Media sosial sering disalahgunakan untuk menebar kebencian bagi pihak-pihak yang tidak disukai. Kebencian itu juga ditebar untuk memengaruhi opini masyarakat dan bahkan menekan pengadilan.
Oleh
Windoro Adi
·5 menit baca
Dunia maya gaduh oleh serangkaian kasus tewasnya enam anggota Front Pembela Islam atau FPI serta penangkapan pemuka FPI, Rizieq Shihab. Proses penyelidikan dan penyidikan masih berlangsung, tetapi ”pengadilan jalanan” di dunia maya sudah digelar buat merebut opini publik.
Awalnya, mereka yang bersimpati dan yang antipati pada FPI saling melempar analisis spekulatif. Namun, kemudian pertengkaran yang meluas ke semua kalangan ini berubah saling menabur kebencian. ”Langit” penuh taburan kebencian kedua pihak. Sejumlah media massa, youtuber, dan pengguna media sosial (medsos) memanfaatkan kejadian ini buat menaikkan peringkat pembaca, dan pemirsa, demi iklan dan uang. Sadar atau tidak, mereka telah ikut menabur kejahatan kebencian.
Kejahatan kebencian umumnya didahului hate speech atau ujaran kebencian. Pelaku menggunakan bahasa yang merendahkan, menyerang berdasarkan status sosial, ras, agama, etnis, jender, orientasi seksual, atau disabilitas.
Beberapa contoh ujaran kebencian antara lain serangan dan perusakan terhadap dua wihara dan lima kelenteng di Tanjung Balai, Asahan, Sumatera Utara. Hal ini terjadi karena seruan provokatif lewat media sosial tahun 2016.
Pada tahun yang sama terjadi kerusuhan suporter pendukung Persija Jakarta disertai pengeroyokan terhadap Brigadir Hanafi di Pintu VII Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Pusat. Tahun 2017 terjadi persekusi terhadap 47 pemilik akun media sosial yang dituding menghina agama atau ulama sepanjang tahun itu, seperti dicatat Southeast Asia Freedom of Expression Network.
Pada tahun tersebut, di ujung pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2017, Polri mengungkap dan menangkap kelompok Saracen dan kelompok Muslim Cyber Army (MCA). Hal ini, seperti disampaikan Doktor Fadil Imran, menunjukkan, telah muncul organized hate groups atau kelompok kebencian yang terorganisasi.
Dalam kasus MCA, terindentifikasi adanya jejaring di Taiwan dan Korea Selatan. Para tersangkanya menebar isu penculikan ulama. Anggotanya terlatih menggunakan perangkat seperti televisi kabel dan komputer untuk mempromosikan retorikanya.
Dari bukti yang disita polisi, seorang pelaku setidaknya memiliki dua gawai dan aktif dalam bermedia sosial. Mereka menggunakan virus untuk menyerang sistem komputer dari individu atau kelompok yang berbeda pandangan.
Yang menarik, menurut Fadil, adalah sesama anggota tidak saling mengenal secara pribadi, bahkan tidak pernah bertemu secara fisik. Mereka hanya terikat pada isu. Di Indonesia, isu yang dimanfaatkan adalah isu suku, agama, ras, dan antar-golongan serta kebangkitan Partai Komunis Indonesia. Mereka meyakini bahwa sedang terjadi perebutan kekuasaan antara Muslim dengan non-Muslim. Pemimpin daerah atau negara harus beragama Islam.
Keunggulan medsos
Dibandingkan media konvensional, medsos memang lebih unggul. Mudah diakses karena tidak membutuhkan kemampuan khusus untuk menggunakannya. Mudah menghubungkan satu individu dengan yang lain sebagai bagian dari komunitas. Siapa pun dapat berbicara tentang apa saja. Dapat menginisiasi percakapan dengan siapa saja.
Keunggulan medsos berikutnya adalah dalam hal kecepatan komunikasi. Seseorang berkomunikasi tanpa faktor eksternal yang bisa memengaruhi apa yang ia sampaikan. Responsnya bersifat spontan. Penyampai dan perespons dapat berdialog layaknya di dunia nyata. Komunikasinya pun bisa dua arah.
