Banyak Pelanggaran Protokol Kesehatan, Pembelajaran Tatap Muka Perlu Dievaluasi
Jika pembelajaran tatap muka (PTM) berisiko terhadap keselamatan anak, pemerintah sebaiknya mengevaluasi kebijakan PTM terbatas.
Oleh
EVY RACHMAWATI, SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaksanaan kebijakan pembelajaran tatap muka terbatas, terutama di zona merah, perlu dievaluasi untuk melindungi kesehatan anak-anak dari penularan Covid-19. Hal itu disebabkan jumlah kasus penyakit itu terus melonjak seiring meluasnya transmisi lokal varian Omicron dan ditemukan sejumlah pelanggaran protokol kesehatan dalam implementasi pembelajaran tatap muka tersebut.
Menurut mantan Direktur Penyakit Menular Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama, dalam keterangan tertulis, Selasa (25/1/2022), di Jakarta, setidaknya ada lima hal yang dapat menjadi pertimbangan tentang kebijakan pembelajaran tatap muka atau PTM di hari-hari sekarang ini.
Salah satunya, pada 13 Januari 2022 lima Organisasi Profesi Dokter Spesialis (Anak, Paru, Penyakit Dalam, Jantung, dan Anastesi) membuat surat kepada empat menteri sehubungan dengan evaluasi proses PTM. Surat itu menyebutkan, anak dan keluarga sebaiknya tetap diperbolehkan memilih PTM atau PJJ (pembelajaran jarak jauh), anak dengan komorbid memeriksakan diri dulu, kelengkapan imunisasi untuk dapat ikut PTM, dan mekanisme kontrol serta buka tutup sekolah.
Pertimbangan lain ialah kasus Covid-19 terus meningkat beberapa hari terakhr ini, bukan hanya jumlah absolutnya yang sudah sekitar 3.000 sehari, tetapi juga ada kecenderungan peningkatan angka kepositifan serta perlu pula menilai perkembangan angka reproduksi (reproductive number). Itu menunjukkan potensi penularan di masyarakat, apalagi angka transmisi lokal varian Omicron juga terus meningkat.
Selain itu, dalam surat lima Organisasi Profesi Spesialis disebutkan, anak dapat mengalami komplikasi berat, yaitu multisystem inflammatory in children associated with Covid-19 (MIS-C) dan bukan tidak mungkin juga ada komplikasi long Covid-19. Pendapat para pakar beberapa negara, antara lain dari South Dakota Amerika Serikat, juga mulai membahas kemungkinan long Covid pada anak ini, meski perlu penelitian lebih lanjut.
Penelitian di Afrika Selatan, misalnya, dengan data dari 56,164 pasien Covid-19 yang masuk rumah sakit menemukan bahwa angka masuk RS pada anak berusia di bawah empat tahun ternyata 49 persen lebih tinggi pada SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19 dengan varian Omicron dibandingkan varian Delta.
Data lain dari Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) Amerika Serikat yang dikutip CNN, 12 Januari 2022, menyebutkan, angka anak masuk RS meningkat di Amerika, dengan rata-rata 4,3 anak balita per 100.000 angka masuk RS pada minggu sasmpai awal Janurai, meningkat dari angka 2,6 per 100.000 pada minggu sebelumnya. Dibandingkan angka awal Desember, ada peningkatan 48 persen.
Ada juga daerah yang disebut sebagai medan perang (battlefield) pertama melawan Omicron di negara kita, dan di daerah battlefield itu disebutkan juga ada beberapa kecamatan yang masuk “zona Merah”. Jadi, setidaknya di zona merah upaya perlindungan kesehatan ditingkatkan, termasuk evaluasi pelaksanaan PTM setidaknya dimulai di daerah-daerah itu.
Tidap siap
Komisi Perlindungan Anak Indonesia juga meminta pemerintah mengevaluasi kembali kebijakan PTM 100 persen dengan mempertimbangkan dan memprioritaskan keselamatan serta kesehatan anak. Evaluasi tersebut penting karena KPAI menemukan sejumlah pelanggaran dalam protokol kesehatan yang dilakukan para siswa pada saat hadir tatap muka di sekolah. Evaluasi ini penting karena pada Januari ini kami menemukan banyak sekolah yang tidak siap.
”Dari pengawasan tahun 2021 kami menemukan berbagai pelanggaran protokol kesehatan. Yang paling banyak dilanggar adalah penggunaan masker, yakni masker diletakkan di hidung, dahi, dagu, dan leher,” ujar Retno Listyarti, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), saat menyampaikan ”Catatan Pelanggaran Hak Anak Tahun 2021 dan Proyeksi Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Anak Tahun 2022”, Senin (24/1/2022).
Oleh karena itu, ketika pemerintah memutuskan kebijakan PTM 100 persen, Retno mengingatkan pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan tersebut dengan mempertimbangkan dan memprioritaskan keselamatan serta kesehatan anak. Sebab, munculnya varian Omicron di Indonesia menyebabkan anak rentan menjadi korban.
Dari pengawasan tahun 2021, kami menemukan berbagai pelanggaran protokol kesehatan. Yang paling banyak dilanggar adalah penggunaan masker, yakni masker diletakkan di hidung, dahi, dagu, dan leher.
Hasil pengawasan KPAI terhadap PTM di sejumlah sekolah yang menerapkan PTM 100 persen menemukan penerapan beragam, yakni dengan kategori sangat baik (15,28 persen), baik 44,44 (persen), cukup (19,44 persen), kurang (11,12 persen), dan sangat kurang (9,72 persen). ”Angka-angka ini sebenarnya menunjukkan dalam PTM terbatas di sekolah-sekolah beragam. Artinya, tidak semua sekolah atau daerah siap,” kata Retno.
Tak hanya soal penggunaan masker, menurut Retno, siswa-siswa sekolah juga tidak bisa menjaga jarak terutama anak-anak TK dan SD. Di dalam kelas, jarak anak satu dengan yang lain sangat dekat, bahkan ada yang kurang dari 1 meter. ”Walaupun Omicron dampaknya rendah sekali, kalau yang tertular jumlahnya banyak, bisa jadi potensi kolapsnya layanan kesehatan akan terjadi,” kata Retno.
Untuk itu, KPAI mendorong sekolah atau madrasah memenuhi seluruh syarat kebutuhan penyelenggaraan PTM, ketaatan pada protokol kesehatan, dan ketercapaian vaksin mencapai minimal 70 persen bagi warga sekolah. Komitmen kepala daerah juga sangat penting. KPAI mendorong 5 SIAP untuk penyelenggaraan PTM, yaitu pemerintah daerah, sekolah, guru, orangtua, dan anak.