Pengasuhan Keluarga Sehari-hari dan Pentingnya Bonus Demografi
Keluarga punya peran untuk menyukseskan bonus demografi, salah satunya dengan menghadirkan pengasuhan berkesadaran atau mindful parenting.
Indonesia saat ini masih dalam masa bonus demografi hingga tahun 2030. Lebih dari 70 persen penduduk berada di usia produktif yang berpotensi menjadi sumber daya manusia unggul serta berkarakter bagi kemajuan Indonesia. Sebaliknya, jika tidak dioptimalkan, yang dipanen justru bencana demografi.
Dalam webinar bertajuk ”Mindful Parenting: Menjadi Orangtua Bijak” yang digelar Yayasan Karakter Eling Indonesia, salah satu Program Organisasi Penggerak dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Sabtu (29/1/2022), hampir sebagian besar orangtua dan guru yang ikut belum paham tentang bonus demografi dan bagaimana mereka bisa berperan di dalamnya. Padahal, masa bonus demografi berlangsung sejak 2020, yang berarti masih tersisa 8 tahun untuk mengoptimalkannya.
”Kalau banyak orangtua atau guru tidak paham dengan bonus demografi yang di depan mata, (maka) sama saja enggak tahu ke mana membawa arah anak pergi. Padahal, saat ini kita menghadapi generasi anak-anak yang super,” kata praktisi pendidikan keluarga yang juga pendiri Komunitas Menata Keluarga,Melly Kiong.
Bonus demografi merupakan suatu kondisi di suatu negara yang memiliki jumlah penduduk yang usia produktifnya (muda) lebih besar daripada penduduk yang sudah lanjut usia.
Melly mengatakan, orangtua atau keluarga juga punya peran tak kalah penting untuk bisa menyukseskan bonus demografi Indonesia. Sebab, keluarga juga menjadi salah satu tempat terpenting untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) unggul, terutama dalam penanaman karakter.
Bonus demografi merupakan suatu kondisi di suatu negara yang memiliki jumlah penduduk yang usia produktifnya (muda) lebih besar daripada penduduk yang sudah lanjut usia. Negara akan menjadi kuat karena rakyat yang bisa menghasilkan pendapatan lebih besar. Pada tahun 2020, dari sekitar 270 juta penduduk Indonesia, sebanyak 70,72 persen di antaranya berada pada usia produktif (15-64 tahun).
Bonus demografi akan berdampak positif karena memicu pertumbuhan ekonomi sehingga pemerintah dapat menyiapkan perencanaan pembangunan, baik fisik maupun sosial ekonomi, guna membangun negara menjadi lebih maju. Selain itu, hal ini juga mengubah pola pikir generasi muda penerus bangsa menjadi lebih konkret, merangsang penanaman modal baik dari dalam dan luar negeri yang dipicu dari banyaknya tenaga kerja produktif. Bonus demografi akan menjadi modal besar bagi bangsa apabila kualitas SDM tinggi sehingga memiliki daya saing tinggi.
Sebaliknya, bonus demografi bisa juga berdampak negatif jika tidak dioptimalkan. Timbulnya pengangguran besar-besaran dan persoalan penduduk sangat berkaitan dengan dampak yang akan terjadi pada lingkungan. Jika penduduk yang besar tidak diikuti dengan kualitas kesadaran lingkungan yang baik, maka akan terjadi kerusakan lingkungan. Selain itu, tenaga kerja akan didominasi oleh tenaga asing apabila penduduknya tidak mempunyai keterampilan yang baik.
Ketua Yayasan Karakter Eling Indonesia Yusri mengatakan, keluarga berperan besar mendidik karakter anak. Gerakan kecil dalam keluarga dengan pengasuhan yang baik dan berkesadaran akan membekali anak-anak muda bangsa menjadi pribadi yang cerdas berkarakter, serta siap mewariskan nilai-nilai baik dalam kehidupan.
Baca juga: Waspadai Dampak Pandemi pada Generasi X dan Milenial
Lima dimensi
Komunitas Emka terus mengajak para orangtua di seluruh Indonesia untuk menghadirkan pola asuh berkesadaran melalui mindful parenting. ”Jangan khawatir dengan kesalahan yang sudah dibuat karena memang kita tidak pernah belajar menjadi orangtua sampai memiliki anak sendiri. Jangan juga merasa orangtua lain lebih hebat karena kita selalu belajar bersama. Yang penting para orangtua mau mengubah pola asuh selama ini menjadi pola asuh berkesadaran,” kata Melly, ibu dua anak.
Menurut Melly, jika orangtua bisa menyiapkan anak-anak yang punya karakter baik dan daya juang untuk siap masuk dalam dunia profesional dan dunia usaha, Indonesia akan optimistis menyambut bonus demografi. Sayangnya, tantangan di masa pandemi Covid-19 justru menampilkan berbagai data yang menyedihkan, mulai dari peningkatan kekerasan pada anak, penggunaan narkoba, pornografi, kasus bullying atau perundungan, hingga gizi buruk yang menyebabkan tengkes (stunting).
