Dokumen Strategi Konservasi Satwa Kunci Mendesak Diterbitkan
Belum adanya dokumen strategi dan rencana aksi konservasi (SRAK) satwa kunci sejak dua tahun terakhir bisa mengaburkan rencana dan arah penyelamatan satwa kunci tersisa. SRAK agar segera diterbitkan.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Kalangan konservasionis satwa menilai tingginya urgensi agar pemerintah segera menerbitkan dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi satwa-satwa kunci. Belum adanya SRAK sejak dua tahun terakhir dapat mengaburkan rencana dan arah penyelamatan satwa kunci yang tersisa.
Juru Kampanye Satwa Auriga Nusantara, Riszki Is Hardianto, menilai sangat pentingnya Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) untuk segera diterbitkan. Tanpa SRAK, aksi konservasi oleh para pemangku kepentingan tak berjalan terpadu. ”Di lapangan bisa jadi kehilangan arah karena tidak adanya SRAK. Aksi (konservasi) tidak terukur,” ujarnya, Kamis (28/4/2022).
Sebagaimana diketahui, SRAK harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) belum diterbitkan lagi sejak 2020. Adapun SRAK gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) digantikan menjadi Rencana Tindak Mendesak (RTM), tetapi mendadak dicabut kembali. Begitu juga SRAK orangutan yang sempat disahkan pada 2019 lalu dicabut lagi.
Riszki melanjutkan, situasi yang dialami harimau sumatera kian sulit karena menempati kantong-kantong habitat yang menyempit. Hampir 70 persen kantong yang dihuni harimau sumatera merupakan kawasan yang tidak dilindungi. ”Ini jadi salah satu faktor kenapa masih banyak kejadian membahayakan populasi harimau sumatera yang tersisa,” ujarnya.
Pada 2010, tambahnya, harimau sumatera masih ditemukan pada 27 kantong habitat. Namun, pada 2015, harimau hanya ditemukan pada 23 kantong. Terjadi kepunahan lokal pada empat bentang alam hanya dalam kurun 5 tahun.
Pada draf SRAK 2020 hingga 2029, konservasi harimau difokuskan pada perlindungan lanskap, termasuk di dalamnya pemantauan populasi, perlindungan populasi harimau dari perburuan, serta mitigasi konflik. Dielaborasi pula bagaimana upaya penanganan pada kantong-kantong habitat kecil.
Adapun dalam dokumen RTM Gajah Sumatera yang kemudian dicabut, diatur soal perlindungan satwa itu di alam dan penguatan kapasitas aparat penegakan hukum dalam memerangi tindakan kejahatan terhadap satwa liar, khususnya pada gajah. Ada pula penanggulangan dan adaptasi konflik manusia dan gajah secara efektif melalui optimalisasi pengelolaan barrier serta mendorong praktik hidup berdampingan antara manusia dan gajah.
Dari data itu, disebutkan kepunahan lokal telah terjadi pada lebih dari 20 kantong habitat, menyisakan 22 kantong populasi gajah dengan sebagian besarnya dalam keadaan kritis. Perburuan, pagar listrik, jerat, dan konflik menjadi penyebab langsung kematian gajah.
Sementara itu, menyusutnya habitat telah mendorong intensitas konflik dan perebutan ruang dengan manusia. Konflik antara manusia dan gajah tidak hanya menimbulkan kematian pada gajah, tetapi juga merenggut korban jiwa manusia.
Peneliti satwa dari Institute for Sustainable Earth and Resources (ISER) Universitas Indonesia, Sunarto, menilai dokumen SRAK satwa kunci sangat dibutuhkan untuk mengintegrasikan arah dan aksi konservasi para pemangku kepentingan. Dokumen SRAK akan mencerminkan sejauh mana komitmen Indonesia dalam menyelamatkan satwa tersisa.
Belum adanya dokumen komitmen bersama jangan sampai memperparah ancaman kepunahan satwa kunci tersisa. Begitu pula aturan turunan yang tegas perlu dibuat. ”Misalnya, mempertegas larangan pemasangan jerat satwa,” katanya.
Saat ini, lanjut Sunarto, ancaman terbesar satwa-satwa kunci berupa tingginya perburuan, menyempitnya habitat, serta meningkatnya konflik dengan manusia. Alih fungsi lahan menyebabkan habitatnya menyempit dan terpecah. Jika kondisi itu berlarut terjadi, konflik satwa dan manusia akan makin parah. Penanganan konflik pun jadi kian sulit.
Namun, ia mengapresiasi upaya-upaya emergency penanganan konflik belakangan ini, di antaranya lewat evakuasi satwa untuk mencegah korban. Juga penanganan hukum yang semakin kuat.
Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Jambi Bambang Irawan mengatakan, mitigasi di lokasi konflik manusia dan satwa juga harus cepat dilakukan agar kejadian tidak berulang terus. Pengelolaan hutan berkonsesi yang menjadi jalur jelajah satwa dilindungi, misalnya, perlu menyesuaikan kondisi lingkungan. Jika ditemukan ruang kelola yang merupakan jalur jelajah satwa, ruang itu perlu dimasukkan ke dalam zona konservasi.