Jerat Eksploitasi Seksual dan Ekonomi lewat Teknologi Digital…
Kejahatan berbasis jender secara daring menimpa sejumlah perempuan, termasuk anak perempuan, di Tanah Air saat menggunakan gawai yang terhubung dengan jaringan internet. Mereka menjadi korban secara seksual dan ekonomi.
Sekitar Oktober 2019 lalu, tanpa sengaja ROS (42), warga di Jakarta Utara, berkenalan dengan TOP, seorang laki-laki, melalui media sosial Facebook. Awalnya berteman biasa, tetapi kemudian TOP meminta nomor telepon yang terhubung dengan Whatsapp. Keduanya menjadi dekat, lalu berpacaran.
Singkatnya, ROS yang selama ini menjadi orangtua tunggal bagi tiga anaknya semakin akrab dengan TOP. ”Dia memanggil saya bunda. Dia memberikan saya perhatian lebih. Dia selalu tanya sudah makan belum, lalu tanya kabar anak dan perhatian lainnya,” ujar ROS kepada Kompas, Sabtu (12/12/2020) pekan lalu.
Sejak awal, TOP, yang mengaku seorang polisi dan bertugas di Bali, menyatakan tertarik dengan ROS dan ingin menjalin hubungan serius. Seiring berjalannya waktu, hubungan mereka pun semakin serius. TOP, yang juga mengaku memiliki seorang anak perempuan, berjanji akan datang ke Jakarta menemui ROS.
”Dia bilang mau lamar aku, terus menikah, dan membawa aku ke Bali,” ujar ROS yang sama sekali tidak menyadari sedang masuk dalam jerat tipu daya TOP.
Perhatian TOP juga membuat ROS tidak mempermasalahkan meskipun setiap video call dia tidak pernah melihat wajah TOP. Dia tahu wajah TOP hanya lewat foto yang dikirimkan via Whatsapp (WA). Setiap kali menelepon lewat video call WA, TOP tidak pernah memperlihatkan wajahnya di kamera. Saat ditanya mengapa tidak ada wajahnya, dia beralasan kamera teleponnya rusak. ROS pun tidak mempermasalahkan.
Kendati tidak pernah melihat wajah aslinya TOP, hubungan mereka pun semakin dekat. Hingga suatu saat, ketika ROS sedang bersiap mandi, TOP memaksa ROS untuk video call. ROS sempat menolak dan mengungkapkan bahwa dia hanya menggunakan sarung. Namun, TOP memaksa ”kekasihnya” supaya menunjukkan bagian tubuh tanpa busana.
Beberapa minggu kemudian, ROS mendapat telepon dari TOP, yang mengabarkan dirinya tabrakan dan meminta dikirimi uang Rp 700.000. Namun, ROS tidak bisa mengirim uang karena dia sendiri tidak bekerja. Namun, TOP terus menghubunginya dan memaksanya mencari uang. Karena tidak dikirimi uang, TOP mulai meneror ROS.
”Bunda, mau lihat video Bunda enggak? Saya tanya, video apa. Dia bilang, kejutan buat Bunda,” ujar ROS yang sama sekali tidak menyangka bahwa video yang dimaksud adalah video tubuhnya tanpa busana yang direkam TOP saat dia akan mandi.
Belakangan, ROS juga kaget karena akun Facebook-nya diambil alih oleh TOP. Belakangan, ROS dihubungi temannya bahwa di Facebook-nya ada video dan foto-foto dirinya tanpa busana disertai kalimat-kalimat yang tidak pantas. Status dalam Facebook seolah-olah ditulis oleh ROS sehingga membuat teman-temannya heran, bahkan anak-anak dan keluarga ROS pun menjadi tahu.
Menghadapi kenyataan tersebut, ROS terpukul dan malu. Namun, anak sulungnya yang telah menikah mencoba meyakinkan bahwa dia menjadi korban. ”Pokoknya sudah bercampur aduk perasaan saya,” ujar ROS, yang akhirnya atas dukungan teman-temannya memutuskan mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta pada awal Desember 2019.
Pertengahan Desember 2019, bersama Said Niam, pengacara publik LBH APIK, ROS melaporkan kasusnya ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Namun, proses tidak berjalan mulus. Berita acara pemeriksaan baru dibuat sekitar Maret 2020 setelah kasusnya dilimpahkan ke Polres Jakarta Utara. Saat proses hukumnya baru dimulai, pandemi Covid-19 terjadi. Saksi-saksi yang akan diperiksa berada di luar kota. ”Sekarang mandek karena keterangan saksi,” ujar Said.
