Kota Tua Jakarta bukan sekadar bangunan, perjalanan sebuah kota juga melekat di sana. Sayangnya, pembelajaran sejarah masih minim, begitu pula penghargaan atas peninggalan bersejarah.
Oleh
AGNES RITA SULISTYAWATY
·5 menit baca
Kisah Kota Tua Jakarta tidak pernah menjadi topik usang. Salah satunya terasa dalam perbincangan sejarah di Clubhouse pada Rabu (3/3/2021) malam. Dimotori oleh sejarawan Asep Kambali, judul obrolan malam itu ”Kota Tua Jakarta Gagal di UNESCO, Kok Bisa???” Cerita dan diskusi puluhan peserta berlangsung hangat hingga Kamis dini hari.
Perbincangan berawal dari pengalaman peserta atas Kota Tua. Sebagian orang mengenal kota asal-muasal Jakarta ini hanya sebatas Museum Fatahillah—yang aslinya bernama Museum Sejarah Jakarta—dan sekitarnya. Sebelum pandemi Covid-19, area ini selalu ramai dikunjungi wisatawan.
Padahal, Kota Tua sesungguhnya membentang hingga ke Museum Bahari dan Pelabuhan Sunda Kelapa. Lebih jauh lagi, kawasan Kota Tua ini tidak bisa dilepaskan dari Pulau Onrust, salah satu pulau di Kabupaten Kepulauan Seribu, yang dijadikan galangan kapal di zaman penjajahan dulu.
Batasan Kota Tua sebenarnya bisa dilihat dari tembok yang dibangun VOC. Sayangnya, tembok itu tidak utuh lagi. Ruas tembok yang tersisa dan masih kokoh ada di tepian Museum Bahari.
Selain batas wilayah, benteng ini juga memudahkan penjajah menghalau serangan kerajaan setempat. Dengan begitu, mereka lebih leluasa beraktivitas termasuk menimbun rempah-rempah yang menjadi salah satu alasan kuat kedatangan mereka ke Nusantara. Gudang penyimpanan rempah-rempah yang kini difungsikan sebagai Museum Bahari merupakan saksi bisu kehausan penjajah akan hasil bumi kita.
Di sekitaran Museum Bahari juga terdapat kanal yang menjadi tempat keluar-masuk kapal ratusan tahun silam. Menara Syahbandar yang pengelolaannya disatukan dengan Museum Bahari membuktikan arus lalu lintas kapal yang cukup sibuk di Batavia.
Sayangnya, perjalanan sejarah yang tertinggal di gedung Museum Bahari ini sebagian musnah akibat kebakaran hebat pada 16 Januari 2018. Hilang pula jejak fisik sejak zaman VOC yang seharusnya menjadi kekayaan bangsa ini.
Belum maksimalnya pelestarian bangunan bersejarah di Kota Tua juga digambarkan Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies (Rujak) Elisa Sutanudjaja dalam artikel di harian Kompas, 14 Juli 2018. Elisa antara lain memaparkan soal ambruknya atap gedung serbaguna SMP Negeri 32 Pekojan, Jakarta Barat, akhir 2017. Bangunan ini berusia lebih dari 200 tahun.
”Tak hanya Jakarta kehilangan atap berlanggam arsitektur China abad ke-18 itu, tetapi robohnya atap itu menyebabkan dua orang terluka. Pekojan pun termasuk dalam zona penyangga usulan Kota Tua sebagai Warisan Dunia,” tulis Elisa.
Contoh kejadian di atas menggambarkan buruknya pengelolaan Kota Tua. Karenanya, tidak mengherankan apabila Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) pada 2018 tidak menetapkan Kota Tua dan empat pulau di Kepulauan Seribu sebagai Warisan Dunia.
Belajar sejarah
Asep Kambali, dalam diskusi di Clubhouse, berulang kali menekankan soal pentingnya pembelajaran sejarah. Penekanan itu bukan karena ia adalah sejarawan, melainkan didasari kebutuhan semua orang mengenal dirinya sendiri lewat sejarah agar bisa menghindari kesalahan-kesalahan serupa atau sesat berpikir di masa kini. Pentingnya sejarah itu juga berlaku bagi kita sebagai bangsa.
Keberadaan museum atau gedung tua itu sebenarnya membantu kita untuk belajar tentang sejarah. Selain mengagumi bangunan tua, bentuk fisik bangunan sedikit-banyak mencerminkan kehidupan kita di masa lalu.
Atap SMPN 32 Pekojan yang ambruk, misalnya, bukan semata penting lantaran ia sudah berusia tua. Namun, bentuk atap yang terpengaruh arsitektur China itu memberikan gambaran bahwa bangsa ini sudah beragam sejak dulu. Masyarakat China menjadi bagian dari asal-muasal Indonesia sedari ratusan tahun silam.
Sejarah ini yang membuat kita seharusnya lebih paham mengenai istilah pribumi dan nonpribumi. Sangat aneh apabila pembagian soal pribumi kini dikaitkan dengan perbedaan etnis tertentu. Padahal, etnis di Indonesia sudah beragam sejak dulu. Akulturasi dan pembauran akibat perkawinan sudah terjadi sejak lama dan sulit disangkal.
Bangunan di Kota Tua, kata Asep, juga menunjukkan bahwa pada masa itu orang Belanda tidak punya budaya toilet. ”Mereka buang air besar di ember. Kalau ember sudah penuh, kotoran dibuang di sungai. Karenanya, kita sulit menemukan toilet di bangunan asli peninggalan penjajahan Belanda,” kata Asep.
Urusan sanitasi ini juga menjadi titik lemah penghuni Kota Tua pada masa silam. Faktor ini juga yang menjadi salah satu pendorong dibukanya kota baru yang kini ada di sekitar kawasan Monumen Nasional.
Sejarah memang perlu dimaknai agar tetap asyik dinikmati oleh semua kalangan di masa kini. Apabila kemasan sejarah ini menarik, bukan tidak mungkin orang tertarik datang ke museum, kawasan Kota Tua, atau bangunan bersejarah lainnya. Proses pembelajaran pun bisa terjadi dengan lebih dalam lagi.
Sayangnya, sejarah kini lebih banyak berkutat soal tahun kejadian dan narasi yang terbatas. Pemaknaan tentang kejadian itu masih minim sehingga kita kini sulit belajar dari sebuah peristiwa. Berkunjung ke Kota Tua, museum, atau bangunan bersejarah pun jarang meninggalkan kesan atau pembelajaran.
Ditambah minimnya dukungan konservasi bangunan cagar budaya, tak heran atap ambruk di SMPN 32 Pekojan dan kebakaran Museum Bahari bisa terjadi. Bangunan mangkrak yang dihancurkan atau direnovasi tanpa mengindahkan aspek sejarah dan konservasi pun terjadi.
Yang mendesak kita lakukan adalah menjadikan Kota Tua ini sebagai warisan bagi anak cucu kita. Warisan tentang sebuah kota lawas yang membentuk Indonesia—utamanya Jakarta—hingga kini. Penolakan UNESCO untuk menjadikan Kota Tua sebagai Warisan Dunia menjadi catatan masa lalu yang bisa dimaknai dengan perbaikan mendasar akan pembelajaran sejarah saat ini dan kelak.