Di tengah peringatan Hari Pers Nasional yang jatuh hari ini, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengingatkan semua pihak untuk menjaga kebebasan pers yang merupakan buah dari reformasi.
Oleh
Edna C Pattisina
·4 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Di tengah peringatan Hari Pers Nasional yang jatuh hari ini, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengingatkan semua pihak untuk menjaga kebebasan pers yang merupakan buah dari reformasi. Pers tidak saja menjadi mata dan telinga publik, tetapi juga wujud dari kebebasan berpendapat.
”Oleh karena itu, pers penting karena merupakan esensi bagi HAM dan demokrasi,” kata Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin Al Rahab, Selasa (9/2/2020).
Amiruddin mengatakan, pers adalah sarana bagi pemenuhan hak untuk mengetahui dan hak memperoleh informasi. Oleh karena itu, Komnas HAM memandang dunia pers dan insan pers adalah pejuang-pejuang HAM karena merupakan wadah bagi perwujudan kebebasan berpendapat. ”Kebebasan berpendapat adalah esensi bagi HAM dan demokrasi,” ujarnya.
Ia mengingatkan, kebebasan pers yang dirasakan saat ini adalah buah dari reformasi. Oleh karena itu, semua komponen bangsa perlu bersama-sama merawatnya. Tujuannya, agar HAM dan demokrasi di Indonesia menjadi lebih bermutu. ”Semoga insan pers bisa menjalankan tugas jurnalistiknya tanpa hambatan dari aparatur negara dan masyarakat,” katanya.
Penekanan terhadap pentingnya kebebasan berpendapat juga disampaikan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), LBH Pers, dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS). Mereka menutut perlindungan terhadap jurnalis dan revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Ade Wahyudin dari LBH Pers merujuk pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta masyarakat lebih aktif mengkritik kinerja pemerintah. Menurut dia, dari sekadar pernyataan retorik dan kebijakan spontan yang tak konsisten, presiden perlu memperhatikan banyaknya kasus yang memberangus kebebasan berpendapat.
Tahun 2020, Kapolri mengeluarkan surat telegram terkait antisipasi kasus-kasus ujaran kebencian dan penyebaran hoaks, juga kasus-kasus penghinaan kepada penguasa/presiden/pemerintah yang terjadi selama situasi pandemi Covid-19.
Ade menyampaikan beberapa kasus, seperti penangkapan peneliti kebijakan publik dan pegiat advokasi legislasi, Ravio Patra, yang sering menyuarakan kritik terhadap jalannya pemerintahan. Selain itu, surat Kementerian Kesehatan tertanggal 3 Agustus 2020 perihal surat peringatan yang ditujukan kepada salah satu pengguna akun Twitter yang memberikan kritik guna perbaikan dan pembenahan penanganan Covid-19 di Indonesia. Bahkan, awal Januari 2021, muncul somasi dari kuasa hukum seorang gubernur yang mengancam akan menggunakan UU ITE untuk mereka yang mengkritik gubernur terkait banjir di Kalimantan Selatan.
Sustira Dirga dari ICJR mengatakan, berdasarkan hasil Survei Indikator Politik yang dirilis pada 25 Oktober 2020 lalu, 36 persen dari 1.200 responden di seluruh Indonesia menyatakan bahwa Indonesia menjadi negara yang kurang demokratis. Adapun 47,7 persen responden menyatakan agak setuju bahwa warga makin takut menyatakan pendapat.
Selain itu, berdasarkan survei yang dilakukan oleh ICJR, LBH Pers, dan IJRS, sebanyak 35 dari 125 responden jurnalis mengungkapkan pernah mengalami penyensoran atas berita yang mereka buat. Teguran atau peringatan tidak resmi dari pihak pemerintah menjadi bentuk penyensoran yang paling banyak dialami oleh responden, sebesar 25,7 persen.
Data di LBH Pers menunjukkan, sepanjang 2020 terdapat sepuluh kasus kriminalisasi terhadap jurnalis, dengan lima kasus menggunakan ketentuan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan tiga kasus lainnya menggunakan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE tentang ujaran kebencian.
”Pasal-pasal ’karet’ seperti dalam UU ITE masih kerap dijadikan alat untuk melakukan kriminalisasi dan membungkam kebebasan berekspresi,” kata Dio Ashar dari IJRS.
Hal tersebut menciptakan iklim ketakutan di masyarakat dalam memberikan kritik kepada pemerintah. Selain itu, pasal-pasal pidana, seperti ujaran kebencian, berita bohong, makar, dan penghinaan terhadap individu, masih kerap digunakan untuk tujuan membungkam ekspresi yang sah.
”Aparat penegak hukum cenderung bertindak sewenang-wenang dalam menindak warga yang berbeda pandangan politiknya atau memberikan kritiknya terhadap pemerintah,” kata Dio.
Berdasarkan hal tersebut, ICJR, LBH Pers, dan IJRS mendesak, jika serius menyatakan mendorong rakyat untuk kritis, bukan pernyataan kosong belaka, pemerintah dan DPR harus melakukan evaluasi dan revisi atas UU ITE. Revisi terutama terkait tindak pidana yang memiliki rumusan sangat ”lentur” dan ”karet”, seperti Pasal 27 Ayat (3) dan Pasarl 28 Ayat (2) UU ITE.