Mutasi Baru SARS-CoV-2 yang Bisa Menyiasati Vaksin
Hasil penelitian menunjukkan hasil mutasi virus SARS-CoV-2 berpotensi untuk lolos dari respons imun. Modifikasi vaksin perlu terus dilakukan agar bisa mengendalikannya.
Ketika vaksin mulai disuntikkan, SARS-CoV-2 diam-diam terus bermutasi. Sejumlah mutasi pada virus korona baru penyebab Covid-19 ini dapat membuatnya meloloskan diri dari respons kekebalan tubuh manusia yang pernah terinfeksi sehingga dikhawatirkan bisa membuat vaksin kehilangan efektivitasnya.
Para peneliti telah mengidentifikasi ribuan mutasi pada sampel SARS-CoV-2 di berbagai belahan dunia. Hingga Kamis (14/1/2021), menurut bank data genom virus di Nextrain.org, telah terjadi 15.898 kejadian mutasi pada tingkat asam nukleat yang menyebabkan 9.781 perubahan asam amino.
Sebagian besar mutasi itu dianggap tidak berpengaruh banyak pada struktur biologi virus. Namun, belakangan semakin banyak varian baru dari hasil mutasi yang signifikan sehingga bisa memengaruhi peta jalan dalam peperangan melawan virus ini.
Baca juga: Vaksin Covid-19 Pfizer-BioNTech Masih Bekerja Melawan Mutasi Virus di Inggris
Salah satu mutasi baru itu ada di Inggris sejak September 2020, tetapi baru ditemukan pada Desember 2020. Varian baru SARS-CoV-2 yang dikenal sebagai B.1.1.7 dipastikan jauh lebih menular dan telah menjadi pemicu lonjakan kasus dalam gelombang kedua pandemi yang kini melanda Inggris serta sejumlah negara lain.
Peneliti genomik molekuler dari Aligning Bioinformatics dan anggota konsorsium Covid-19 Genomics UK, Riza Arief Putranto, mengatakan, sebaran B.1.1.7 telah menggantikan varian sebelumnya di Inggris. ”Sudah 100 persen hasil pengurutan genom virus SARS-CoV-2 di Inggris dari September hingga Januari adalah varian B.1.1.7. Ini menunjukkan, varian ini sangat cepat sekali penyebarannya sehingga bisa menggeser varian lain sebelumnya,” katanya.
Secara global, varian baru virus ini telah ditemukan di lebih dari 40 negara, termasuk di sejumlah negara Asia Tenggara, seperti Singapura, Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Riza mengkhawatirkan varian ini sebenarnya juga sudah masuk ke Indonesia, tetapi belum terdeteksi karena kelemahan surveilans molekuler.
Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio mengatakan, sampel SARS-CoV-2 di Indonesia yang dianalisis total genomnya memang masih terbatas, yaitu baru 57 urutan genom. ”Sejauh ini dari WGS (urutan total genom) dari sampel di Indonesia belum ditemukan varian baru (SARS-CoV-2) dari Inggris,” kata Amin.
Baca juga: Tim Surveilans Genomik untuk Deteksi Mutasi Virus Korona
Menurut dia, saat ini Lembaga Eijkman mulai menganalisis lebih banyak lagi virus yang didapatkan dari November dan Desember 2020. ”Eijkman sudah memulai proyek analisis 1.000 WGS,” ujarnya.
Jadi, dengan keterbatasan data genom ini, menurut Riza, kita belum bisa menyimpulkan apakah mutasi baru dari Inggris ini sudah ada di Indonesia atau belum. ”Kita perlu lebih waspada, termasuk juga dengan mutasi-mutasi lain,” katanya.
Sekalipun lebih menular, tidak ada bukti mutasi B.1.1.7 dari Inggris ini menyebabkan penyakit yang lebih parah ataupun lebih mematikan. Tidak lebih mematikan bukan berarti lebih menggembirakan. Varian yang lebih menular, dalam beberapa hal, jauh lebih berbahaya daripada varian yang bisa memicu keparahan.
Itu karena penularan yang lebih tinggi membuat kita tertular virus yang lebih menular yang menyebar dengan pertumbuhan eksponensial, sedangkan risiko dari peningkatan keparahan akan meningkat secara linear, hanya memengaruhi mereka yang terinfeksi. Sebagai ilustrasi, sekalipun SARS lebih mematikan, SARS-CoV-2 lebih besar dampaknya secara global.
