Virus zika yang telah beredar di Indonesia diketahui memicu kematian dan bayi cacat lahir. Penelitian terbaru menemukan, kandidat vaksin virus zika efektif dalam mencegah penularan virus dari ibu ke janin.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kandidat vaksin virus zika efektif dalam mencegah penularan virus dari ibu ke janin. Penelitian terhadap hewan praklinis yang dilaporkan dalam studi baru di jurnal npj Vaccines, Kamis (27/1/2021), memberikan harapan baru untuk mencegah kematian dan bayi cacat lahir akibat virus ini.
Penelitian ini merupakan kolaborasi antara Trudeau Institute, Texas Biomedical Research Institute’s Southwest National Primate Research Center (SNPRC), dan Walter Reed Army Institute of Research (WRAIR), tempat vaksin dikembangkan.
”Vaksin telah terbukti aman untuk manusia yang tidak hamil, tetapi tentu saja kita perlu tahu apakah itu aman dan efektif untuk orang-orang dengan risiko terbesar, yaitu perempuan hamil dan janin mereka,” kata In-Jeong Kim, ahli imunologi virus di Trudeau Institute dan penulis pertama makalah.
Menurut Kim, studi yang dilakukan Trudeau dan Texas Biomed menunjukkan hasil yang sangat menjanjikan bahwa vaksin yang diberikan sebelum kehamilan akan memberikan perlindungan tingkat tinggi bagi ibu dan bayi.
Wabah zika di Brasil pada 2015-2016 dan negara-negara lain di Amerika menyebabkan lonjakan keguguran dan kasus bayi cacat lahir, yang disebut sindrom Zika Bawaan, termasuk kepala kecil yang tidak normal dan gangguan perkembangan saraf. Hal ini mendorong Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan wabah zika sebagai darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional.
Dengan lebih banyak orang lahir, ada kelompok baru individu (yang belum pernah terpapar) sehingga virus dapat sekali lagi mendatangkan malapetaka. Kami ingin membantu memutus siklus itu.
”Penting untuk menguji vaksin sebelum wabah besar berikutnya karena (kemungkinan) akan ada lagi,” kata Jean Patterson, ahli virus di Texas Biomed dan anggota tim penulis.
Menurut dia, virus zika cenderung menyebar dengan cepat melalui populasi yang belum pernah terpapar sebelumnya, kemudian infeksi menurun selama bertahun-tahun karena kebanyakan orang telah terpapar. ”Dengan lebih banyak orang lahir, ada kelompok baru individu (yang belum pernah terpapar) sehingga virus dapat sekali lagi mendatangkan malapetaka. Kami ingin membantu memutus siklus itu,” tuturnya.
Kandidat vaksin zika ini dikembangkan tim di WRAIR menggunakan teknologi yang sama dengan yang mereka gunakan untuk mengembangkan vaksin ensefalitis Jepang. Vaksin telah diuji kepada hewan yang tidak hamil dan menunjukkan bahwa vaksin itu efektif menghilangkan virus dari darah. Dalam uji coba manusia fase pertama telah terbukti aman dan menimbulkan respons imun protektif.
Namun, tes untuk membuktikan kandidat vaksin ini bisa melindungi perempuan dan janin mereka dari infeksi dan malformasi parah dibatasi karena alasan etika dan keamanan. Di situlah dilakukan uji terhadap hewan sebagai model.
Trudeau Institute dan Texas Biomed mengevaluasi vaksin pada tikus hamil dan marmoset. Studi terhadap tikus, dipimpin oleh Kim dan Marcia Blackman, ahli imunologi virus di Trudeau, menunjukkan vaksin mencegah sekitar 80 persen malformasi janin dan antibodi yang mampu menetralkan virus terdeteksi dalam sampel darah janin 8 hari setelah infeksi.
”Kami mampu mendeteksi antibodi ibu pada janin selama kehamilan dan hasilnya menunjukkan antibodi memainkan peran penting dalam melindungi janin dari virus zika,” kata Kim.
Adapun marmoset, yang merupakan primata kecil, lebih sensitif terhadap infeksi zika daripada primata bukan manusia lainnya. Penelitian sebelumnya menunjukkan janin mengalami keguguran dalam waktu 2 minggu setelah infeksi ibu.
Dalam penelitian ini, empat marmoset diimunisasi dengan kandidat vaksin. Setelah mereka hamil, mereka terkena virus zika. Hanya 1 dari 12 keturunan yang dinyatakan positif virus zika sehingga menunjukkan efektivitas lebih dari 90 persen.
”Karena hewan hamil pada waktu yang berbeda, penelitian kami dapat menunjukkan bahwa vaksin memberikan perlindungan setidaknya selama 18 bulan setelah vaksinasi, yang penting untuk menunjukkan kekebalan jangka panjang,” kata Patterson.
Para peneliti sudah menguji apa yang terjadi ketika vaksin diberikan selama kehamilan. ”Studi ini menambah bukti bahwa vaksin zika yang dikembangkan WRAIR tidak hanya melindungi hewan dari infeksi virus zika, tetapi juga cacat bawaan yang telah diamati pada manusia,” kata Kayvon Modjarrad, Direktur Cabang Emerging Infectious Diseases di WRAIR.
Zika di Indonesia
Mengacu laporan Kementerian Kesehatan di Infeksiemerging.kemkes.go.id, vektor virus zika adalah nyamuk Aedes aegypti yang juga merupakan vektor demam berdarah. Padahal, kasus DBD ditemukan di seluruh kabupaten/kota di Indonesia sehingga potensi terjadinya penularan virus zika di populasi juga tinggi.
Beberapa studi terdahulu juga menunjukkan bahwa ditemukan adanya infeksi virus zika, baik melalui serologi atau isolasi virusnya, di antaranya tujuh orang dengan bukti serologis zika dilaporkan dari surveilans berbasis rumah sakit di Klaten selama 1977-1978 (Olson, et al, 1981). Penelitian serologis arbovirosis selanjutnya dilakukan di Lombok, 1979, yang menunjukkan bahwa 31 persen dari 71 sampel memiliki antibodi untuk zika (Olson, et al, 1983).
Zika juga dilaporkan menjangkiti wisatawan Australia yang kembali dari Jakarta dengan gejala demam dan ruam (Kwong, et al, 2012). Selain itu, satu kasus zika terdeteksi di antara 103 pasien dengan diagnosis demam berdarah klinis, selama KLB demam berdarah di Jambi pada periode 2014 Des-Apr 2015 (Perkasa, et al, 2015).
Berikutnya, seorang wisatawan Australia yang kembali dari Bali dikonfirmasi sebagai kasus zika (Leung, et al, 2015). Seorang wisatawan Perancis yang kembali dari Yogyakarta dan Bali dikonfirmasi sebagai kasus zika (2016). Seorang pekerja Indonesia dari Mojokerto dilaporkan mendapatkan sakit di Taipei dan dikonfirmasi sebagai kasus zika (2016).