Berlomba Mengejar Kecepatan Berita Berisiko Mengorbankan Akurasi
Kecakapan jurnalis menjadi faktor penting untuk memastikan keakuratan informasi agar sesuai fakta. Berlomba mengejar kecepatan tanpa verifikasi ketat justru bisa menjadi bumerang bagi media dalam memproduksi berita.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transformasi digital menuntut kecepatan media massa dalam menyampaikan informasi atau berita. Namun, sering kali tuntutan itu justru mengorbankan akurasi. Verifikasi harus tetap dikedepankan untuk memastikan berita yang diproduksi tidak keliru.
Kecakapan jurnalis menjadi faktor penting untuk memastikan keakuratan informasi agar sesuai fakta. Berlomba mengejar kecepatan tanpa verifikasi ketat justru bisa menjadi bumerang bagi media sebagai penyelenggara saluran informasi kepada masyarakat.
”Informasi yang disampaikan di era digital memang lebih cepat dibandingkan sebelumnya. Namun, kecepatan informasi bisa mengorbankan keakuratannya. Begitu banyak berita tersebar, tetapi akurasinya perlu dicermati lebih dalam lagi,” ujar anggota Kelompok Kerja Pendidikan dan Pengembangan Profesi Dewan Pers, Lahyanto Nadie, dalam pelatihan jurnalis ”Danone Journalist Skill Up: Kelas Kebal Hoaks” secara daring di Jakarta, Senin (11/4/2022).
Lahyanto mengatakan, sering sekali portal berita daring menyajikan informasi secara cepat, tetapi cepat juga diralat. Bahkan, tidak jarang link berita sebelumnya dihilangkan tanpa ada permintaan maaf atau penjelasan kepada publik mengenai perbedaan informasinya.
Peningkatan kapasitas wartawan diharapkan membuat verifikasi informasi menjadi lebih ketat. Oleh karena itu, konfirmasi kepada narasumber atau sumber informasi kredibel tidak boleh dilewatkan.
”Kuncinya di edukasi. Bagi wartawan yang sudah mengikuti uji kompetensi, aspek akurasi menjadi hal sangat penting. Kalau tidak akurat, berarti tidak kompeten. Prosesnya panjang, tidak bisa instan,” jelasnya.
Menurut Lahyanto, dalam proses uji kompetensi, wartawan memastikan akurasi data dengan cukup ketat. Namun, setelah uji kompetensi itu, masih ditemukan penyajian informasi yang tidak akurat.
”Ketika mereka keluar jalur, kami akan mengingatkan. Koordinasi antara redaktur di kantor dan wartawan di lapangan juga mesti berjalan,” katanya.
Lahyanto menyebutkan, saat ini terdapat sekitar 12.000 wartawan yang telah mengikuti uji kompetensi. Kompetensi itu meliputi kemampuan memahami etika dan hukum pers, konsepsi berita, penyusunan dan menyunting berita, serta bahasa jurnalistik.
Selain berlomba cepat menyampaikan informasi, banyak media berorientasi mendongkrak traffic atau kunjungan ke portal berita. Imbasnya, artikel pendek dipecah menjadi beberapa halaman dengan menggunakan judul berita clickbait.
Pertumbuhan pers di Indonesia berkembang pesat pascareformasi 1998, dari sebelumnya 300 media menjadi sekitar 3.000 media, baik cetak maupun elektronik.
”Sekarang jumlahnya bisa sampai 100.000 media. Namun, yang terverifikasi (oleh Dewan Pers) baru sekitar 400 media. Ini salah satu cara kami mengingatkan, menulis berita harus akurat,” ucapnya.
Selain berlomba cepat menyampaikan informasi, banyak media berorientasi mendongkrak traffic atau kunjungan ke portal berita. Imbasnya, artikel pendek dipecah menjadi beberapa halaman dengan menggunakan judul berita clickbait.
”Perilaku mendewakan traffic ini ibarat buah simalakama. Traffic adalah mata uang hari ini. Tetapi, di sisi lain, banyak yang tidak nyaman dengan pendewaan itu,” katanya.
Di tengah derasnya arus informasi, media juga berhadapan dengan disinformasi atau hoaks. Oleh sebab itu, media harus menyediakan cek fakta untuk memverifikasi informasi yang beredar di masyarakat.
Menurut Lahyanto, media bisa mencerdaskan, tetapi pada saat bersamaan juga dapat membodohi masyarakat. Traffic memang berdampak terhadap iklan dan optimasi mesin pencari sehingga berujung pada pemasukan.
”Akan tetapi, apakah itu artinya artikel berita hanya yang ingin diketahui masyarakat? Atau ada hal bermanfaat yang disajikan media? Kreativitas selalu dituntut untuk menghasilkan konten berkualitas, tetapi juga bisa menemui pembacanya,” jelasnya.
Sejumlah media daring di Tanah Air berinovasi dengan menerapkan konsep berlangganan dengan konten berbayar. Media perlu meyakinkan pembacanya bahwa konten berbayar itu berbeda dengan konten yang bisa diakses secara gratis.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel A Pangerapan mengatakan, pesatnya perkembangan teknologi informasi perlu diikuti dengan peningkatan literasi digital warga. Apalagi, data Hootsuite (We Are Social) menyebutkan, jumlah pengguna internet Indonesia pada awal 2022 mencapai 204,7 juta orang, bertambah 2,1 juta orang dibandingkan setahun sebelumnya.
”Masifnya penggunaan internet di Indonesia membawa berbagai risiko, seperti penipuan daring, hoaks, dan konten negatif lainnya. Hal ini perlu diimbangi dengan kapasitas literasi digital mumpuni agar masyarakat memanfaatkan teknologi digital dengan produktif, bijak, dan tepat guna,” ucapnya.
Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho menuturkan, pihaknya mencatat 1.888 hoaks sepanjang 2021. Isunya beragam, di antaranya kesehatan, politik, kriminal, agama, dan bencana alam.
Hoaks tersebut menyebar di berbagai platform, seperti Facebook, Whatsapp, Twitter, Instagram, Tiktok, dan Youtube. Mafindo bekerja sama dengan sejumlah media daring dalam menyediakan layanan cek fakta yang dapat diakses masyarakat untuk memverifikasi informasi.
Sejumlah tools juga bisa digunakan untuk menelusuri kebenaran informasi, baik berupa narasi, foto, maupun video. ”Dengan begitu, wartawan bisa membantu masyarakat menghindari paparan hoaks tersebut,” ujarnya.