Pemerintah Targetkan Kirim 1.000 Data Genom SARS-CoV-2
Target 1.000 data WGS untuk mendeteksi mutasi virus SARS-CoV-2 membutuhkan kolaborasi banyak laboratorium dan ahli bioinformatika, peningkatan kapasitas lab, mengolaborasikan data, serta mempresentasikan data itu.
Oleh
Deonisia Arlinta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Potensi masuknya varian baru dari mutasi virus korona yang ditemukan di negara-negara perlu dideteksi dengan cepat. Jika mutasi dari virus ini masuk dan menyebar di Indonesia, serta terbukti dapat mempercepat transmisi, kondisi penularan Covid-19 di Indonesia bisa semakin buruk.
Karena itu, analisis data genom virus korona perlu dipercepat melalui penguatan surveilans genomik. Kolaborasi para peneliti dari sejumlah institusi perlu diperkuat, termasuk kolaborasi bersama institusi swasta.
Ketua Konsorsium Riset Covid-19 Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) Ali Ghufron Mukti di Jakarta, Sabtu (23/1/2021), mengatakan, kapasitas surveilans genom akan terus ditingkatkan melalui jejaring yang telah disepakati antara Kemenristek/BRIN dengan Kementerian Kesehatan. Sejumlah strategi telah disusun untuk mendukung hal tersebut, di antaranya, dengan memperbanyak data hasil whole genome sequencing (WGS).
Whole genome sequiencing ini merupakan bentuk konkret dari inovasi kita, terutama dari sisi peneliti untuk bisa memprediksi apa yang akan terjadi dalam 10 langkah ke depan dari pandemi. (Friliasita Aisyah)
”Ditargetkan dalam waktu yang tidak terlalu lama setidaknya dalam setahun ini ada sekitar 1.000 data whole genome sequencing yang kita submit ke GISAID. Tentu kami akan membuat skema anggaran untuk bisa menyelesaikan itu,” katanya.
Saat ini, jumlah data WGS yang sudah dikirimkan ke GISAID atau bank data virus dunia dari Indonesia 244 data. Data tersebut dikirim, antara lain, dari analisis yang dilakukan oleh Lembaga Biologi Molekuler (LMB) Eijkman (57 data), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (50 data), Institut of Tropical Disease (ITD) Universitas Airlangga (29 data), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (27 data).
Gufron menyampaikan, sejumlah strategi telah disiapkan oleh pemerintah untuk memperkuat jejaring surveilans genom di Indonesia. Strategi tersebut meliputi memperbanyak data WGS, melakukan analisis spesfisik terkait dengan mutasi virus dari luar dan kemungkinan yang berkembang di Indonesia, melakukan analisis bioinformatika secara komprehensif, serta membangun respositori nasional.
Selain itu, pemerintah juga berupaya untuk menyediakan dukungan anggaran melalui skema Lembaga Pengelola Dana Pendidikan-Konsorsium 2021 yang akan difokuskan pada upaya surveilans genomik. Kerja sama antarlembaga juga diperkuat dengan membagi fokus wilayah dalam mengidentifikasi mutasi yang terjadi.
Surveilans genomik sangat penting dilakukan untuk mengidentifikasi adanya varian virus baru yang masuk di Indonesia. Setidaknya ada tiga mutasi varian baru yang kini menjadi perhatian utama, yakni varian baru B 1.17 dari Inggris, varian B 1.351 dari Afrika Selatan, dan B 1.1.28.1 dari Brasil. Dari data sementara, varian baru tersebut belum terbukti dapat meningkatkan keparahan penyakit, tetapi masih perlu diteliti secara lebih lanjut.
Pendiri dari Aligning Bioinformatics dan anggota konsorsium Covid-19 Genomics UK, Riza Arief Putranto, mengatakan untuk mengidentifikasi adanya mutasi baru dari virus SARS-CoV-2 yang menjadi penyebab Covid-19, minimal jumlah genom yang dikirimkan adalah 0,05 persen dari total kasus yang ditemukan di suatu wilayah.
Artinya, jika total kasus positif Covid-19 di Indonesia saat ini 977.000 kasus, jumlah data WGS yang dikirimkan sekitar 488 data. Sementara idealnya, jumlah genome yang dikirim adalah 1 persen dari total kasus yang ditemukan. Dari data WGS yang dianalisi di Indonesia, 69 persen telah teridentifikasi dengan mutasi virus D614G.
Menurut Riza, target pemerintah dengan 1.000 data WGS sangat baik untuk bisa mendeteksi adanya mutasi virus secara lebih baik. ”Tantangannya bagaimana menyatukan antara banyak laboratorium dan ahli bioinformatika, meningkatkan kapasitas laboratorium, mengolaborasikan data, serta mempresentasikan data itu. Peran konsorsium menjadi penting untuk mengoordinasi itu,” tuturnya.
Peneliti Emerging Virus Research Unit LBM Eijkman, Friliasita Aisyah, menambahkan, selain untuk mendeteksi mutasi dari varian baru, WGS SARS-CoV-2 perlu dilakukan untuk melihat kemampuan transmisi dan penyebaran dari virus serta menentukan diagnostik dan perawatan penunjang yang dibutuhkan.
”Dengan pandemi Covid-19 yang masih berlangsung, varian baru juga terus bermunculan, whole genome sequiencing ini merupakan bentuk konkret dari inovasi kita, terutama dari sisi peneliti untuk bisa memprediksi apa yang akan terjadi dalam 10 langkah ke depan dari pandemi,” ucapnya.