Mengalami dorongan kuat untuk makan makanan manis, asin atau gurih tidak jadi masalah jika terjadi sesekali. Namun, jika berlangsung terus-menerus, bisa berbahaya bagi kesehatan. Perlu kiat untuk mengatasi hal itu.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·4 menit baca
Mengidam tak hanya terjadi pada orang hamil. Sebagian besar dari kita pernah mengalami dorongan kuat untuk mengonsumsi makanan tertentu alias mengidam (food craving). Umumnya berupa makanan manis, asin, atau berlemak tinggi. Mengidam bisa muncul kapan saja dan tidak selalu dipicu oleh rasa lapar. Jika terus berlangsung, bisa menyebabkan kegemukan serta mengundang berbagai penyakit.
Menurut laman Harvard School of Public Health, mengidam melibatkan interaksi faktor yang kompleks. Faktor-faktor itu berupa sinyal otak, perilaku yang menjadi kebiasaan, dan akses mudah ke makanan.
Penelitian pada hewan dan manusia menunjukkan, makanan yang merangsang wilayah penghargaan (reward regions) di otak mempengaruhi pilihan makanan dan perilaku makan kita. Saat kita makan makanan tertentu, neuron (sel saraf) di wilayah penghargaan menjadi sangat aktif, menimbulkan perasaan senang dan nyaman sehingga kita ingin terus-menerus menikmati jenis makanan terkait.
Makanan itu dilabel sebagai hyperpalatable (sangat lezat) karena mudah dicerna dan memiliki rasa manis, asin, atau gurih yang menyenangkan. Makanan hyperpalatable dapat merangsang pelepasan hormon-hormon metabolisme, stres, dan nafsu makan, termasuk insulin, kortisol, dopamin, leptin, dan ghrelin.
Saat makan, sejumlah hormon nafsu makan dilepaskan. Contohnya glukagon-like peptide dan cholecystokinin dari saluran pencernaan, serta leptin dari sel-sel lemak. Hal itu menyebabkan perasaan kenyang dan memberi sinyal pada otak agar tubuh berhenti makan. Sebaliknya, jika tubuh tidak menerima makanan selama beberapa jam, ghrelin dilepaskan dari lambung untuk memunculkan rasa lapar. Pada kondisi normal, orang akan makan saat lapar dan berhenti saat kenyang.
Penyebab mengidam
Ada sejumlah wilayah otak yang menjadi bagian dari sistem penghargaan. Namun, bagian penting dari otak terkait dorongan makan dan mengatur nafsu makan adalah hipotalamus. Pola makan normal diatur oleh respons otak di hipotalamus yang berukuran sebesar kacang ini lewat pelepasan zat kimia dan hormon yang berhubungan dengan stres, kesenangan, rasa sakit, dan kelaparan.
Saat mengonsumsi makanan yang bersifat hyperpalatable, senyawa kimia pembawa pesan antar sel saraf (neurotransmitter) dari hipotalamus, yakni dopamin, mengirimkan pesan ke saraf lain untuk memberi sinyal emosi positif terkait pengalaman menyenangkan.
Makan makanan enak yang merangsang wilayah penghargaan atau merangsang keluarnya dopamin diyakini oleh sejumlah peneliti menyebabkan perilaku makanan adiktif ataupun makan berlebihan secara emosional. Mereka yang mengalami stres berlangsung lama (kronis) dikaitkan dengan dorongan untuk makan makanan padat kalori tinggi lemak yang lezat. Sementara orang dengan stres mendadak (akut) cenderung tertekan nafsu makannya.
Hal ini sesuai laporan Ariana Chao dan kolega dari Universitas Yale, Amerika Serikat (AS), di Journal of Health Psychology, Juni 2015. Dari penelitian terhadap 619 orang dewasa didapatkan, stres kronik signifikan menimbulkan dorongan kuat untuk makan atau mengidam makanan. Akibatnya, orang yang stres menjadi gemuk atau indeks massa tubuhnya meningkat.
Stres juga menghasilkan hormon stres, yakni kortisol, lebih tinggi sehingga meningkatkan lemak perut. Karena itu, tanpa mengidam pun stres dapat menyebabkan kenaikan berat badan.
Tidur cukup membantu mengatur fungsi metabolisme. Sebaliknya, kurang tidur menyebabkan ketidakseimbangan kadar leptin dan ghrelin sehingga memicu mengidam.
Laporan Rachel Markwalda dan kolega dari Universitas Colorado, AS, di Proceedings of the National Academy of Sciences, 2 April 2013, mengaitkan kurang tidur dengan ketidakseimbangan hormon. Sebagai adaptasi fisiologis untuk menyediakan energi selama terjaga lebih panjang, orang yang kurang tidur cenderung makan lebih banyak. Umumnya makanan manis atau gurih. Akibatnya, berat badan naik. Peningkatan jumlah waktu tidur akan menyeimbangkan hormon, menurunkan asupan energi, terutama lemak dan karbohidrat, sehingga menurunkan berat badan.
Olahraga menurunkan kadar ghrelin yang merangsang nafsu makan dan meningkatkan leptin yang menekan nafsu makan serta peptida. Sementara obat-obatan seperti antidepresan, antipsikotik, dan steroid seperti prednison dapat meningkatkan nafsu makan dan berat badan.
Pada perempuan, fluktuasi hormon pada siklus menstruasi bisa memicu dorongan makan. Ketika kadar estrogen rendah dan progesteron tinggi, maka akan mengidam dan merasa kurang puas setelah makan. Saat kadar estrogen naik, kadar ghrelin akan turun, sementara efektivitas hormon penekan nafsu makan cholecystokinin meningkat sehingga merasa kenyang dan puas setelah makan.
Pada perempuan, fluktuasi hormon pada siklus menstruasi bisa memicu dorongan makan.
Penelitian terbaru dari Universitas Pittsburgh, AS, yang dipublikasi di Proceedings of the National Academy of Sciences, 20 April 2022, menyatakan, mikroba usus mempengaruhi pilihan dan dorongan makan terkait ketersediaan asam amino esensial.
Para peneliti, Brian Trevelline dan Kevin Kohl, mengamati 30 tikus yang dibiakkan tanpa memiliki bakteri usus (mikrobioma), kemudian diberi mikroba usus dari tiga spesies hewan pengerat liar yang memiliki diet alami berbeda.
Mikroba usus memproduksi zat yang mempengaruhi otak dalam menentukan makanan sesuai kebutuhannya. Salah satunya, asam amino esensial triptofan. Tikus dengan mikrobioma berlainan memiliki kadar triptofan berbeda dalam darah mereka dan cenderung memilih jenis makanan yang berbeda pula.
Untuk mengatasi mengidam makanan hyperpalatable, perlu disiplin menerapkan pola makan gizi seimbang. Makanan kaya protein dan serat memberikan rasa puas lebih lama. Hindari godaan makanan manis, asin dan gurih, baik melihat atau mencicipi. Jaga jangan sampai kelaparan agar tidak kalap saat makan. Usahakan meningkatkan dopamin dengan berolahraga, mengelola stres, membuat suasana hati gembira, dan cukup tidur.