Lumpur PLTA Mrica Cemari Sungai Serayu, Ribuan Ikan Mati, Warga Kesulitan Air Bersih
Sungai Serayu tercemar lumpur yang digelontorkan Bendungan Mrica di Banjarnegara. Ribuan ikan mati dan warga kesulitan mendapatkan air bersih. Bupati Banyumas menyebut sebagai tragedi Sungai Serayu.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·5 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS – Aliran Sungai Serayu di Kabupaten Banyumas dan sekitarnya tercemar lumpur yang dilimpaskan PLTA Panglima Besar Jenderal Sudirman Mrica, Banjarnegara, Jawa Tengah. Akibatnya, beberapa hari terakhir, ribuan ikan mati dan perusahaan air minum daerah tidak bisa mengolah air baku dari sungai untuk memasok air bersih bagi 18.000 pelanggan.
Bupati Banyumas Achmad Husein menyebut hal itu sebagai tragedi Sungai Serayu. Ia menyayangkan PT Indonesia Power Mrica, pengelola Bendungan Panglima Besar Jenderal Sudirman Mrica, tidak berkoordinasi dengan pemerintah daerah sebelum melakukan penggelontoran lumpur.
Pantauan Kompas, aliran air dari Perusahaan Umum Daerah Tirta Satria Banyumas tidak mengalir sejak Kamis (7/4/2022) pagi hingga Jumat (8/4/2022) siang, misalnya di wilayah Perumahan Teluk, Purwokerto Selatan serta Desa Karangrau, Sokaraja. Sejumlah warga tampak menimba air dari sumur tetangga dan menyediakan ember di depan rumah untuk menerima distribusi air bersih dari mobil tangki air.
Selain itu ribuan ikan juga dilaporkan mati termasuk ikan endemik. ”Kemarin ditemukan juga ikan pelus dengan berat sekitar 16 kilogram mati,” kata pemerhati Sungai Serayu, Eddy Wahono. Akibat keruhnya air sungai, ribuan ikan endemik terancam punah. Ikan khas sungai itu adalah ikan yang disebut warga ikan baceman serta ikan bujur bosok, semacam ikan sidat dengan bentuk pipih serta terdapat motif totol batik yang khas.
Yuni Tri Rahmawati dari Humas Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Air Minum Tirta Satria Kabupaten Banyumas mengatakan, pasokan air minum warga Banyumas tersendat setelah Waduk Mrica melakukan flushing (penggelontoran). ”Lumpurnya ke Serayu semua. IPA (instalasi pengolahan air minum) Perumda tidak bisa produksi,” kata Yuni. Pihaknya memohon maaf kepada seluruh pelanggan. Perusahaan menyediakan mobil tangki yang berkeliling untuk mendistribusikan air bersih kepada pelanggan.
Sungai Serayu selama ini memang menjadi sumber air baku Perumda Air Minum Tirta Satria Banyumas untuk IPA Kejawar, IPA Kaliori, dan IPA Gunung Tugel. Akun media sosial perusahaan menyebut saat ini air Sungai Serayu mengalami tingkat kekeruhan sangat tinggi, yaitu 10.000 NTU (Nephelometric Turbidity Unit/tingkat kekeruhan air). Hal ini mengakibatkan IPA menghentikan proses produksi
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Banyumas Junaidi menyampaikan, pihaknya telah melakukan pengujian kualitas air Sungai Serayu. ”Banyaknya ikan mati atau mabuk di Sungai Serayu dimungkinkan karena tingginya kandungan padatan tersuspensi/TTS atau lumpur dan menurunnya kadar oksigen terlarut atau DO pada air di Serayu. Dugaannya ada pencemaran dari aktivitas usaha dan atau kegiatan lain,” katanya.
Pengujian yang dilakukan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Laboratorium Lingkungan Hidup pada Kamis (7/4/2022) menemukan adanya unsur yang melebihi ambang batas, antara lain kadar padatan tersuspensi (TSS) atau lumpur di Serayu berkisar antara 956 mg/liter sampai dengan 4.954 mg/liter. ”Kadar tersebut melebihi baku mutu atau ambang batas maksimum, yaitu 50 mg/liter,” kata Junaidi.
Selain itu, kadar COD (chemical oxygen demand) di Serayu berkisar antara 59,58 mg/liter dan 79,78 mg/liter, lebih tinggi dari ambang batas yakni 25 mg/liter.