Kasus yang menimpa ROS merupakan contoh dari kekerasan berbasis jender secara daring. Kalangan aktivis organisasi masyarakat sipil menyebutnya sebagai kekerasan berbasis gender online (KBGO). Selain ROS, ada sejumlah korban yang mengadu ke LBH APIK dengan modus pelaku yang berbeda-beda, tetapi tujuannya sama, yaitu eksploitasi seksual dan ekonomi.
Said mencontohkan, ada korban perempuan pekerja seks. Modusnya, pelaku menghubungi korban, membayar korban dengan sekian rupiah, kemudian meminta korban melakukan aktivitas seksual secara daring. Pelaku merekam videonya, kemudian mengontak balik korban lalu memeras korban, meminta melakukan aktivitas seksual secara daring tanpa dibayar dan meminta uang. Jika tidak, pelaku mengancam akan menyebar video korban.
Sejumlah korban memilih bungkam, menjadi korban berlapis, karena takut dan malu untuk melaporkan kasus yang menimpanya.
Sejumlah korban memilih bungkam, menjadi korban berlapis, karena takut dan malu untuk melaporkan kasus yang menimpanya.
Kasus-kasus berbasis jender secara daring juga pernah menimpa sejumlah perempuan lain. Dalam laporan Safenet 2020 tentang Laporan Situasi Hak-hak Digital Indonesia 2019 juga dimuat sejumlah kasus yang menimpa perempuan dengan berbagai modus.
Salah satunya adalah kasus yang dialami KJD, yakni penyebaran nomor ponsel pribadi dengan identitas palsu di berbagai aplikasi kencan daring, seperti BeeTalk, WeChat, dan Badoo, yang menawarkan layanan pijat dan spa beserta layanan seks.
Akibatnya, KJD banyak menerima pesan teks dan panggilan video di Whatsapp dan ponselnya dari para laki-laki yang menghubunginya untuk menanyakan layanan yang disebut dalam akun-akun digital tersebut. Pelaku juga melakukan hal serupa kepada empat korban lain.
Akun media sosial dibajak
Peristiwa serupa dialami Amanda (22), bukan nama sebenarnya, mahasiswi jurusan psikologi sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Perlu hampir dua tahun baginya untuk kembali aktif di dunia maya setelah ia trauma gara-gara akun media sosial (medsos)-nya dibajak. Pembajak kemudian menyebarkan konten-konten tidak pantas kepada banyak orang.
Tak pelak, untuk sementara Amanda menjauh dari lingkungan sosialnya karena setelah itu banyak pesan aneh masuk ke akun medsos dan nomor ponselnya. Salah satunya ada kiriman foto kutang ke akun medsosnya. ”Enggak tahu kutang siapa. Gue diamkan karena waktu itu beberapa teman juga dapat pesan kayak begitu,” ujar Amanda, Minggu (13/12/2020).
Mendiamkan teror ternyata membuat pengirim konten kesetanan. Mereka makin intens mengirimkan foto tak pantas. Tidak hanya foto kutang, kali ini ditambahkan foto vulgar, mulai dari payudara, alat vital, hingga adegan dewasa.
Teror itu menggila. Mereka memanipulasi foto wajah korbannya, termasuk Amanda, ke dalam foto bugil yang bertebaran di internet. Belakangan, Amanda dan teman-temannya tahu, para penyemu (impostor) berteman di Instagram sebelum mengambil foto-foto untuk dimanipulasi.
Karena manipulasi konten oleh penyemu itulah, hampir setiap hari selama hampir dua tahun ada saja akun yang mengirimkan foto dan videonya di Line dan Instagram. Belum lagi bertebaran akun palsu atas namanya dan kerap menandainya di akun dewasa.
Kekerasan serupa pernah dialami Baiq Nuril Maknun (41), mantan tenaga honorer SMA Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat. Baiq Nuril adalah korban pelecehan seksual yang diduga dilakukan kepala sekolah di tempatnya bekerja. Atasannya melakukan percakapan tak senonoh yang direkam Baiq. Namun, Nuril kemudian dilaporkan ke kepolisian.
Di pengadilan, ia didakwa melanggar Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena dituduh menyebarkan konten pornografi. Setelah berjuang hampir 4 tahun 5 bulan, awal Agustus 2018, Baiq Nuril menerima amnesti (peniadaan hukuman) dari Presiden Joko Widodo.
”Kasus saya jadi pelajaran buat diri saya dan semua orang. Kasus saya membuka mata banyak orang karena banyak orang tidak tahu pelecehan dan kekerasan seksual,” ujar Nuril, Minggu (13/12/2020).