Tekan Risiko Kematian, Perawatan di Rumah Sakit Diutamakan untuk Pasien Komorbid dan Lansia
Rumah sakit-rumah sakit diminta menggelar ”karpet merah” dan merespons cepat pasien Covid-19 dengan komorbid. Dengan cara ini, diharapkan angka kematian bisa ditekan.
Oleh
NINA SUSILO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kematian dalam kasus-kasus Covid-19 galur Omicron masih didominasi pasien yang belum divaksin lengkap, memiliki komorbid, atau terlambat mendapat perawatan di rumah sakit. Karena itu, pasien-pasien yang memiliki komorbid akan dimudahkan untuk mendapatkan perawatan di rumah sakit.
Hal tersebut disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan serta Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin seusai mengikuti rapat terbatas terkait pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang dipimpin Presiden Joko Widodo secara virtual, Senin (21/2/2022).
”Rata-rata teman-teman (pasien Covid-19) yang meninggal memiliki komorbid, terutama diabetes melitus, terlambat datang ke rumah sakit, dan belum divaksin,” tutur Luhut saat menyampaikan keterangan kepada wartawan.
Meskipun beberapa provinsi, seperti Bali dan DKI, sudah menunjukkan tren penurunan kasus, diperkirakan angka kematian akan mencapai puncak dalam dua pekan.
Sementara itu, menurut Budi, dari pengalaman negara-negara lain, puncak angka kematian terjadi berkisar 15-20 hari setelah puncak kasus. Karena itu, meskipun beberapa provinsi, seperti Bali dan DKI, sudah menunjukkan tren penurunan kasus, diperkirakan angka kematian akan mencapai puncak dalam dua pekan.
Untuk mengantisipasi kejadian kematian, beberapa langkah disiapkan. Pertama, vaksinasi, terutama untuk warga lansia, dipercepat baik untuk dosis lengkap maupun penguat (booster). Kedua, Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan BPJS Kesehatan untuk mempercepat identifikasi pasien Covid-19 yang memiliki komorbid.
”Kerja sama dengan BPJS Kesehatan ini supaya semua (pasien) komorbid bisa segera diidentifikasi dan bisa segera diberi ’karpet merah’ di rumah sakit,” ujar Budi.
Menurut Luhut, perlunya membangun keterhubungan atau interkoneksi data antara BPJS Kesehatan dan pemerintah serta rumah sakit-rumah sakit, itu diputuskan dalam rapat pemerintah dengan para pakar dan pihak pengelola rumah sakit semalam sebelum rapat terbatas (ratas). Harapannya, ketika ada penambahan kasus, bisa langsung diketahui ada tidaknya komorbid pada pasien. Respons yang lebih cepat diharap bisa menghindarkan kematian.
Sejauh ini, menurut Budi, 13 provinsi sudah melampaui puncak kasus di galur Delta. Daerah-daerah tersebut adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Papua, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Maluku.
Dari jumlah tersebut, lima provinsi di antaranya sudah menunjukkan penurunan laju penambahan kasus harian. Kelima provinsi itu adalah DKI Jakarta, Bali, Banten, Maluku, dan Nusa Tenggara Barat. ”Daerah lainnya sedang di puncak atau menuju puncak (kasus),” tutur Budi.
Laju penularan di luar Jawa-Bali juga mulai meningkat. Apabila sebelumnya proporsi kasus di Jawa-Bali dan luar Jawa-Bali 97 persen berbanding 3 persen, kini menjadi 72 persen berbanding 28 persen.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah terus memantau dan mempersiapkan langkah untuk mengantisipasi puncak kasus di luar Jawa-Bali yang diperkirakan terjadi dua sampai tiga minggu ke depan. Sejauh ini, rasio hunian rumah sakit di beberapa provinsi mulai meningkat, seperti di Sumatera Utara 31 persen, Sulawesi Selatan 30 persen, Kalimantan Timur 29 persen, dan Sumatera Selatan 46 persen.
Lokasi isolasi terpusat (isoter) di luar Jawa-Bali saat ini sudah terisi 5,89 persen. Jumlah lokasi dan tempat tidur isoter juga masih bisa ditingkatkan dari saat ini 29.723 menjadi 48.799 tempat tidur.
