Pandemi, Pelecehan Seksual Pun Terjadi di Fasilitas Kesehatan
Pelecehan seksual bukan lagi hal yang asing bagi masyarakat. Meskipun sudah banyak yang menjadi korban, hingga kini masih sulit menjerat para pelaku karena sampai saat ini belum ada payung hukum yang kuat.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
Pelecehan seksual menjadi salah satu potret buram yang mewarnai masa pandemi Covid-19. Tidak hanya semakin meningkat dan berbahaya, situasi pelecehan seksual di tengah masyarakat juga kian parah dan menyebar ke berbagai ruang kehidupan masyarakat, termasuk di fasilitas kesehatan terkait dengan penanganan Covid-19.
Hasil survei Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA), yang merupakan gabungan dari berbagai organisasi dan komunitas, yakni Hollaback! Jakarta, perEMPUan, Yayasan Lentera Sintas Indonesia, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (Jakarta Feminist), dan Dear Catcallers Indonesia, pada akhir 2021 menemukan pelecehan seksual masih banyak terjadi di ruang publik fisik (luring), bahkan meluas hingga ke ruang-ruang digital (daring).
Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik selama Pandemi Covid-19 di Indonesia dilaksanakan secara nasional selama 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) pada November-Desember 2021, didukung oleh Rutgers WPF Indonesia dan diikuti lebih dari 4.000 responden yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia.
”Selama pandemi Covid-19, lokasi terjadinya pelecehan seksual semakin meluas, bahkan terjadi di ruang terkait kesehatan dan Covid-19. Fasilitas kesehatan, lokasi pemeriksaan tes, dan tempat karantina pasien Covid-19 juga dilaporkan responden menjadi tempat terjadinya pelecehan seksual. Bahkan, 44 responden melaporkan bahwa pelaku pelecehan adalah tenaga kesehatan,” ujar Anindya Vivi mewakili KRPA pada Peluncuran Hasil Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik Selama Pandemi Covid-19, Senin (31/1/2022), secara daring.
Dari survei tersebut ditemukan, selama pandemi, walaupun ada banyak pembatasan interaksi dan aktivitas di ruang publik, pelecehan seksual di ruang publik masih kerap terjadi. Sebanyak 4 dari 5 responden perempuan mengalami pelecehan seksual dan 3 dari 10 laki-laki mengalami pelecehan seksual. Sementara 83 persen responden (non-binary, transpuan, transpria, dan identitas jender lainnya) juga mengalami pelecehan seksual saat pandemi.
Bentuk pelecehan yang paling sering dialami secara luring adalah siulan/suitan (67 persen), komentar atas tubuh (31 persen), main mata (29 persen), komentar seksis/seksual (26 persen), diklakson (24 persen), dan disentuh (20 persen). Sementara bentuk pelecehan yang paling sering dialami secara daring ialah dikirimi konten foto atau video intim/pornografi/alat kelamin (21 persen); komentar seksis/seksual 20 persen; komentar atas tubuh 17 persen; dipaksa kirim foto atau video intim pribadi 11 persen; dan dikuntit 7 persen.
Adapun lokus peristiwa pelecehan seksual paling banyak terjadi di ruang publik seperti jalanan umum atau taman (70 persen responden); kawasan permukiman (26 persen); transportasi umum, termasuk sarana dan prasarananya (23 persen); toko, mal, dan pusat perbelanjaan (14 persen); dan tempat kerja (12 persen).
Di ranah daring, pelecehan seksual paling tinggi terjadi di lima ruang daring, yaitu media sosial (42 persen); aplikasi chat (33 persen); aplikasi kencan daring (9 persen); ruang permainan virtual (4 persen); dan ruang diskusi virtual (2 persen).
Pelaku pelecehan seksual meliputi orang tak dikenal, teman, rekan kerja, penyedia jasa transportasi, tetangga, dan anggota keluarga. Para korban pelecehan mengaku merasa tidak nyaman, kesal, dan marah. Bahkan, beberapa responden juga mengaku merasa depresi hingga terpikir untuk bunuh diri.
