Ruang untuk keluh kesah menjadi salah satu dukungan terhadap korban kekerasan di ruang maya. Dari ruang-ruang semacam itulah ada asa agar para korban berani menyuarakan situasi dan kondisi yang sebenarnya terjadi.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Enam bulan belakangan ini, Arina Makarimal Fasya (24), Ashilly Achidsti (24), Rizqi Karomatul Khoiroh (24), dan Aufa Huwaidi Alfasya (19) mengisi sela-sela rutinitas mereka dengan kampanye anti-kekerasan berbasis jender. Mereka memanfaatkan Instagram sebagai platform untuk menyebarkan konten-konten berisi pengetahuan hingga tips.
Well Sharing, demikian akun yang mereka gunakan untuk kampanye anti-kekerasan berbasis jender. Well sendiri merupakan akronim dari women, equality,relation, dan anti-violence.
Ashilly, peneliti LP3M UNU Yogyakarta, menuturkan, Well Sharing hadir sejak Juni 2020 sebagai kampanye membangun hubungan yang sehat dalam pacaran dan pernikahan, kesetaraan jender, ataupun kekerasan berbasis jender. Kontennya berbentuk poster dan grafis dalam tampilan sedemikian rupa supaya menarik dengan bahasa populer.
”Kekerasan fisik dan verbal makin jamak terjadi. Dari situ, kami ingin kampanye sebagai penyadartahuan bahwa hubungan bisa tidak sehat, jadi racun, dan berujung kekerasan,” ujar Ashilly, Minggu (13/12/2020).
Salah satu fokus mereka di tengah situasi pandemi ialah kekerasan berbasis jender secara daring atau kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang kian marak seiring masifnya penggunaan teknologi komunikasi dan informasi. Modusnya pun mutakhir dan umumnya dilakukan melalui aplikasi media sosial yang sangat dekat dengan masyarakat, seperti Facebook, Whatsapp, Instagram, Twitter, dan Tinder.
Bentuk-bentuk kekerasan yang dilaporkan, antara lain, ialah pendekatan untuk memperdaya (cyber grooming), pelecehan daring (cyber harassment), peretasan (hacking), konten ilegal (illegal content), pelanggaran privasi (infringement of privacy), ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious distribution), pencemaran nama baik (online defamation), pengelabuan (phising), dan perekrutan daring (online recruitment).
Dari kampanye itu, ada beberapa korban yang berkeluh kesah tentang kekerasan yang dialami. Ada korban cyber grooming, illegal content, malicious distribution, dan online defamation.
Rizqi, mentor 1% Ind.Life School, menyebutkan, keluh kesah itu melahirkan sesi curhat secara anonim ataupun tidak sesuai kesedian korban. Tidak jarang sesi itu berlanjut ke konseling dengan dirinya yang merupakan lulusan psikologi.
”Tidak hanya kampanye saja, tetapi saling sharing. Ada ruang supaya korban berani speak up. Kejahatan online ibarat lingkaran setan sehingga sulit putus tanpa bantuan orang lain,” ucapnya.
Sepanjang enam bulan itu, sudah ada belasan korban menumpahkan isi hatinya. Beberapa orang dibantu berkonsultasi dengan lembaga atau pegiat isu kekerasan berbasis jender.
Libatkan laki-laki
Tidak saja kampanye di media sosial dan ruang keluh kesah. Ada pula pelibatan laki-laki dalam perjuangan anti-kekerasan berbasis jender.
Rutgers WPF Indonesia, organisasi nonprofit yang fokus pada isu hak, kesehatan seksual dan reproduksi, dan kekerasan berbasis jender, melibatkan laki-laki dalam perjuangannya.
Pelibatan itu dalam program Prevention+. Program ini bertujuan mengurangi kekerasan terhadap perempuan dan meningkatkan partisipasi ekonomi. Pendekatannya melibatkan laki-laki sebagai agen perubahan sekaligus mempromosikan nilai maskulinitas yang positif berdasarkan nilai kesetaraan dan non-kekerasan.
Programnya berjalan di Jakarta, Lampung, Yogyakarta, dan Solo. Mereka juga melibatkan mitra kerja, yakni Rifka Annisa, Rahima, Lembaga Advokasi Perempuan Damar, Sahabat Kapas, dan Yabima.
Evania, salah satu pegiat di Rutgers WPF Indonesia, menyampaikan, strategi dalam Prevention+ antara lain diskusi komunitas reguler untuk empat kelompok (perempuan dan laki-laki usia dewasa serta perempuan dan laki-laki usia remaja), konseling kekerasan berbasis jender dan seksual, kampanye melalui berbagai media (termasuk media sosial), dan advokasi dari tingkat desa hingga nasional.
”Pendekatan kami ke pelibatan laki-laki karena salah satu akar dari kekerasan berbasis jender berasal dari kontruksi sosial budaya patriarki yang melanggengkan hal tersebut. Kami libatkan laki-laki sebagai pencegahan supaya tidak lakukan kekerasan,” ucap Evania.