Rabies di Flores dan Lembata Bisa Ditangani dengan Dana Desa
Anjing rabies di Flores dan Lembata, NTT, bisa ditangani dengan dana desa. Penanganan secara sporadis selama ini ibarat bom waktu. Anjing terus ”mobile” sehingga sulit ditangani tuntas.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
MAUMERE, KOMPAS — Dana desa di Pulau Flores dan Lembata, Nusa Tenggara Timur, bisa ditangani dengan dana desa. Setiap desa mengalokasikan anggaran Rp 15 juta per tahun, cukup membantu mengatasi rabies di desa itu. Penanganan rabies sejak awal kemunculannya, 1976, ibarat bom waktu. Rabies terus memakan korban setiap tahun. Ternak anjing memiliki sejumlah manfaat bagi pemilik.
Sekretaris Forum Penanggulangan Rabies Flores dan Lembata Asep Purnama di Maumere, Minggu (24/4/2022), mengatakan, Pulau Flores memilikidelapan kabupaten dan Kabupaten Lembata sehingga total sembilan kabupaten di dua pulau itu. Mobilisasi anjing dari desa ke desa di berbatasan antarkabupaten di Flores cukup tinggi sehingga kegiatan vaksinasi rabies pada anjing harus dijalankan secara serentak.
Salah satu cara yang dinilai cukup efisien adalah penggunaan dana desa. Setiap desa cukup menyisihkan Rp 15 juta per tahun sudah cukup untuk memberi vaksin pada sekitar 500 ekor anjing di desa itu. Menggunakan dana desa, warga lebih peduli bahwa vaksin itu tidak mubazir.
”Warga sendiri mengawasi dan bekerja sama dengan petugas dari dinas peternakan memberi vaksin kepada anjing peliharaan saat petugas datang ke rumah, anjing sudah siap divaksin,” kata Asep.
Dana desa itu mestinya dialokasikan setiap tahun sehingga proses pemberantasan rabies dilakukan secara berkelanjutan dan simultan, sampai virus benar-benar hilang di daratan Flores dan Lembata. ”Jangan ada desa yang lalai melakukan vaksinasi karena anjing dari desa itu atau desa lain saling berinteraksi. Jika kondisi seperti ini terjadi, upaya dari desa yang selama ini rutin melakukan vaksinasi sia-sia,”katanya.
Selama ini, sering terjadi saat petugas datang, pemilik anjing sedang membawa anjing ke kebun. Kegiatan vaksinpada anjing tidak bisa dilakukan petugas sendirian tetapi harus didampingi pemilik anjing. Dengan ini, setiap pemilik anjing memastikan jika anjing miliknya telah divaksin.
Populasi
Populasi anjing di Flores dan Lembata atau sembilan kabupaten berkisar 450.000-500.000 ekor dengan asumsi setiap kabupaten memiliki rata-rata 50.000 anjing per tahun. Data ini diperoleh sejak 2019. Setiap tahun populasi relatif tetap sama meski terjadi kelahiran sekitar 5.000 anjing per tahun. Ini, terjadi karena kematian akibat penyakit dan penyembelihan sebagai menu makan tetap tinggi.
Anjing rabies telah memakan ratusan korban. Setiap tahun 5-30 orang tergigit anjing rabies. Masyarakat sudah paham, korban gigitan anjing segera dibawa ke puskesmas terdekat sehingga segera ditangani.
Kami dukung asal kebijakan ini berlaku bagi semua desa. (Frans Duli Poli)
”Awal kemunculan rabies, jumlah korban tewas setiap bulan 10-30 orang. Namun, belakangan kasus kematian menurun karena pasien langsung dibawa ke puskesmas. Korban gigitan yang tidak ditangani petugas kesehatan pasti meninggal. Tahun 2021 masih ada duaatau tiga kasus kematian di Sikka akibat gigitan itu,” katanya.
Pemerintah kabupaten tidak bisa mengandalkan anggaran dari APBD karena sebagian anggaran dialokasikan untuk penanggulangan Covid-19 dalam dua tahun terakhir. Kalau ada vaksin pun, itu bantuan dari provinsi. Jumlahnya tidak mencukupi kebutuhan vaksinasi populasi anjing yang ada.
Tahun 2021, Pemkab Sikka, misalnya, mendapat alokasi vaksin sebanyak 3.500 dosis dari Pemerintah Provinsi NTT, sementara populasi anjing di daerah itu sekitar 50.000 ekor. Jumlah vaksin seperti itu tidak mampu mengatasi kasus rabies secara keseluruhan di Kabupaten Sikka. Karena jumlah dosis vaksin terbatas, kegiatan vaksinasi hanya terpusat di kota Maumere.
Tahun anggaran 2022, Pemprov NTT melalui dinas peternakan mengalokasikan vaksin rabies sekitar 8.000 dosis. Jumlah ini pun tidak mencukupi populasi anjing di daerah itu. ”Namun, jika ada dukungan dari dana desa, itu jauh lebih efektif,” kata Asep.
Gerardus Botu (60), pemilik lima anjing di Dusun Weruroret, Desa Nita, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, mengatakan, kelima anjing miliknya itu dimasukkan ke dalam kandang. Ini dilakukan untuk mengantisipasi paparan virus rabies dari kelima anjing itu. Anjing itu sengaja dipelihara untuk dijual, menjaga rumah, dan teman main bagi anak-anak.
”Disini, setiap hari, selalu ada orang datang mencari anjing untuk dibeli dari rumah ke rumah. Satu anjing dihargai Rp 300.000-Rp 700.000 tergantung berat anjing. Mereka yang belanja anjing untuk keperluan warung makan, restoran, dan pesta,” katanya.
Tokoh masyarakat Desa Mewet, Kecamatan Wotan Ulumado, Frans Duli Poli, mengatakan, anjing dipelihara warga turun-temurun. Anjing bermanfaat untuk menjaga rumah, menemani pemilik, berburu hama babi, sebagai pengganti nyawa atau tumbal jika tuannya terancam bahaya sakit atau kematian, dan dijual untuk menambah ekonomi keluarga.
Rabies itu muncul pada anjing ketika anjing tersebut hilang beberapa hari dari rumah atau desa itu, kemudian secara tiba-tibamenyerang orang, termasuk tuannya.”Virus rabies menyerang anjing kemungkinan saat anjing itu bergaul dengan anjing rabies dari desa tetangga,” ujarnya.
Anggota Badan Permusyawaratan Desa Mewet, Flores Timu,r itu pun mendukung wacana dana desa dimanfaatkan untuk pemberantasan rabies di setiap desa di Flores dan Lembata. ”Kami dukung asal kebijakan ini berlaku bagi semua desa,” kata Frans.