Vaksin Covid-19 Beri Perlindungan Jangka Panjang dari Keparahan
Vaksin mempertahankan perlindungan dari rawat inap dan penyakit parah sembilan bulan setelah mendapatkan suntikan pertama.
Oleh
Ahmad Arif/Tatang Mulyana Sinaga
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lonjakan kasus Omicron menunjukkan bahwa mereka yang sudah divaksinasi masih bisa terinfeksi. Namun, studi terbaru menemukan vaksinasi berbasis mRNA dan adenovirus di Amerika Serikat mampu memberi perlindungan dari rawat inap dan penyakit parah setidaknya sembilan bulan setelah suntikan pertama.
Temuan ini dilaporkan studi baru oleh tim peneliti dari University of North Carolina (UNC)-Chapel Hill dan the North Carolina Department of Health and Human Services (NCDHHS) dalam New England Journal of Medicine dan dirilis Rabu (13/1/2022). Penelitian ini menunjukkan bahwa penurunan kekebalan bertanggung jawab atas infeksi terobosan, tetapi vaksin mempertahankan perlindungan dari rawat inap dan penyakit parah sembilan bulan setelah mendapatkan suntikan pertama.
”Pesan utama yang dapat diambil dari penelitian kami adalah bahwa orang yang tidak divaksinasi harus segera divaksinasi,” kata penulis utama studi Danyu Lin, profesor biostatistik dari University of North Carolina. ”Hasil penelitian kami juga menggarisbawahi pentingnya suntikan booster (penguat), terutama untuk orang dewasa yang lebih tua.”
Penelitian ini dilakukan dengan memeriksa data tentang riwayat vaksinasi Covid-19 dan hasil kesehatan untuk 10,6 juta penduduk Carolina Utara antara Desember 2020 dan September 2021. Hasil penelitian digunakan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) untuk mendukung penggunaan suntikan penguat.
Karena sebagian besar vaksin di AS diberikan lebih dari tujuh bulan yang lalu dan hanya sebagian kecil dari populasi yang telah menerima booster, berkurangnya kekebalan kemungkinan berkontribusi pada terobosan infeksi dengan varian Omicron.
Data yang dianalisis meliputi hasil dari kasus Covid-19 yang disebabkan oleh varian Delta. Namun, data dari penelitian ini dikumpulkan sebelum ditemukannya varian Omicron.
”Dengan menerapkan metodologi baru pada data pengawasan yang kaya, kami dapat memberikan karakterisasi yang tepat dan komprehensif dari efektivitas selama periode sembilan bulan untuk tiga vaksin yang digunakan di AS,” kata Lin.
Tidak seperti penelitian sebelumnya, para peneliti memperkirakan efektivitas vaksin dalam mengurangi risiko Covid-19, rawat inap, dan kematian saat ini sebagai fungsi dari waktu yang berlalu sejak dosis pertama. ”Informasi ini sangat penting dalam menentukan kebutuhan dan waktu optimal vaksinasi booster,” sebut Lin.
Studi tersebut menemukan bahwa efektivitas vaksin mRNA Pfizer dan Moderna dalam mengurangi risiko Covid-19 mencapai puncaknya sekitar 95 persen pada dua bulan setelah dosis pertama dan kemudian menurun secara bertahap. Pada tujuh bulan, efektivitas vaksin Pfizer turun menjadi 67 persen, dibandingkan dengan vaksin Moderna, yang mempertahankan efektivitas 80 persen.
Di antara penerima awal dua vaksin mRNA, efektivitas menurun drastis dari pertengahan Juni hingga pertengahan Juli ketika varian Delta melonjak. Sedangkan efektivitas vaksin adenovirus Johnson & Johnson adalah 75 persen pada satu bulan setelah injeksi dan turun menjadi 60 persen setelah lima bulan.
Sekalipun demikian, ketiga vaksin itu efektif mencegah orang dirawat di rumah sakit karena Covid-19 yang parah. Efektivitas vaksin Pfizer mencapai puncaknya 96 persen pada dua bulan dan tetap sekitar 90 persen pada tujuh bulan. Efektivitas vaksin Moderna mencapai puncak 97 persen pada dua bulan dan tetap pada 94 persen pada tujuh bulan. Efektivitas vaksin Johnson & Johnson mencapai puncaknya 86 persen dalam dua bulan dan lebih tinggi dari 80 persen selama enam bulan.
Untuk ketiga vaksin, efektivitas terhadap kematian lebih tinggi daripada rawat inap. ”Karena sebagian besar vaksin di AS diberikan lebih dari tujuh bulan yang lalu dan hanya sebagian kecil dari populasi yang telah menerima booster, berkurangnya kekebalan kemungkinan berkontribusi pada terobosan infeksi dengan varian Omicron,” kata Lin.
Penguat di Indonesia
Vaksinasi Covid-19 dosis penguat atau booster kepada masyarakat berusia 18 tahun ke atas digelar di sejumlah daerah di Indonesia mulai Rabu (12/1/2022). Kelompok rentan, seperti warga lanjut usia, menjadi prioritas. Namun, vaksinasi primer, dosis satu dan dua, untuk lansia belum optimal sehingga perlu dipercepat.
Sasaran vaksinasi terhadap lansia di Indonesia mencapai 21,55 juta jiwa. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, hingga Rabu pukul 18.00, capaiannya masih 77,28 persen untuk dosis satu dan 54,51 persen untuk dosis dua.
Meski telah memulai pemberian vaksin penguat, pemerintah diminta tetap mendahulukan vaksinasi primer untuk lansia. ”Dahulukan vaksinasi primer untuk lansia karena mereka sangat berisiko kalau terpapar Covid-19, apalagi jika mempunyai komorbid,” ujar Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan, Rabu.
Ede mengatakan, kendala vaksinasi terhadap lansia mesti segera diatasi di tengah mulai meningkatnya penambahan kasus Covid-19. Terdapat 802 kasus baru, Selasa (11/1/2022). Jumlah itu meningkat lebih dari 2,5 kali lipat dibandingkan sepekan sebelumnya dengan 299 kasus.
Tanpa percepatan vaksinasi primer terhadap lansia, vaksinasi penguat terancam terhambat. Sebab, syarat penyuntikan dosis penguat minimal enam bulan setelah mendapatkan vaksin dosis lengkap.
”Vaksinasi dosis satu untuk lansia harus dikejar hingga 100 persen. Dengan begitu, kita punya basic (capaian vaksinasi) yang kuat untuk menggelar booster,” ucapnya. (TAM)