Saat vaksinasi Covid-19 sudah dimulai, masih ada yang ragu atau bahkan menolak divaksin. Ketersediaan vaksin jadi tantangan lain yang masih harus diatasi pemerintah agar pandemi Covid-19 di Tanah Air segera berakhir.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
Di tengah vaksinasi Covid-19 yang mulai bergulir di Tanah Air, setidaknya masih ada dua persoalan yang jadi pekerjaan rumah untuk diatasi. Masih adanya sebagian publik yang ragu akan khasiat vaksin, khususnya vaksin buatan Sinovac asal China yang saat ini digunakan. Kemudian soal ketersediaan vaksin. Sejumlah strategi pun telah diterapkan dan disiapkan pemerintah untuk menjawab tantangan itu.
Pada Rabu (13/1/2021), Presiden Joko Widodo menjadi orang pertama yang menjalani vaksinasi Covid-19 setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) resmi mengeluarkan izin penggunaan darurat (emergency use authorization/EUA) vaksin Sinovac. Selain Presiden, pejabat negara dan perwakilan masyarakat menerima vaksinasi perdana di Istana Merdeka, Jakarta.
Mereka yang menerima vaksin itu di antaranya Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng M Faqih, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, dan Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Aziz. Selain itu, vaksinasi diterima di antaranya oleh Raffi Ahmad sebagai perwakilan kelompok milenial, Nur Fauzah (perawat), Lusy Noviani (apoteker), Agustini Setiyorini (buruh), dan Narti (pedagang).
Selanjutnya, vaksinasi akan digelar di semua daerah, secara bertahap, dalam dua periode selama 15 bulan sejak Januari 2021-Maret 2022. Periode pertama, dari Januari-April 2021 dengan prioritas 1,3 juta tenaga kesehatan dan 17,4 juta petugas publik. Adapun untuk periode kedua berlangsung selama 11 bulan sejak April 2021-Maret 2022 yang ditujukan untuk seluruh masyarakat dengan ketentuan tertentu.
Vaksinasi menjadi salah satu jalan yang ditempuh untuk memutus rantai penyebaran Covid-19. Meski demikian, tak sedikit masyarakat yang masih meragukan kemanjuran dari vaksin Sinovac, bahkan menolaknya. Hal ini di antaranya terlihat saat perbincangan terkait vaksinasi riuh di jagat media sosial, seperti Twitter, beberapa hari lalu.
Berdasarkan data getdaytrends.com, tagar #TolakDivaksinSinovac sempat menjadi topik perbincangan terhangat keempat para pengguna Twitter di Indonesia pada Selasa (12/1/2021) pagi. Perbincangan ini muncul sehari setelah BPOM merilis efikasi atau kemanjuran vaksin Sinovac sebesar 65,3 persen.
Dalam perbincangan tersebut, beberapa pengguna Twitter menyatakan enggan mendapat vaksinasi karena efikasi vaksin Sinovac yang lebih rendah dibandingkan dengan vaksin Pfizer dan Moderna asal AS dengan efikasi mencapai 90 persen. Pengguna Twitter lainnya juga menyebut, masyarakat berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Ini sesuai bunyi Pasal 5 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Seusai menjalani vaksinasi, Daeng M Faqih mencoba menepis keraguan publik itu dengan meminta publik menghentikan polemik terkait khasiat vaksin. Polemik itu tak penting lagi karena BPOM telah menyatakan bahwa vaksin aman dan efektif. Ditambah lagi, MUI telah menyatakan vaksin Sinovac, suci dan halal.
Lolos serangkaian uji
Dalam bincang Satu Meja The Forum dengan tema ”Berharap pada Vaksin” di Kompas TV, Rabu (13/1), Budi Gunadi mengungkapkan, meski masih mendapatkan keraguan di mata publik, ia meyakini bahwa vaksin Sinovac sangat aman digunakan. Ia menekankan, vaksin telah melalui serangkaian uji klinis tahap pertama hingga ketiga dan semua laporan menunjukkan hasil baik.
”Uji klinis tahap ketiga sudah dijalankan di tiga negara, yakni Turki, Indonesia, dan Brasil. Tidak ada laporan buruk mengenai hal-hal yang terjadi di ketiga negara tersebut. Kita percaya pada ahlinya bahwa BPOM telah melakukan analisis yang mendalam dan sudah menyatakan vaksin ini aman serta manjur untuk dipakai,” ujarnya dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas, Budiman Tanuredjo tersebut.
Budi menjelaskan, saat bertemu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef), terungkap bahwa penolakan terhadap vaksin Covid-19 tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di banyak negara lain. Penolakan ini berpotensi menggagalkan penanggulangan Covid-19 karena syarat vaksinasi yaitu harus dilakukan pada minimal 70 persen populasi suatu negara agar memunculkan kekebalan kelompok.
Mayoritas penolakan terjadi karena masyarakat masih ragu terhadap efikasi, keamanan, hingga efek samping vaksin. Oleh karena itu, menurut Budi, informasi terkait ketiga hal ini perlu terus disampaikan ke publik, khususnya dari para ahli. Hal itu sangat penting karena informasi saat ini dinilainya lebih banyak disampaikan oleh mereka yang tidak ahli di bidang vaksin atau farmasi.
Selain itu, menjadikan pejabat-pejabat negara sebagai penerima vaksin perdana juga menjadi salah satu strategi untuk mengikis keraguan masyarakat terhadap vaksinasi.
”Vaksinasi akan direplikasi di 34 provinsi terutama kepala daerah untuk memberikan pesan yang sama,” ungkapnya.
Vaksinasi mandiri
Guna memastikan vaksinasi sesuai dengan target, strategi yang diterapkan pemerintah adalah memastikan pasokan vaksin dari sejumlah negara.
Selain 125 juta dosis vaksin Sinovac, pemerintah melakukan pengadaan masing-masing 100 juta dosis vaksin dari Novavac (Kanada), AstraZeneca (Inggris), Pfizer-BioNTech (AS-Jerman), dan 54-108 juta dosis melalui skema kemitraan global Dewan Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi (GAVI).
Opsi untuk melakukan vaksinasi mandiri juga memungkinkan untuk dilakukan masyarakat agar kekebalan komunitas dapat segera terbentuk. Akan tetapi, Budi menegaskan, pemilihan vaksin mandiri tidak menghilangkan hak masyarakat untuk memperoleh vaksin gratis pemerintah.
Di sisi lain, ia mengimbau kepada pihak yang mampu melakukan vaksinasi mandiri seperti korporasi, untuk menyediakan vaksin bagi seluruh pekerjanya. Dengan demikian, narasi yang tersampaikan ke publik menjadi lebih baik.
Seluruh upaya yang dilakukan pemerintah tersebut semata-mata tidak hanya untuk menepis keraguan maupun polemik vaksin yang telanjur menyebar di publik. Terpenting, upaya tersebut merupakan bentuk kewajiban negara dalam memastikan kesehatan warganya sekaligus menanggulangi penyebaran Covid-19.