Konten medsos lebih tahan lama, bahkan bisa selamanya. Mudah diperbarui dan diubah kapan saja oleh penyampainya. Medsos juga kaya fasilitas. Menawarkan akses tak terbatas untuk semua jenis konten. Bisa membagikan informasi apa pun dengan siapa pun.
Sejumlah keunggulan medsos ini kemudian disalahgunakan para online haters. Mulai dari static website, streaming audio, dan video sampai situs jejaring sosial. Penggunaan teknologi informasi (TI) untuk ujaran kebencian ini mulai merebak tahun 1985.
Privasi dan anonimitas pada TI ini membuat online haters secara terbuka mengampanyekan pandangannya tanpa perlawanan, tanpa konsekuensi, dibandingkan menggunakan media lain. Dengan TI, tulis Wolf, online haters melakukan viktimisasi terhadap satu kelompok target, menggugah keberanian dan memobilisasi individu, serta merekrut pengikut.
Medsos, kata Marsh dan Melille, memungkinkan mereka memperoleh respons seketika, baik berupa gambar maupun komentar yang merendahkan martabat; memperkuat racial narcissism; seraya mempromosikan perbedaan. Membuka kesempatan merchandizing guna membangun basis kekuatan ekonomi serta men-download dan menghimpun materi-materi ujaran rasis.
Pencegahan
Menghadapi ”serangan kebencian dari langit” ini, kini kalangan kepolisian di banyak negara lebih banyak mengembangkan cyber forensic dalam proses penyelidikan, penangkapan, dan penyidikan. Cyber forensic menjadi domain utama pemolisian, termasuk undercover online dan cyber patrol. Dengan demikian, polisi dapat menetralkan pelaku sebelum memunculkan masalah. Selain lebih murah, biaya mencegah memang lebih sederhana dibandingkan setelah muncul kasus, seperti disampaikan para pakar.
Meski demikian, aspek pencegahan oleh polisi sering dipandang sebagai cermin rezim yang represif. Argumentasi ini dikembangkan dengan definisi tentang ujaran kebencian yang subyektif. Pemolisian, seperti ditulis Wolf, dipandang hanya memunculkan potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Yang menjadi pertanyaan, mereka yang beranggapan bahwa pemolisian sebagai cermin dari rezim yang represif apakah sudah siap menghadapi risiko serangan dari langit yang bakal memorakporandakan bukan saja komunitas mereka, melainkan juga keluarga mereka?
Memenangi opini publik
Dalam serangkaian kasus FPI, tampaknya pihak yang antipati dan yang bersimpati berebut ingin memenangi opini publik sebelum pengadilan digelar. Kedua belah pihak sama-sama mengandalkan dunia maya, termasuk media massa. Harapan mereka, majelis hakim bakal mendapat tekanan berat dari si perebut opini publik. Lebih-lebih jika tekanan tersebut diwarnai sentimen agama mayoritas.
Hal ini pernah terjadi pada pengadilan kasus penistaan agama oleh Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama yang populer dipanggil Ahok tahun 2017. Dalam pertimbangan sosiologis, penegakan hukum kemudian menjadi subyektif.
Belajar dari kasus Ahok, semua instansi negara terkait, termasuk TNI dan Komnas HAM, lembaga swadaya masyarakat, para wakil rakyat, para kepala daerah, bersama para pemimpin media massa, dewan pers, sebaiknya saling bekerja sama, bersinergi, mengawasi, menahan diri, dan menjaga proses penegakan hukum berjalan sebagaimana perintah undang-undang dan sesuai dengan rasa keadilan serta hati nurani majelis hakim.
Biarlah perdebatan di antara para jaksa dan pengacara berlangsung di pengadilan. Media massa dan para pengguna medsos cukup membatasi diri menyiarkan dan menulis apa yang terjadi di ruang sidang. Dengan demikian, kehidupan berbangsa dan bernegara yang sehat tidak terguncang atau bahkan rusak oleh ujaran kebencian. Di sisi lain, roda ekonomi pada masa pandemi Covid-19 tidak semakin suram karena gonjang-ganjing pertikaian tersebut.
Kepungan kebencian hanya akan menimbulkan rasa marah, sedih, sakit hati, tidak nyaman, tertekan, malu, dan akhirnya merasa tidak percaya diri, bahkan mendatangkan keputusasaan. Hal ini tentu saja membuat kita menjadi kontraproduktif.