Sementara kadar oksigen terlarut (DO) di Serayu berkisar 2,58 -2,78 mg/liter, atau kurang dari standar yakni 4 mg/liter. Kadar Nitrat berkisar 23,8-34 mg/liter atau melebihi ambang batas maksimal 10 mg/liter. Adapun kadar amoniak berkisar 1,5-7,25 mg/liter yang melebihi baku mutu atau ambang batas maksimal 0,2 mg/liter.
Junaidi juga menyebutkan bahwa turbidity atau kekeruhan di Sungai Serayu cukup tinggi, yaitu berkisar antara 710 mg/liter sampai dengan 1.267 mg/liter.
Karena itu, Achmad Husein pun memanggil jajaran PT Indonesia Power Mrica, Jumat, (8/4/2022) pagi. Husein menyebutkan masalah ini adalah tragedi di Sungai Serayu.
Husein juga menyampaikan kegeramannya terhadap pihak PT Indonesia Power Mrica karena menggelontorkan lumpur tanpa adanya koordinasi dengan daerah yang ada di hilir. Bupati pun meminta ganti rugi dari perusahaan berupa pemulihan ekosistem sungai.
”Karena ini adalah force majeure, kita memaklumi itu terjadi, tapi ini tetap salah karena tidak ada koordinasi dengan kita. Kalau ada koordinasi, kita bisa mempersiapkan terlebih dahulu, misalnya PDAM siap, masyarakat siap, dan diharapkan tidak sekeruh itu,” kata Husein.
General Manager PT Indonesia Power Mrica PS Kuncoro memohon maaf atas kesalahan tersebut dan berkomitmen akan merehabilitasi ekosistem di Sungai Serayu. Menurut Kuncoro, pihaknya dalam keadaan darurat melepaskan lumpur karena sedimentasi di bendungan yang berasal dari arah hulu, yaitu Dieng di Kabupaten Wonosobo, sudah mencapai 186 meter di atas permukaan laut. Lumpur pun dikeluarkan pada 31 Maret serta 6 April 2022.
Jika tidak dikeluarkan, hal itu bisa membahayakan kondisi bendungan. Kondisi ini merupakan kondisi darurat yang baru terjadi dalam kurun 33 tahun terakhir
”Kami tidak mengira bahwa akan terjadi longsoran (sedimentasi) tersebut. Kami atas nama manajemen Mrica PT Indonesia Power mohon maklum dan minta maaf kepada teman-teman dan masyarakat Banyumas karena kami telah menyusahkan rekan-rekan semua,” kata Kuncoro.
Pada awal bendungan dibangun tahun 1989, bendungan bisa menampung 148,29 juta meter kubik air. Akan tetapi, pada 2021 hanya bisa menampung 17,98 juta meter kubik air.
Rusak di hulu
Dalam pertemuan tersebut, Kuncoro juga menyebutkan sejumlah bencana tanah longsor dan banjir yang terjadi di Banjarnegara dan Wonosobo yang membuat material tanah berpotensi masuk ke Sungai Serayu. Kondisi bendungan pada 2006 disebutkan masih aman dari sedimentasi, tapi sedimenasi terus menumpuk hingga 2020.
Dari data yang dipaparkan, pada awal bendungan dibangun tahun 1989, bendungan bisa menampung 148,29 juta meter kubik air. Akan tetapi pada 2021 hanya bisa menampung 17,98 juta meter kubik air. Artinya terdapat 87,87 persen sedimen dan 12,13 persen volume air di bendungan ini.
Menurut Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Profesor Loekas Soesanto, daya dukung lingkungan yang kian lemah memicu rangkaian bencana. ”Memang daerah-daerah pegunungan Slamet ke timur sampai ke Dieng itu adalah tanah andosol. Tanah andosol itu tanah yang remah, subur jadi daya ikat terhadap air itu kurang,” kata Loekar.
Selain itu, penanaman tanaman di sana entah kentang atau sayuran lainnya tidak menggunakan sistem terasering. Jadi air hujan di atas langsung turun menyapu permukaan tanah sehingga tidak bisa dihambat aliran airnya. (Kompas.id, 11/3/2022).
Dari catatan Kompas, tahun ini saja terjadi longsor di puluhan lokasi di Kabupaten Wonosobo. Bahkan banjir bandang terjadi di Dieng yang letaknya di pegunungan karena drainase tidak mampu menampung volume air hujan. Daya dukung lingkungan yang kian rentan menjadi salah satu faktor pemicu bencana yang melanda bertubi-tubi.
Eddy Wahono berharap ada langkah pemulihan ekosistem yang hancur akibat limpasan lumpur itu, supaya nelayan sungai bisa tetap bekerja mencari ikan di sungai.