Korban Pelecehan Seksual Berani Bersuara
Saat ini, banyak korban pelecehan seksual yang berani bersuara. Mereka juga mendapatkan pendampingan dari kampus.

CAHYO HERYUNANTO
Korban pelecehan seksual mulai bersuara, berani membuka kedok para pelaku untuk dibawa ke ranah hukum. Mereka ingin pelaku menghentikan aksinya. Kampus pun mulai bergerak menangani kasus pelecehan seksual, seperti di Universitas Airlangga, Surabaya, dan Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Tak bisa dimungkiri, kejadian pelecehan seksual sering terjadi di sekitar kita. Pelakunya bisa anggota keluarga, teman dekat, atau orang lain. Namun, ketidaktahuan dan minimnya empati kepada sesama membuat banyak orang tak merasa telah melakukan pelecehan. Padahal, korban menanggung beban malu, tersakiti, dan trauma sehingga memisahkan diri dari orang lain. Beban fisik dan mental itu terbawa selamanya jika tak segera mendapat penanganan psikologis.
Chrispinus Bimo Pinandhito, mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Jakarta, bertahun-tahun menjadi korban pelecehan seksual saat di SMA. Ditho, demikian panggilannya, bukan tak mencoba menyatakan protes atas perlakuan teman sekolahnya, lelaki ataupun perempuan, yang sering menepuk bagian tubuhnya.
”Saya selalu minta mereka menghentikan kebiasaan itu karena saya tidak suka, malu, dan risi. Apalagi, mereka melakukan itu di depan banyak orang. Ketika saya menegur, jangan gitu lagi, saya enggak suka, eh, mereka malah menertawakan saya,” ujar Ditho, Senin (15/11/2021), di Jakarta.
Tak hanya kelompok kawan yang melecehkan yang tertawa, anak lain juga tertawa, menilai kejadian itu lucu. ”Jangan marah, kita kan bercanda aja, ha-ha-ha,” kata Ditho menirukan jawaban kawan yang melecehkannya. Yang mengherankan dirinya, bahkan kawan perempuan yang ikut menepuk bagian tubuhnya ikut tertawa.
Kondisi itu membuat Ditho selalu menghindari kelompok kawannya tersebut karena jika berpapasan, ia bakal tak mampu menghindar. Cara baik dan sopan sudah ia coba katakan kepada mereka, tetapi yang terjadi justru ia makin sakit hati dengan tanggapan mereka.
”Walau sebagian orang tahu, sebaiknya ada gerakan penyadaran, sosialisasi tentang apa itu pelecehan seksual. Apa saja yang termasuk di dalamnya supaya tak makin banyak orang jadi korban,” kata Ditho.
Adinda Fauzia Armedina (21), mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret, Surakarta, ketika SMA sering menegur murid laki-laki yang kedapatan bersikap tidak sopan, seperti menyoraki murid perempuan.
”Aku sebenarnya enggak gelap-gelap banget soal isu ini, paham sedikit. Aku lebih aware karena mengikuti apa yang lagi ramai saat ini di media,” kata Adin melalui telepon dari Surakarta, Selasa (16/11/2021).
Kesadaran Adin muncul setelah banyak kasus ramai di dunia maya, terutama media sosial. ”Aku acungin jempol buat korban-korban yang berani bicara. Karena selain berani, mereka juga menginspirasi teman lain bahwa bicara itu enggak apa-apa karena mereka pasti didukung, apalagi di masa sekarang,” ujarnya.