Lolos dari antibodi
Meski demikian, mutasi yang paling dikhawatirkan adalah yang bisa memengaruhi respons antibodi. Dan, itu terjadi pada 18 Desember 2020 saat Afrika Selatan mengumumkan telah mendeteksi mutasi yang menyebar dengan cepat dan mendominasi di tiga provinsi, yaitu Eastern Cape, Western Cape, dan KwaZulu-Natal. Varian ini dinamakan 501Y.V2 karena adanya mutasi N501Y yang mereka temukan dalam protein paku (spike protein) yang digunakan virus untuk masuk ke dalam sel di dalam tubuh.
Ini tentu saja menjadi kabar buruk karena berpotensi menjadikan SARS-CoV-2 juga bisa menyiasati respons imun yang dipicu oleh vaksin.
Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), meskipun kedua varian yang ditemukan di Inggris dan Afrika Selatan berbagi mutasi N501Y, mereka berbeda. Varian di Afrika Selatan membawa dua mutasi lain pada protein paku (antara lain E484K dan K417N) yang tidak terdapat di strain Inggris.
Mutasi pada E484K dari varian baru di Afrika Selatan ini mengubah ”domain pengikat reseptor”, bagian penting dari protein paku yang digunakan virus untuk memasuki sel manusia. Ini juga merupakan situs penting di mana antibodi penetral yang disebabkan oleh infeksi atau vaksinasi mengikat virus.
Penelitian Allison J Greaney dan tim dari Fred Hutchinson Cancer Research Center di Seattle telah menilai kemampuan antibodi yang diambil dari orang yang sebelumnya terinfeksi SARS-CoV-2 untuk menetralkan berbagai galur baru virus korona. Di antaranya yang dikaji yaitu respons terhadap mutasi baru pada E484K, yang selain ditemukan di Afrika Selatan juga telah ditemukan di Brasil.
Baca juga: Mutasi SARS-CoV-2 dari Afrika Selatan Dikhawatirkan Pengaruhi Vaksin
Studi mereka, yang dirilis pada Selasa (5/1/2021) di laman biorxiv.org, belum ditinjau oleh rekan sejawat, menemukan bahwa varian baru SARS-CoV-2 yang muncul di Afrika Selatan, dan kemudian juga secara terpisah ditemukan di Brasil, telah membawa mutasi E484K. Mutasi ini dinilai bisa mengurangi kemampuan terhadap netralisasi oleh antibodi serum dari beberapa individu. Penurunan kemampuan netralisasi antibodi ini bisa mencapai lebih dari 10 kali lipat.
Tim tersebut menguji respons antibodi terhadap sampel protein paku virus. Setiap sampel protein membawa versi berbeda dari wilayah yang disebut domain pengikat reseptor (RBD), yang mengenali sel inang dan merupakan target utama antibodi.
Dari ribuan mutasi RBD yang diuji, hanya sedikit yang mengurangi kemampuan antibodi untuk mengikat erat protein paku, suatu perubahan yang mungkin juga mengindikasikan penurunan kemampuan antibodi untuk menonaktifkan virus.
Namun, efeknya sangat bervariasi di antara orang-orang. Mutasi yang paling berpengaruh, di lokasi yang disebut E484K, menyebabkan penurunan tajam potensi antibodi beberapa individu. Varian virus korona yang diidentifikasi di Afrika Selatan dan Brasil membawa mutasi di tempat yang sama.
Penelitian Paola Cristina Resende dan tim dari Laboratory of Respiratory Viruses and Measles (LVRS), Oswaldo Cruz Institute dan tim, menemukan, mutasi pada E484K atau disebut varian B.1.1.28 ini terbukti berperan memicu terjadinya kasus infeksi ulang di Brasil.
Sedangkan penyelidikan terpisah oleh Emanuele Andreano dan tim dari Monoclonal Antibody Discovery (MAD) Lab, Italia, menemukan, mutasi E484K memiliki kemampuan untuk resisten terhadap netralisasi plasma. Pemodelan komputasi memprediksi bahwa penghapusan dan penyisipan pada loop N3 dan N5 mencegah pengikatan antibodi penetral.
Baca juga: Mitigasi Masuknya Varian Baru SARS-CoV-2
Dengan bukti-bukti ini, Andreano menyimpulkan, kemunculan varian baru yang memiliki mutasi E484K memiliki potensi untuk lolos dari respons imun yang efektif. Ini tentu saja menjadi kabar buruk karena berpotensi menjadikan SARS-CoV-2 juga bisa menyiasati respons imun yang dipicu oleh vaksin.
Sekalipun bukti-bukti kukuh masih dikumpulkan, melihat tren mutasinya, ke depan kita harus bersiap untuk terus memodifikasi vaksin yang mampu mengendalikan varian-varian baru yang bermunculan. Itu berarti, perang melawan SARS-CoV-2 bisa lebih panjang lagi dan sangat mungkin pada akhirnya nanti virus ini akan menjadi endemik dan kita harus bersiap hidup selamanya dengannya.