Vaksinasi, baik di Jawa-Bali maupun luar Jawa-Bali, kembali dipercepat. Menteri Kesehatan mengatakan, masih sedikit provinsi yang sudah mencapai 70 persen untuk suntikan dosis kedua. Karena itu, percepatan vaksinasi dosis kedua ataupun booster dilakukan. Masyarakat diharapkan segera ke gerai vaksinasi dan menggunakan vaksin yang ada.
Selain itu, kata Airlangga, Presiden juga meminta telemedicine terus berjalan. Ketersediaan obat-obatan di pemerintah daerah dan apotek harus dipastikan. Sementara ketaatan protokol kesehatan ataupun percepatan vaksinasi di semua daerah harus terus diwujudkan.
Luhut menambahkan, dari level assessment PPKM yang telah disesuaikan dan memberikan bobot besar pada keterisian rumah sakit, saat ini sudah ada beberapa kabupaten/kota yang masuk level 4. Selain itu, banyak kabupaten/kota, seperti kawasan Solo Raya dan Semarang Raya, masuk level 3. Adapun wilayah aglomerasi Jabodetabek, Bali, DI Yogyakarta, Bandung Raya, Surabaya Raya, dan Malang Raya masih level 3.
Vaksinasi, baik di Jawa-Bali maupun luar Jawa-Bali, kembali dipercepat. Menteri Kesehatan mengatakan, masih sedikit provinsi yang sudah mencapai 70 persen dalam suntikan dosis kedua. Karena itu, percepatan vaksinasi dosis kedua ataupun booster dilakukan.
Tagihan
Terkait dengan pembayaran rumah sakit, Budi menjelaskan, sepanjang 2021 sudah dibayarkan tagihan senilai Rp 62,68 triliun. ”Saya percaya ini akan membantu cash flow rumah sakit-rumah sakit kita,” katanya.
Namun, masih tersisa tagihan 2021 senilai Rp 25 triliun yang belum dibayar. Anggaran yang disiapkan untuk membayar tagihan ini sebagian sudah selesai clearing BPJS dan diproses ke Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta Kementerian Keuangan. Persetujuan BPKP dan Kemenkeu diperlukan karena pembayaran tagihan ini sudah melewati tahun anggaran 2021. Namun, Budi meyakinkan sisa tagihan ini akan segera dibayarkan.
Adapun insentif tenaga kesehatan yang sudah dibayarkan sepanjang 2021 mencapai Rp 10 triliun. Diakui, insentif bulan Desember 2021 belum dibayarkan. Sebab, ada proses tutup buku.
Namun, saat ini sudah ada alokasi Rp 12 triliun dari Menteri Keuangan untuk membayarkan insentif tenaga kesehatan. ”Saat ini sedang finalisasi dan mudah-mudahan bulan ini bisa segera dibayarkan,” ucapnya.
Pemerintah Indonesia mengklaim selalu belajar dari pengalaman banyak negara dalam memahami, menganalisis, dan menentukan langkah terbaik dalam menangani pandemi Covid-19. Pemerintah Indonesia, kata Luhut, juga tidak akan latah atau ikut-ikutan untuk memberlakukan pelonggaran dan segera transisi ke endemi, seperti dilakukan Denmark, Inggris, dan Singapura.
”Kita akan melakukan transisi secara bertahap, bertingkat, dan berlanjut dengan berbasis data indikator kesehatan, ekonomi, dan sosial budaya serta terus menerapkan prinsip kehati-hatian,” tutur Luhut.
Evaluasi status menuju endemi terus dilakukan. Beberapa prakondisi yang menjadi pijakan pemerintah dalam menentukan transisi ini adalah tingkat kekebalan masyarakat yang tinggi, tingkat kasus yang rendah berdasarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kapasitas respons fasilitas kesehatan yang memadai, ataupun menggunakan surveilans aktif. Selain itu, lanjut Luhut, prakondisi ini juga harus terjadi dalam rentang waktu yang cukup panjang, stabil, dan konsisten. Konsep kriteria transisi dari pandemi menuju endemi terus disempurnakan bersama para pakar.
”Untuk dapat mencapai cita-cita transisi dari pandemi ke endemi, hal utama yang perlu dilakukan adalah menggenjot vaksin dosis kedua dan booster, utamanya untuk warga lansia,” ucap Luhut.