Aktivis perempuan yang tergabung dalam Jaringan Peduli Perempuan menggelar aksi diam dalam peringatan Hari Perempuan Internasional di jalan depan Kantor DPRD Sumatera Barat, Padang, Sumbar, Senin (8/3/2021). Melalui tulisan di kertas karton, mereka menuntut pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena angka kekerasan seksual masih relatif tinggi, termasuk di Sumbar.
Dari pemahaman Adin, kekerasan seksual merupakan tindakan bernuansa seksual baik verbal maupun nonverbal kepada seseorang tanpa persetujuan individu tersebut. Menurut dia, tindakan yang termasuk kekerasan seksual itu, antara lain, berbentuk menghina fisik, catcalling, dan menyentuh tubuh tanpa izin di tangan atau bagian vital.
Tahun ini, kampusnya membuat platform bernama Girl Up UNS, yang salah satu fungsinya mengakomodasi orang yang mengalami atau berinteraksi dengan kasus pelecehan dan kekerasan seksual, pengucilan kelompok marjinal,
serta membutuhkan tempat aman di UNS.
Sering terjadi
Kasus kekerasan seksual, terutama di kampus, baik antarmahasiswa, dosen ke mahasiswa, atasan ke bawahan, maupun sesama karyawan kampus, bak gunung es. Tampak kecil di bagian atas, tetapi membesar di bawah. Pengajar Departemen Antropologi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya, Myrtati Dyah Artaria, sudah tahu sejak lama. Tahun 2012, profesor yang akrab dengan panggilan Mita itu bahkan menulis hasil penelitiannya yang berjudul ”Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampus: Studi Preliminer” dalam jurnal Unair.
”Saya meneliti kasus yang terjadi di kampus ternama yang ada di Jawa Timur. Ternyata korbannya cukup banyak, tetapi sebagian besar dari mereka tidak mau bercerita atau melapor ke pimpinan kampus karena malu. Takut studinya dihambat karena ada relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa (dalam kasus pelecehan oleh dosen ke mahasiswa),” ujar Mita, Kamis (18/11/2021), via telepon dari Surabaya.
Temuannya menunjukkan, dalam satu fakultas di sebuah kampus ternama di Jawa Timur, ada 11 korban pelecehan seksual. Ia menemui dan membujuk secara berulang beberapa korban pelecehan agar mau bercerita.
Jenis pelecehan yang mereka alami antara lain sebagai ayah yang melindungi atau membimbing, pemain kekuasaan, pelecehan di tempat tertutup, dan pelecehan situasional. Para korban merasa terintimidasi, stres, dendam, trauma, depresi berkepanjangan, sampai merasa sangat berdosa.
Kepedulian pakar antropologi ragawi, jender, dan seksualitas itu terhadap korban pelecehan seksual sebenarnya sudah muncul sejak awal tahun 2000. Keprihatinan akan tiadanya keadilan bagi korban mendorong Mita dan rekannya, Liestia Dwi Jayanti, pengajar pada Departemen Komunikasi Unair, mengusulkan pembentukan help center (HC) di kampus kepada pimpinan Unair. Ia ingin Unair punya lembaga untuk berjaga bagi mahasiswa dan anggota staf kampus yang butuh bantuan.

Mural yang menuntut disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual terpampang di Jalan Bekasi Timur Raya, Jakarta, Kamis (20/2/2020).
”Masalah di kampus itu macam-macam. Selain pelecehan seksual, ada mahasiswa merasa tak cocok dengan jurusan dan lainnya. Melihat temuan kasus di lapangan, kami mendorong agar Unair punya lembaga tersebut,” ujar Mita.
Ia mengapresiasi dukungan pimpinan Unair. Meski HC belum terwujud, Rektor Unair (saat itu) Prof Puruhito menerbitkan buku saku pedoman berperilaku bagi warga Kampus Unair. Isinya antara lain pelaku pelecehan seksual akan dikenai sanksi. Tahun 2013, saat Prof Fasichul Lisan menjabat rektor, Unair meresmikan pendirian HC.
Saat Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi pada 31 Agustus 2021, Unair pun segera bergerak. Rektor Unair Mohammad Nasih, pekan lalu, sudah membentuk satuan tugas PPKS yang menegaskan peran help center di kampus.
Menguasai situasi
Berdasarkan pengalaman menangani korban, Mita menyarankan agar korban yang sudah menanggung beban berat mencari sistem pendukung yang memahami persoalan. ”Karena di sana akan ada orang yang membantu memikirkan dan akan mencari bantuan dari segala sisi (psikologis, medis, dan hukum). Jika mencari support pada orang yang tidak paham, bisa-bisa malah akan membuat mental down karena menerima judging atau dipersalahkan,” ujarnya.
Mita menambahkan, penilaian bisa datang dari orang yang bahkan mereka kenal atau sayangi. ”Bisa jadi karena kekurangpahaman mereka. Dan, akan makin menyebabkan mental korban merasa down,” kata Mita lagi. Sementara di lembaga seperti HC ada profesional di bidangnya. Ia berpendapat, jika ada sosialisasi dari pimpinan berupa jaminan pelaku akan diberi sanksi, rasa takut dan malu atas korban akan terkurangi.
Sementara itu, kepada mahasiswa baru, ia memberi saran agar mereka mempelajari semua yang ada di kampus, misalnya sistem pendukung yang tersedia yang mendukung kesuksesan mereka dalam studi. ”Kuasailah medan, termasuk juga mengetahui jika mendapat masalah, seperti kekerasan seksual, perundungan, dan ketidakadilan, bisa melapor ke mana,” ujar Mita.
Help Center Unair saat ini memiliki dua psikolog dan seorang psikiater serta beberapa sukarelawan yang siap membantu para mahasiswa dan anggota staf kampus. Mita dan kawan-kawan membuka layanan 24 jam bagi kasus yang sangat membutuhkan bantuan seketika. ”Saya terhubung dengan layanan 24 jam via WA. Jika korban sangat butuh bantuan, kami harus segera merespons untuk menyelamatkan korban,” katanya.