Selain lebih menular dan mematikan, varian baru virus korona juga memengaruhi kemanjuran vaksin. Ini menuntut penguatan surveilans genomik, selain memutus rantai penularan guna mencegah peluang mutasi baru.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain lebih menular dan mematikan, varian baru virus korona juga memengaruhi kemanjuran vaksin. Situasi ini menuntut penguatan surveilans genomik guna deteksi dini, selain memutus rantai penularan guna mencegah peluang terjadinya mutasi baru.
”Jenis virus baru ini, terutama (mutasi) dari Afrika Selatan yang telah diuji terhadap beberapa vaksin, menunjukkan bahwa ada pengaruh dari strain virus baru ini terhadap efektivitas vaksin tersebut,” kata Menteri Riset dan Teknologi Bambang PS Brodjonegoro dalam diskusi daring ”Genomic Surveillance, Mutation and Vaccine”, di Jakarta, Senin (15/2/2021).
Bambang mengatakan, terdapat tiga varian hasil mutasi SARS-CoV-2 yang saat ini menjadi kekhawatiran global. Varian pertama, yaitu B.1.1.7 dari Inggris yang lebih menular 50 persen dan 70 persen lebih mematikan. ”Namun, vaksin yang ada masih efektif untuk mutasi ini,” kata Bambang.
Varian yang juga dikhawatirkan adalah hasil mutasi di Brasil, yaitu B 1.1.28.1, yang diketahui menyebabkan terjadinya reinfeksi. Berikutnya, terdapat varian B 1.351 dari Afrika Selatan, yang menyebabkan beberapa vaksin menjadi lebih tidak efektif. ”Ini mengkhawatirkan,” kata Bambang.
Di Indonesia, sejauh ini hanya ada dua mutasi yang terdeteksi, terutama mutasi N439K yang meningkat sejak akhir Oktober 2020. (Amin Soebandriyo)
Sejumlah studi, menurut Bambang, telah dilakukan terhadap efikasi vaksin terhadap varian B 1.351. Misalnya, vaksin Pfizer masih berfungsi, tetapi menjadi lebih kurang efektif. Vaksin Moderna juga masih efektif walau respons imun tidak sekuat sebelumnya.
Vaksin Novavax yang diujikan terhadap varian ini menunjukkan efikasinya tinggal 60 persen untuk mencegah gejala. Sedangkan vaksin Johnson & Johnson hanya 57 persen efektif untuk varian Afrika Selatan, dibandingkan dengan efikasinya saat diujikan di Amerika Serikat sebesar 72 persen. Sejauh ini belum ada data terkait efikasi vaksin Sinovac terhadap varian baru dari Afrika Selatan.
Bambang menegaskan, kemunculan varian-varian baru ini bisa berimplikasi serius, terutama terhadap kesehatan publik. ”Bakal butuh lebih banyak rumah sakit, tenaga kesehatan, laboratorium, dan penyesuaian vaksin. Padahal, kita punya keterbatasan. Karena itu, kita perlu percepatan cakupan vaksin dan surveilans,” katanya.
Belum ditemukan
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan (Balitbangkes) Slamet mengatakan, varian B.1.1.7 sampai saat ini belum ditemukan di Indonesia. ”Data hingga 14 Februari 2021 masih belum ada, tetapi kita perlu lebih waspada,” katanya.
Menurut Slamet, sejauh ini Indonesia sudah melakukan 416 pengurutan genom SARS-CoV-2 di mana 392 di antaranya merupakan pengurutan total genom. Analisis genomik ini dilakukan terhadap spesimen yang diambil dari 27 provinsi oleh 14 laboratorium.
”Strategi kita untuk pengambilan spesimen yang dianalisis fokus pada mobilitas orang, meningkatnya kasus, dan area perbatasan. Walaupun sudah ada spesimen dari Aceh sampai Papua, sejumlah provinsi belum ada sampelnya,” katanya.
Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandriyo mengatakan, mutasi virus terjadi secara acak, tetapi mutasi B.1.1.7 tidak biasa karena terjadi perubahan genetik dalam jumlah besar dan seketika, khususnya dalam protein pakunya.
”Mutasi SARS-CoV-2 berkembang pesat seiring waktu dan peningkatan kasusnya. Semakin besar kasus, peluang terjadinya mutasi juga meningkat. Secara global, puncak mutasi terjadi pada November 2020, tetapi mulai menurun belakangan seiring penurunan kasus. Di Indonesia, sejauh ini hanya ada dua mutasi yang terdeteksi, terutama mutasi N439K yang meningkat sejak akhir Oktober 2020,” katanya.
Amin mengatakan, sebaran laboratorium di Indonesia yang bisa melakukan analisis genomik relatif terbatas. Untuk itu, perlu dilakukan kolaborasi laboratorium dan sumber daya manusia. ”Kita sudah mendiskusikan meningkatkan kapasitas WGS (pengurutan total genom). Eijkman sudah menarget melakukan 5.000 WGS pada tahun ini,” ujarnya.
Sejauh ini, 138 dari total 416 urutan DNA SARS-CoV-2 yang didaftarkan ke GISAID merupakan hasil analisis dari Lembaga Eijkman. ”Kita sudah mendiskusikan strategi area mana yang harus diambil sampelnya,” ucapnya.
Kepala Bioinformatik GISAID Mark B Schultz mengatakan, analisis genom sangat berguna dalam penanganan pandemi. Selain bisa membantu menemukan sumber zoonotiknya melalui pembuatan pohon kekerabatan, data urutan genom juga membantu ilmuwan menyiapkan obat dan vaksin melawan virus ini.
”Kami melihat, Indonesia terus meningkat jumlah genom yang didaftarkan,” katanya.
Sekalipun demikian, sumbangan Indonesia dalam bank data genom SARS-CoV-2 ini masih sangat kecil jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Total data genom yang didaftarkan di GISAID saat ini sudah mencapai 528.389.