dibandingkan periode yang sama pada 2020. Tahun lalu, kinerja ekspor produk pertanian mencapai Rp 451,8 triliun atau meningkat 15,79 persen dibandingkan tahun 2019 yang sebesar Rp 390,2 triliun.
”Di tengah pandemi, pertanian satu-satunya sektor yang terus tumbuh. Bahkan, melampaui capaian sebelum pandemi Covid-19,” ujar Syahrul. Hal ini menunjukkan bidang pertanian tetap dibutuhkan dan mampu bertahan meski perekonomian global goyah akibat wabah virus korona baru.
”(Namun), tantangan masih sangat panjang. Kita menghadapi perubahan iklim, anomali cuaca ekstrem,” ungkapnya. Masa tanam, misalnya, tidak lagi terpola karena perubahan cuaca. Musim tanam Oktober-Maret kini acap kali terlambat di beberapa tempat karena hujan belum turun. Begitu pun kemarau yang masih kerap turun hujan.
Syahrul telah meminta Badan Penelitian dan Pengembangan Kementan serta perguruan tinggi membuat riset yang beradaptasi dengan perubahan iklim. Misalnya, benih yang tahan terhadap musim kemarau dan mampu tumbuh saat hujan.
Tantangan lainnya adalah infrastruktur pengairan, seperti irigasi yang belum memadai. ”Di tengah-tengah krisis air ada yang kebanjiran. Ada saatnya kemarau yang tidak diperkirakan. Kita tidak mungkin menunggu irigasi besar, pemerintah daerah harus membuat embung atau inovasi lainnya,” ujarnya.
Di tengah-tengah krisis air ada yang kebanjiran. Ada saatnya kemarau yang tidak diperkirakan. (Syahrul Yasin Limpo)
Teknologi pertanian juga masih menjadi kendala. Syahrul mengakui, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terbatas untuk menyediakan alat dan mesin pertanian atau alsintan. Oleh karena itu, Kementan mendorong pemda juga mencari pendanaan untuk teknologi pertanian selain APBN dan APBD.
Terkait dengan itu, Syahrul telah meminta jajarannya agar menyiapkan program baru yang adaptif terhadap perubahan iklim serta memanfaatkan teknologi. ”Harus ada kelembagaan yang mengoordinasi krisis (iklim) itu. Harus ada agenda pasti juga,” ucapnya.
Wahyu Tjiptaningsih mengatakan, petani di Cirebon membutuhkan teknologi, seperti mesin panen padi dan alat tanam bibit. ”Ketersediaan tenaga kerja juga jadi masalah. Petani harus menunggu agar sawahnya dipanen. Akhirnya, kualitas gabah menurun,” ungkapnya.
Padahal, Cirebon mampu menghasilkan rata-rata sekitar 90.000 ton beras per tahun untuk masyarakat Cirebon hingga beberapa daerah di Jabar. Pihaknya menargetkan produksi gabah kering giling pada 2024 mencapai lebih dari 570.000 ton dengan luas tanam sekitar 93.000 hektar.
Kepala Perwakilan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) untuk Indonesia dan Timor Lester Rajendral Aryal via virtual mengatakan, pertanian yang berkelanjutan dibutuhkan. Saat ini, lanjutnya, lebih dari 3 miliar orang atau hampir 40 persen populasi dunia tidak mampu membeli makanan sehat dan berkelanjutan.
Di Indonesia, menurut dia, terdapat 27,67 persen anak di bawah usia tahun yang mengalami tengkes atau stunting. Secara global, sebanyak 811 juta orang kekurangan gizi. ”Namun, ada 2 miliar orang mengalami obesitas. Sistem pangan ini memperlihatkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan,” ujar Aryal.