Tak hanya itu, survei menemukan insitusi pendidikan masih menjadi ruang yang tidak aman dari pelecehan seksual. Paling banyak terjadi di lingkungan kampus atau sekolah fisik (427 responden) dan terjadi di ruang sekolah atau perkuliahan virtual (57 responden).
Sebanyak 134 responden melaporkan bahwa pelaku pelecehan adalah guru/dosen. ”Pelecehan seksual pada saat pandemi adalah isu besar yang harus kita respons dengan serius. Sebab, hal itu mempersulit masyarakat hidup di tengah krisis oleh pandemi Covid-19,” kata Rastra Yasland dari KRPA.
Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memberikan apresiasi terhadap hasil survei yang dilakukan KRPA. Sebab, survei tersebut mematahkan mitos pelecehan seksual yang selama ini dipercaya masyarakat.
Selama ini korban yang dipersalahkan sebagai penyebab terjadinya pelecehan seksual dipercaya tidak terjadi di ruang publik dan tidak berdampak terhadap korban. ”Survei tersebut juga membuktikan bahwa tidak ada hubungannya cara berpakaian, tempat di mana korban berada, ataupun perilaku korban dengan pelecehan seksual yang diterimanya,” kata Siti Aminah Tardi, komisioner Komnas Perempuan, Selasa (1/2/2022).
Lebih dari itu, lanjut Aminah, survei KRPA menunjukkan pengalaman perasaan para korban, yaitu tidak nyaman, kesal, atau marah. Dampak jangka panjangnya akan menyebabkan korban merasa terbatasi untuk melakukan aktivitas di ruang publik, termasuk siber.
Di fasilitas kesehatan
Hasil survei KRPA juga harus menjadi perhatiaan serius dari Tim Satgas Covid-19 mengingat hasil survei tersebut menemukan pelecehan seksual selama pandemi Covid yang terjadi di fasilitas kesehatan, lokasi pemeriksaan tes, dan tempat karantina pasien Covid-19. Tim satgas diminta mengembangkan mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di sarana dan fasilitas kesehatan tersebut.
Bangun sistem perlindungan
Hasil survei KRPA sebenarnya menguatkan dan melengkapi berbagai survei dan data lembaga lain. Bahkan, terkait dengan pelecehan seksual di dunia pendidikan, sebelumnya sudah ada data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 2021 yang menemukan ada 18 kasus kekerasan seksual yang pada periode 2 Januari-27 Desember 2021.
KPAI, melalui pemantauan kasus yang dilaporkan keluarga korban kepada pihak kepolisan dan diberitakan oleh media massa, mendapati, dari 18 kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan, sejumlah 4 atau 22,22 persen dari total kasus terjadi di sekolah di bawah kewenangan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan 14 atau 77,78 persen terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama (Kemenag).
Untuk mencegah hal tersebut berlanjut, KPAI mendorong Kemendikbudristek dan Kemenag membangun sistem perlindungan terhadap peserta didik selama berada di lingkungan satuan pendidikan dengan sistem berlapis, terutama pada satuan pendidikan berasrama.
Bahkan, KPAI mendorong satuan pendidikan harus berani mengakui dan mengumumkan adanya kasus kekerasan seksual di lingkungan satuan pendidikan disertai permintaan maaf. ”Jangan ditutupi dengan menganggap sebagai aib, tetapi wajib melaporkan kepada pihak kepolisian agar pelaku diproses hukum sehingga ada efek jera dan tidak ada korban lagi di satuan pendidikan tersebut,” papar komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Lisyarti.
Survei KRPA dan KPAI, dan lembaga lainnya, kini semakin menegaskan betapa pentingnya dan mendesaknya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dibahas dan disahkan menjadi undang-undang. Pelecehan seksual merupakan salah satu tindak pidana yang akan diatur dalam RUU tersebut, yakni tindak pidana pelecehan seksual fisik; pelecehan seksual nonfisik; dan pelecehan seksual teknologi informasi.
Karena itu, menjadi penting untuk memastikan ketiga tindak pidana pelecehan seksual ini dipertahankan oleh pemerintah dan DPR dalam pembahasannya. Maka, publik diharapkan aktif mengawal proses legislasi RUU TPKS di DPR agar semakin cepat disahkan.