Terbuka terhadap keberagaman identitas sosial menjadi solusi agar tak terjebak dalam kebencian antarkelompok.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Kebencian terhadap sesuatu atau seseorang bisa muncul dari pengalaman tak menyenangkan setelah berinteraksi langsung dengan obyek kebencian. Namun, bagi sebagian orang, benci ternyata bisa pula menyeruak dari apa yang dibagikan, wacana, hingga konten yang dibuat oleh individu tertentu. Untuk kasus terakhir, mereka tak perlu saling mengenal untuk membenci.
Sepintas, perasaaan ini terkesan sebagai problem di level individu saja. Namun, bila ditelaah lebih jauh, sangat mungkin kebencian individual ini wajah lain dari kebencian antarkelompok. Yang terakhir harus sedapat mungkin dihindari karena bisa membuat seseorang terlibat dalam kekerasan.
Surya Mulyadi (29), pedagang pakaian di Serang, Banten, membenci para pesohor yang pamer kekayaan di media sosial. Dia merasa para pesohor itu tidak sensitif terhadap orang miskin yang sedang susah akibat pandemi Covid-19.
Dia tahu tak ada aturan yang melarang orang memamerkan kekayaan. Namun, sungguh tidak etis bila memamerkan kekayaan di tengah warga yang kesulitan. Mungkin ada yang terhibur dengan konten itu. Namun, tak sedikit juga yang sakit hati, seperti dirinya.
”Mungkin ketidaksukaan saya terjadi karena saya bukan bagian dari orang berpunya seperti mereka. Kalau, misalnya, saya orang kaya atau mungkin artis, saya mungkin bisa lebih selow,” ujarnya ketika dihubungi dari Jakarta, Selasa (30/3/2021).
Kalau Surya benci dengan pesohor tukang pamer, Wulan Andayani Putri (32) jengkel mendengar salah seorang komentator politik yang sering muncul di media. Komentator politik itu sering menggunakan teori filsafat dalam setiap komentarnya. Sekelebat saja dia mendengar suara pria itu di televisi, Wulan langsung ganti siaran.
”Karena dia cerdas, dan aku merasa dia memanfaatkan itu untuk memanipulasi banyak orang. Belum lagi gesturnya yang selalu memasukkan sebelah tangan ke kantongnya. Lihat saja pas dia ngomong. Kok, menurutku, itu seperti tukang bohong,” ujar perempuan yang tinggal di Jakarta Selatan, ini.
Wulan di komunitasnya pernah membuat kegiatan yang bernama ”kelas tinjau”. Ini semacam diskusi untuk menyoroti satu orang atau satu persoalan yang menarik perhatian komunitas. Kebetulan, Wulan mendapat tugas meninjau konten video komentator politik itu. ”Pokoknya, seingatku, dia bisa setiap 2 menit mengarang cerita,” ujarnya.
Wulan menyadari bahwa orang yang dibenci itu mempunyai sisi lain. Ketika orang itu berbicara tentang gerakan perempuan, misalnya, Wulan masih betah mendengarnya. Namun, bila sudah membahas isu politik, Wulan langsung tidak tertarik.
Sementara itu, Cindy Silviana (32), salah seorang wartawan media luar negeri, memiliki daftar sejumlah orang yang perbuatannya tak termaafkan. Ini bermula dari komentar orang itu terkait berita yang ditulis Cindy di sebuah grup Whatsapp. Secara pribadi, Cindy mengenal mereka.
Para pria tersebut menyatakan berita yang ditulis Cindy tidak benar. Cindy menjelaskan bahwa informasi dari artikel itu benar karena dia sendiri yang mewawancarai si narasumber.
Kemudian, dikusi memanas. Mereka menyerang Cindy dengan argumen kasar dan merendahkan. ”Aku sampai menangis dan keluar dari grup (Whatsapp),” ujarnya.
Selain Cindy, Gina Mardani (25), salah seorang pekerja di lembaga swadaya masyarakat, juga mempunyai kisah tentang benci. Dia sangat tidak suka dengan tindakan warganet yang menghasut dan menyulut kebencian.
Meski tidak mengalami kerugian langsung dari tindakan itu, Gina meyakini perbutan itu akan memengaruhi pemikiran orang-orang yang tidak mau membaca atau meriset sebuah persoalan. ”(Mereka) bikin gaduh dan berisik,” ujarnya.
Menurut psikolog dari Binus University International, Wulan Danoekoesoemo, kebencian memiliki dua tipe, personal dan antarkelompok. Kebencian di level personal harus melibatkan pergulatan emosi yang kuat dengan obyek yang dibenci. Ini mengandaikan kedua belah pihak harus saling mengenal. Jadi, sangat tidak wajar bila ada individu membenci orang yang tidak pernah berinteraksi.
Merespons cerita dari sejumlah orang di atas, Wulan berpendapat, sangat mungkin kebencian yang dikira personal ternyata berakar dari kebencian antarkelompok. Contohnya kebencian terhadap pesohor yang memamerkan harta di media sosial.
”Kita benci sama dia atau sebenarnya kita benci terhadap apa yang dia wakilkan? Bisa saja yang diwakilkan itu kelompok politik tertentu, atau kelompok sosial dan ekonomi tertentu. Mungkin kita benci dengan simbolnya,” katanya.
Dia melanjutkan, ada tiga faktor pemicu kebencian. Pertama, takut terhadap kelompok lain atau kelompok yang berbeda dengan kita. Ketakutan ini terjadi karena ketidaktahuan terhadap kelompok itu. ”Seperti gelap, kita takut karena tak bisa melihat,” ujarnya.
Selanjutnya, orang membenci karena mengetahui orang lain menjadi bagian dari kelompok tertentu. Terakhir dan yang tak kalah penting, kebencian yang diwariskan. Di Indonesia, ini dapat dilihat dari kebencian terhadap etnis atau agama tertentu. Boleh jadi, mereka yang akhirnya diliputi perasaan benci tidak pernah mengenal sama sekali kelompok yang dibencinya. Namun, toh sebagian tetap mempertahankan posisi itu.
”Sebab, kita lebih mudah untuk tetap bermusuhan daripada membangun upaya damai. Sebab, untuk berdamai, kita harus rela terpapar, berdialog. Dan ini cenderung tidak nyaman, terlebih terhadap sesuatu yang sudah dipersepsi negatif,” tuturnya.
Kebencian antarkelompok, dia melanjutkan, sangat berbahaya. Dalam batas tertentu, kebencian itu bisa mendorong orang untuk berbuat kekerasan. Indonesia mempunyai banyak sekali kasus kekerasan yang dilatarbelakangi oleh kebencian antarkelompok.
Untuk mengikis kebencian antarkelompok, setiap individu harus terbuka terhadap keberagaman identitas sosial. Jangan terlalu fokus terhadap identitas tertentu saja, apalagi identitas tunggal. Sebab, semakin terbuka seseorang terhadap beragam identitas sosial, semakin besar pula ruang perjumpaan dengan orang dari berbagai latar belakang.