Konflik Agraria di Sumsel Dipicu Permasalahan Status Lahan
Masih maraknya konflik agraria di Sumsel tidak lepas dari belum jelasnya data terkait status lahan. Terhitung ada sekitar 20 persen area lahan di luar kawasan hutan di Sumsel yang belum memiliki status yang jelas.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Konflik agraris di Sumatera Selatan dipicu status lahan hingga pengaruh korporasi dalam pengambilan keputusan. Pembenahan data sangat dibutuhkan agar penyelesaian konflik terkait masalah ini tetap mengacu pada asas keadilan.
Hal itu menjadi benang merah seminar bertajuk ”Peran Serta Jurnalis sebagai Pionir Pengawal Kebijakan Gugus Tugas Reforma Agraria Sumsel”, di Palembang, Selasa (11/1/2022).
Ketua Gerakan Kebangkitan Petani dan Nelayan Sumatera Selatan Anwar Sadat menilai, munculnya konflik agraria dipicu tidak adilnya skema pengelolaan lahan antara korporasi dan warga. Di Sumsel, dari 8,8 juta hektar lahan di Sumsel, sekitar 70 persen atau sekitar 6,2 juta hektar dikuasai korporasi.
Korporasi biasanya bergerak di bidang pertambangan, perkebunan, dan perizinan kehutanan. Hal ini membuat warga terpaksa menyingkir karena tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat.
”Semua penyelesaian konflik agraria hanya mengacu pada hukum administratif. Kondisi inilah yang membuat rakyat kalah,” kata Anwar.
Kondisi ini dibarengi ketidakjelasan data mengenai jumlah konflik dan langkah penyelesaiannya. Berdasarkan data Walhi Sumsel dan sejumlah lembaga bantuan hukum, ujar Anwar, tercatat ada 24 kasus konflik lahan sepanjang 2020-2021. Sementara Polda Sumsel menyebut ada 33 kasus konflik lahan pada tahun 2021.
”Hanya saja tidak ada satu pun data yang membeberkan mengenai kasus mana saja yang telah terselesaikan,” kata Anwar.
Padahal, keterbukaan informasi mengenai penyelesaian konflik agraria dapat dijadikan acuan mencari solusi bersama. ”Setidaknya ada cerita sukses yang bisa dijadikan pegangan,” ujarnya.
Di samping itu, perlu ada lembaga khusus yang berisi semua pemangku kepentingan untuk fokus menyelesaikan konflik lahan di Sumsel. ”Jangan sampai ada masalah lahan di Sumsel yang tidak terselesaikan bahkan sampai puluhan tahun,” ujar Anwar.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Pelopor, mengatakan, sekitar 20 persen areal di luar kawasan hutan di Sumsel belum memiliki pendataan jelas. Kondisi ini kerap menimbulkan konflik, baik di antara warga maupun korporasi.
Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK 454/MNLH/SETJEN/PLA2/2016, luas kawasan hutan dan konversi perairan Provinsi Sumatera Selatan sekitar 3,4 juta hektar. Adapun total luas lahan di Sumsel sekitar 8,8 juta hektar. Dari 5,4 juta hektar lahan di luar kawasan hutan, ada sekitar 20 persen yang belum terdata dengan baik.
Ketidakjelasan data inilah yang menjadi akar masalah konflik lahan yang terjadi di Sumsel. Yang paling mendominasi adalah saling klaim antarpihak yang berkonflik. Melihat situasi ini beragam upaya dilakukan, terutama mempercepat proses pendataan lahan dengan melibatkan kementerian terkait.
Terbaru adalah pendataan lahan yang dilakukan Kementerian ATR/BPN dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kedua pihak menata ulang batas lahan antara kawasan hutan, termasuk hutan produksi yang bisa dikonversi dengan areal di luar kawasan hutan.
Di sisi lain, ujar Pelopor, pihaknya berkomitmen mempercepat proses pendaftaran lahan sehingga tanah yang diduduki memiliki kejelasan dan kekuatan hukum. ”Kalaupun pada kemudian hari terjadi konflik, kita akan mengetahui cara apa yang bisa digunakan untuk menyelesaikannya,” ujarnya.
Pelopor pun berkomitmen untuk membentuk rencana kerja jangka pendek dengan fokus dalam penyelesaian beberapa kasus sehingga secara bertahap masalah agraria di Sumsel dapat diselesaikan.”Peran pegiat dan akademisi sangat dibutuhkan untuk membuat kebijakan lebih lanjut,” ujar Pelopor.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sriwijaya Alfitri menuturkan, konflik lahan tidak pernah berhenti, bahkan sejak Indonesia belum merdeka. Sampai sekarang, belum ada solusi yang jelas untuk menyelesaikannya.
Dia mengatakan, ada upaya pemerintah menyelesaikan konflik dengan membuat berbagai regulasi, termasuk reformasi agraria pada tahun 1960-an. Namun, upaya itu tidak berjalan mulus. ”Berbeda dengan Korea Selatan yang melakukan hal serupa dan kini bisa bermuara pada pertumbuhan ekonomi,” ujar Alfitri.
Kini, beragam upaya sudah dilakukan, termasuk program perhutanan sosial. Namun, program itu tidak seutuhnya menyelesaikan konflik lahan. Warga selalu harus mengalah karena kekuatan pemodal. Di sisi lain, Alfitri mengakui ada saja warga yang tergiur iming-iming perusahaan.
Ke depan, dia berharap, pemerintah mencari cara agar perusahaan yang sudah melakukan eksploitasi lahan mau berbagi dengan masyarakat. Apabila hal itu dilakukan, dia yakin konflik bisa ditekan.