Praktik Perambahan di Perbatasan Sumsel-Jambi Selama 13 Tahun Terungkap
Satuan Tugas Polda Sumsel dibantu Tim Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengungkap kasus penebangan hutan secara ilegal di kawasan perbatasan Sumsel-Jambi yang sudah sejak 13 tahun lalu.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Satuan Tugas Polda Sumsel dibantu Tim Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengungkap kasus penebangan hutan secara ilegal di kawasan perbatasan Sumatera Selatan-Jambi yang sudah berlangsung sejak 13 tahun lalu. Enam orang ditetapkan sebagai tersangka dan 1.176 batang kayu hasil penebangan pun disita sebagai barang bukti.
Beberapa batang kayu yang sebagian besar berjenis kayu meranti tersebut diangkut ke Mapolda Sumsel di Palembang dengan menggunakan lima truk. ”Adapun sisanya dibiarkan mengambang di parit. Total ada sekitar 500 meter kubik yang kami temukan,” kata Direktur Polairud Polda Sumsel Komisaris Besar Yohanes Sismadi Widodo, Kamis (3/2/2022).
Kayu tersebut diangkut dari kawasan parit gajah yang menghubungkan kawasan hutan produksi terbatas (HPT) yang berada di Desa Pematang Raman, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, dengan lokasi pengangkutan yang terletak di Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
Di awal sebenarnya ada 18 orang yang ditangkap. Namun, setelah diperiksa, enam orang di antaranya ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah empat penebang, yakni R (50), A (20), E (27), dan D (35). Adapun dua orang lainnya, yakni MS (45) berperan sebagai sopir, dan MM yang berperan sebagai sopir serta mandor (pemberi upah). ”Mereka semua berasal dari Kabupaten Ogan Komering Ilir,” kata Yohanes.
Kasus ini terungkap pada Jumat (21/1/2022) lalu. Saat itu, sebanyak 30 orang petugas yang terdiri dari jajaran Polda Sumsel dibantu tim Gakkum KLHK, serta anggota TNI masuk ke lokasi perambahan. Butuh waktu tiga jam dari Jambi bagi petugas untuk masuk kawasan parit gajah dengan menggunakan kendaraan double gardan.
Sesampainya di sana, petugas langsung menyusuri parit gajah dengan menggunakan perahu ketek karena lebar parit hanya tiga meter. Dari hasil penelusuran sejauh 60 kilometer (km) didapati ratusan kayu yang dihanyutkan di parit sepanjang 13 km. Menurut rencana, kayu itu dihanyutkan dan diangkut lagi menggunakan truk. Lalu dikirim ke Palembang untuk kemudian dijual.
Dari hasil pengakuan para tersangka, ujar Yohanes, aktivitas ini dimodali oleh dua orang, yakni BT dan MA. Mereka memberikan modal awal kepada penebang selama menjalani aktivitasnya. Setelah kayu sudah ditebang dan diangkut mereka mendapat uang tambahan dengan upah yang beragam.
Untuk penebang akan diberikan uang sebesar Rp 1,1 juta untuk setiap meter kubik kayu yang diangkut dari lokasi penebangan ke truk pengangkut yang sudah menunggu di hilirnya. Sementara untuk sopir diberikan upah sebesar Rp 60.000 dari setiap meter kubik kayu yang mereka angkut.
Ini berarti perambahan hutan sudah merusak tempat tinggal mereka. Jika dibiarkan, hutan akan habis. (Toni Harmanto)
Atas perbuatannya, keenam tersangka dijerat dengan Pasal 37 angka 13 Ayat (1) huruf a dan b Undang Undang RI Nomor 11 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ancaman hukuman yang diberikan maksimal lima tahun serta denda paling sedikit Rp 500 juta hingga Rp 2,5 miliar.
Kepala Polda Sumsel Inspektur Jenderal Toni Harmanto menegaskan akan mengungkap praktik ilegal ini sampai ke aktor intelektualnya. Menurutnya, kasus ini harus benar-benar tuntas karena aktivitas ini sudah merusak lingkungan. Bahkan, dalam pengungkapan kasus di sana, ditemukan seekor harimau sumatera yang sedang menjelajah hutan.
”Ini berarti perambahan hutan sudah merusak tempat tinggal mereka. Jika dibiarkan, hutan akan habis,” kata Toni.
Dari hasil pengungkapan ini, diperkirakan kerugian yang ditanggung negara bisa mencapai Rp 3 miliar. Tidak hanya di hulu, kasus ini juga akan dikembangkan sampai para penadah kayu ilegal. Untuk itu, pihaknya juga akan bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menelusuri ke mana saja kayu ini dipasarkan.
Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan, Direktorat Jenderal (Ditjen) Gakkum KLHK Sustyo Iriono berkomitmen akan terus menelusuri dari mana kayu tersebut didapat. Jika aktivitas ini dibiarkan dikhawatirkan akan menyebabkan laju deforestasi semakin besar dan berdampak pada sejumlah bencana hidrometeorologi.
Untuk sementara, ujar Sustyo, kayu ini memang didapat dari kawasan HPT, tetapi bukan tidak mungkin, kayu juga berasal dari Kawasan Hutan karena kawasan tersebut terhubung juga dengan sejumlah taman nasional. Di antara Sumsel dan Jambi ada juga Taman Nasional Berbak Sembilang dan Taman Nasional Kerinci Seblat dan sejumlah kawasan hutan konservasi.
Dikatakan, kayu yang dirambah dari hutan di perbatasan Sumsel-Jambi ini dipasarkan di Palembang, Tangerang, sampai Jakarta. ”Kayu ini sangat bagus digunakan untuk dibuat kusen,” ujarnya.
Beragam cara dilakukan agar kayu ini bisa dipasarkan dimulai dengan membuat dokumen palsu atau menggunakan dokumen kayu legal yang sudah pernah dipakai berkali-kali. ”Untuk mencegah hal ini tidak berulang, pengawasan di setiap titik pemeriksaan akan diperketat termasuk dan memberikan sanksi hukum pada semua pelaku yang terlibat terutama aktor intelektualnya,” tegas Sustyo.