”Para orangtua jangan merasa berbagai isu terkait permasalahan anak di Indonesia bukan urusan saya karena tidak menimpa anak saya. Masalah anak harus menjadi urusan kita bersama, terutama komitmen untuk pengasuhan anak yang baik dan berkualitas demi kemajuan Indonesia,” ujar Melly.
Dalam trisentra pendidikan, orangtua juga berperan bersama sekolah dan lingkungan untuk mendidik anak. ”Orangtua menjalankan peran mendidik anak berkarakter. Ini sebagai kolaborasi dari trisentra pendidikan untuk menghasilkan SDM Indonesia unggul dan berkarakter,” kata Melly.
Pengasuhan berkesadaran atau mindful parenting memiliki lima dimensi yang harus diterapkan orangtua sehari-hari di rumah. Kelak anak diharapkan menjadi pribadi yang juga meneruskan apa yang telah dicontohkan dalam keseharian orangtua kepada anak-anak.
Melly menuturkan, pengasuhan berkesadaran dimulai dengan komitmen orangtua untuk mendengarkan dengan penuh perhatian. Orangtua bukan hadir badannya saja di rumah, melainkan secara utuh.
”Jika anak ingin berbicara ketika orangtua sibuk, minta anak untuk menunggu sesuai waktu yang sudah disebutkan, misal 10 menit. Lalu, tepati janji itu untuk menyediakan waktu dengan anak. Nah, anakjuga jadi mencontoh untuk bisa menghargai janji dengan orang lain,” kata Melly.
Ketika berbicara pada anak, jangan memotong pembicaraan dengan mengatakan orangtua sudah mengerti. Tapi, turunkan posisi orangtua untuk bisa menangkap suasana hatinya.
”Tidak semua anak juga langsung bisa bicara jika ada masalah. Orangtua pun jangan langsung kepo atau mau tahu dengan meminta anak bercerita. Cukup orangtua tahu ada yang berbeda dengan diri anak, lalu bilang, kalau ada apa-apa mereka bisa datang ke orangtua kapan saja,” ujar Melly.
Di masyarakat ada banyak anak yang menjadi korban broken home. Banyak orangtua terlalu sibuk sehingga tidak ada waktu untuk anak. ”Sampai ada anak yang merasa sudah mewah jika orangtuanya bisa bertanya apakah dirinya sudah makan atau belum,” kisah Melly.
Orangtua juga perlu menerapkan pengasuhan yang tidak menghakimi. Tanpa disadari orangtua sering menghakimi sehingga mengeluarkan kata-kata negatif, seperti nakal, bodoh, lambat, atau malas. Lama-lama anak menjadi tidak percaya diri karena orangtua yang dicintainya saja selalu memberikan kata-kata negatif.
”Self talk anak jadi negatif. Merasa takut berbuat salah karena takut dimarahi. Atau anak yang terlalu dimanjakan, jadi tidak bisa apa-apa,” kata Melly.
Menerapkan kesabaran dalam pengasuhan berkesadaran juga menjadi komitmen penting. Sebab, dengan berteriak-teriak atau marah pada anak yang melakukan kesalahan tidak menyelesaikan masalah. Justru orangtua harus menjadi contoh bagi anak untuk mendengarkan kenapa masalah terjadi, lalu bersama-sama mencari solusi.
Pengasuhan orangtua juga perlu menerapkan prinsip adil dan bijaksana. Berikan pada anak apa yang dibutuhkan, bukan diinginkan. Jika orangtua tidak bisa memenuhi keinginan anak, jelaskan, dan bukan membohongi anak.
Melly mengenang di tahun 2008 saat dirinya mewawancarai seorang pelamar yang baru lulus kuliah untuk bekerja. Dia tidak mau menerima upah yang saat itu lazim ditawarkan kepada lulusan baru. Pelamar menolak dengan alasan uang jajan dari orangtuanya lebih besar dari gaji bekerja.
”Di situlah saya sadar pentingnya untuk menyiapkan anak memiliki daya juang. Ini dimulai dengan menjadi orangtua yang jadi panutan atau contoh bagi anak-anak dalam tiap keluarga,” kata Melly.
Pengasuhan pada anak juga dilakukan dengan welas asih atau penuh kasih sayang. Kelak anak-anak pun memiliki karakter yang empati pada sesama dan semua makhluk hidup.
Menurut Melly, lima dimensi dalam pengasuhan berkesadaran di dalam keluarga jadi menyiapkan anak di masa bonus demografi. Kalau orangtua mendidik anak menjadi pendengar yang baik, lalu anak akan mendapat ilmu. Kalau orangtua tidak suka menghakimi, anak akan bertumbuh jadi pribadi yang positif.
Baca juga: Pandemi Mengancam Bonus Demografi
Orangtuayang tidak emosional mendukung anak bertumbuh memiliki kecerdasan emosional yang baik. Ketika orangtua tahu mana yang dibutuhkan dan diinginkan, dapat membekali anak untuk bisa membawa diri ke mana pun karena dia tahu apa yang baik dan tidak baik. Kalau kita dengan welas asih, ke mana pun anak pergi akan menjadi pribadi yang dicintai. Ketika dicintai, orangtua akan tenang karena ke mana pun anak pasti akan bisa bertahan.