Waspadai Dampak Pandemi pada Generasi X dan Milenial
Pandemi yang terjadi di tengah bonus demografi menghadirkan tantangan ekonomi yang tak ringan bagi generasi X dan milenial yang merupakan generasi usia produktif Indonesia.
Oleh
M ZAID WAHYUDI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 68 persen penduduk Indonesia usia produktif didominasi oleh generasi X berusia 40-55 tahun dan generasi milenial berumur 24-39 tahun. Kelompok usia ini harusnya bekerja atau berproduksi. Namun, pandemi Covid-19 membuat banyak di antara mereka harus kehilangan pendapatan, bahkan kehilangan pekerjaan dan menganggur.
Penduduk usia produktif usia 15-64 tahun saat ini mencapai 187 juta jiwa, terbesar dalam sejarah Indonesia. Besarnya penduduk usia produktif berpotensi menjadi penggerak ekonomi dan pencapaian kesejahteran yang tinggi. Namun, jika gagal dikelola, bisa menjadi pemicu berbagai persoalan, termasuk politik dan keamanan.
Sebanyak 68 persen penduduk usia produktif itu didominasi oleh generasi X berusia 40-55 tahun dan generasi milenial berumur 24-39 tahun. Kelompok usia ini harusnya bekerja atau berproduksi. Namun, pandemi Covid-19 membuat banyak di antara mereka harus kehilangan pendapatan, bahkan kehilangan pekerjaan dan menganggur.
Pandemi membalikkan pencapaian pengurangan kemiskinan yang telah dilakukan Indonesia selama bertahun-tahun.
Deputi Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik Ateng Hartono dalam webinar Indonesian Demographic Outlook 2022 yang diselenggarakan dari Jakarta, Kamis (16/12/2021), menyebut, tingkat pengangguran terbuka generasi milenial dan generasi X pada Februari 2020 atau sebulan sebelum kasus Covid-19 pertama diumumkan di Indonesia masing-masing adalah 4,74 persen dan 2,01 persen.
Setelah enam bulan pandemi atau Agustus 2020, jumlah pengangguran generasi milenial jadi 7,16 persen dan generasi X 3,68 persen. Berikutnya, pada Agustus 2021 turun sedikit menjadi 6,70 persen untuk generasi milenial dan 2,95 persen untuk generasi X. ”Situasi serupa terjadi di berbagai negara,” katanya.
Namun, mereka yang menganggur justru berasal kelompok terdidik. Generasi milenial yang menganggur itu hampir dua pertiganya berpendidikan minimal SMA dengan rincian 16,61 persen lulusan minimal setara sarjana, 3,32 persen lulusan diploma, 24,06 persen berpendidikan SMA, dan 17,02 persen lulusan SMK.
Adapun untuk generasi X yang menganggur sebanyak 38,2 persennya berpendidikan minimal SMA. Mereka terdiri dari 4,42 persen lulusan minimal setara sarjana, 1,69 persen berpendidikan diploma, 21,77 persen lulusan SMA, dan 10,36 persen dari SMK.
Meningkatnya jumlah pengangguran itu otomatis meningkatkan kembali jumlah penduduk miskin. Situasi ini sudah terpantau sejak awal pandemi berlangsung. Tingkat kemiskinan di Indonesia yang pada September 2019 mencapai 9,2 persen, terendah sepanjang Indonesia merdeka, langsung naik jadi 9,8 persen pada bulan pertama pandemi atau Maret 2020.
Tingkat kemiskinan terus naik hingga mencapai 10,2 persen pada September 2020. ”Walau ini bukan hanya terjadi di Indonesia, pandemi membalikkan pencapaian pengurangan kemiskinan yang telah dilakukan Indonesia selama bertahun-tahun,” kata Ekonom Senior Bank Dunia Ririn Salwa Purnamasari.
Berbagai upaya pemerintah untuk menahan dampak pandemi sedikit membuahkan hasil. Tingkat kemiskinan akhirnya menjadi 10,1 persen pada Maret 2021. ”Ada sedikit perbaikan dalam penanganan kemiskinan walau tidak signifikan,” katanya. Walau demikian, setidaknya tingkat kemiskinan tidak terus naik.
Bukan hanya tantangan dalam sektor ekonomi, besarnya penduduk usia produktif, tingginya jumlah pengangguran terlebih pengangguran terdidik, serta besarnya tingkat kemiskinan juga bisa berdampak pada stabilitas sosial, politik, dan keamanan.
Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) Turro S Wongkaren mengingatkan, rasio ketergantungan yang menggambarkan jumlah penduduk usia nonproduktif dibandingkan dengan penduduk produktif Indonesia saat ini mirip dengan rasio ketergantungan di negara-negara Arab saat mengalami Arab Springs pada 2010-2012. Besarnya pasokan tenaga kerja muda, tetapi tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak akhirnya memicu gejolak sosial ekonomi yang ujungnya menimbulkan gejolak politik dan keamanan.
Karena itu, rasio ketergantung yang rendah di puncak bonus demografi saat ini sebesar 44,3 persen perlu diimbangi dengan pengelolaan penduduk yang baik, baik dari sektor pendidikan, kesehatan, maupun pendapatan, hingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sesuai prediksi, tahun 2021-2022 adalah puncak bonus demografi Indonesia. Jauh sebelum kondisi ini terjadi, Indonesia sudah tertatih-tatih untuk mencapai bonus tersebut. Di saat puncak bonus terjadi, Indonesia justru menghadapi pandemi. Situasi ini membuat posisi Indonesia makin sulit dalam mencapai bonus demografi yang diperkirakan berakhir tahun 2037.
”Bonus demografi bukanlah sesuatu yang otomatis, melainkan butuh tindak lanjut untuk bisa mencapainya,” kata Direktur Kependudukan dan Jaminan Sosial Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Muhammad Cholifihani. Pemerintah dalam rencana pembangunan menengah ingin fokus pada upaya peningkatan produktivitas pekerja melalui peningkatan modal manusia dan memberikan kesempatan kerja.
Untuk mengoptimalkan pencapaian bonus demografi, Ririn menilai pemerintah perlu mempercepat upaya pemulihan dari pandemi. Upaya itu juga perlu dilakukan secara inklusif meski dampak pandemi pada setiap rumah tangga berbeda.
Kebijakan pemulihan perlu diprioritaskan pada kelompok rentan, yaitu mereka yang berpendidikan rendah, termasuk dalam 40 persen ekonomi terbawah, dan mereka yang sulit melakukan pemulihan secara cepat. Selain pemulihan ekonomi, pemulihan layanan kesehatan dan pendidikan juga harus dilakukan.
”Kelompok-kelompok marginal, seperti perempuan, penyandang disabilitas, ataupun mereka yang menjadi korban paling parah akibat pandemi perlu diprioritaskan,” kata peneliti LD FEB UI, Diahdadi Setyonaluri.
Adapun Turro menyarankan kebijakan yang diambil harus memungkinkan sumber daya manusia berkembang, memberi peluang maju dan setara bagi semua, serta menyediakan sistem perlindungan sosial yang membuat pekerja aman dan nyaman bekerja. ”Penyerapan tenaga kerja yang besar memang penting, tetapi bukan sekadar bekerja dengan keras, melainkan juga bekerja dengan hasil yang layak,” ujarnya.