Kedaulatan Pangan Dapat Terwujud jika Potensi Lokal Dikembangkan
Kedaulatan pangan sulit terwujud tanpa mengoptimalkan potensi daerah sesuai dengan keragaman benih lokalnya.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pegiat pangan lokal meyakini kedaulatan pangan bukan lagi impian. Hal ini dapat terwujud jika ada keinginan yang serius untuk mengoptimalkan potensi daerah. Kekayaan pangan Indonesia tecermin dari keragaman benih lokal yang adaptif sesuai kondisi alam setempat.
Dengan mengembangkan kekayaan itu, mata rantai ketergantungan pada satu sumber pangan dapat terputus. Gagasan ini dilontarkan pegiat pangan lokal dalam serial diskusi tentang ketahanan pangan lokal untuk mengatasi krisis sosial ekologi oleh The Samdhana Institute, Senin (23/11/2020).
Maria Loretha, pegiat pangan lokal dari Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, mulai mengumpulkan dan melestarikan benih lokal sejak tahun 2007. Sudah beragam benih terkumpul, seperti sorgum, jelai, dan jagung pulut. Semuanya tanaman yang sesuai dengan kondisi alam cenderung kering, curah hujan rendah, kontur tanah berbatu, dan sumber air terbatas.
”Daulat pangan tidak ada tanpa benih. Benih lokal adaptif dan tahan sesuai kondisi alam sekitar. Tanam benih lokal supaya bisa jadi lumbung pangan,” ucap Maria.
Maria bersama warga setempat mengembangkan sorgum supaya warga tidak melulu bergantung pada beras. Dengan begitu, warga bisa menghemat uang bulanan karena tidak lagi membeli beras.
Di sisi lain, sorgum dapat tumbuh meskipun ada pohon sebagai naungan di suatu lahan. Kondisi yang berbeda dengan jagung karena tidak tumbuh optimal jika ada tanaman lain. Batangnya pun menjadi pakan tambahan untuk ternak.
Maria menuturkan kembali kepada kondisi alam setempat dengan benih lokal yang sesuai. Tidak perlu memaksakan tanaman tertentu dari luar daerah untuk menyiasati kondisi lahan yang tandus atau kering.
”Ada potensi lain yang luar biasa, seperti kelor, keladi, dan pisang. Itu makanan bergizi bermanfaat untuk melawan tengkes (stunting),” katanya. Potensi lain di Flores Timur adalah labu yang ditanam saat musim hujan dan rosela yang bisa jadi manisan, selai, dan olahan lainnya.
Dicky Senda, pegiat kewirausahaan sosial Lakoat.Kujawas dari Mollo Utara, Timor Tengah Selatan, juga mengumpulkan benih lokal untuk ketahanan pangan warga desanya. Mereka menggunakan medium seni budaya untuk pengarsipan, pendokumentasian, dan revitalisasi kampung dengan pelibatan warga secara aktif.
Dia secara rutin mengunjungi pasar setiap hari Kamis untuk mencatat pangan lokal, menelusuri bahan pangan dari musim ke musim dalam setahun, dan mencari tahu olahan yang masih ada dan tidak. Dari situ tercatat dan terkumpul benih lokal yang berkembang menjadi olahan tradisional dan modern. ”Selama pandemi Covid-19, warga tahu bahwa ada jagung, ubi, dan kacang-kacangan sebagai alternatif ketergantungan pada beras,” ucap Dicky.
Hari Pangan Sedunia tahun ini mengusung tema ”Grow, Nourish, Sustain, Together”. Itu berkaca dari kerapuhan sistem pertanian pangan yang mengancam jutaan orang ke dalam kelaparan akibat pandemi.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) memperkirakan 132 juta orang kelaparan akibat resesi ekonomi. Bahkan, sebelumnya, lebih dari 2 miliar orang tidak memiliki akses reguler ke makanan yang cukup aman dan bergizi dan sekitar 700 juta orang tidur dalam keadaan lapar meskipun dunia menghasilkan lebih dari cukup makanan untuk memberi makan semua orang.
Hal tersebut terjadi karena sistem pertanian pangan tidak seimbang. Ketidakseimbangan juga melahirkan obesitas, degradasi lingkungan, kehilangan dan pemborosan makanan, serta kurangnya keamanan bagi pekerja dalam rantai makanan.
Merawat
Pegiat pangan lokal juga berupaya menarik minat warga setempat maupun merawat potensi lokal. Dukungan pemerintah sangat berarti dalam kemajuan upaya itu.
Modesta Wisa, pegiat Sekolah Adat Samabue dari Landak, Kalimantan Barat, tengah berjuang mendorong kawula muda untuk bertani. Upaya itu tidak mudah karena melawan stigma bahwa bekerja itu di kantor.
Tantangan lainnya terbatasnya tenaga untuk menggarap lahan kosong, kondisi tanah rawa, waktu, cuaca, pengetahuan warisan leluhur yang terbatas, dan pemasaran hasil tani.
Untuk itu, sejak tahun 2016, Modesta dan pegiat lainnya mempelajari pengetahuan dan praktik lokal dari tetua adat dan perempuan. Pengetahuan dan praktik diteruskan kepada anak-anak usia 5-15 tahun lewat sekolah adat. Ada juga kelas obat-obatan dan makanan tradisional, tarian, musik, serta permainan.
”Alih fungsi lahan, larangan tidak boleh buka kebun dengan cara membakar, penggundulan hutan, cetak sawah, dan irigasi mengubah banyak kebiasaan warga. Kami buat gerakan dorong kawula muda yang ada di kampung dan di kota supaya mau jadi petani,” ucap Modesta.
Sementara itu, Charles Toto, pegiat dari Papua Jungle Chef, tak henti menjelajah Papua dari selatan ke utara untuk mengumpulkan resep tradisional. Dia mendata resep tradisional di pegunungan, rawa, lembah, dan pesisir sejak 1997 dari Merauke sampai Sorong. ”Ternyata, banyak hal baru. Salah satunya warga menghasilkan garam dari tanaman, bukan air laut,” ujar Charles.
Charles pun berupaya mengisahkan asal-usul cita rasa lokal supaya lestari dan dikenal banyak orang. Misalnya warga menghidangkan ikan kuah hitam saat pelantikan kepala suku dan jenis-jenis sagu konsumsi maupun menjaga ekosistem. Namun, semua upaya itu terasa sulit tanpa dukungan pemerintah. Kebijakan pusat dan daerah sangat membantu upaya mengoptimalkan kelokalan suatu daerah.
Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Hari Nur Cahya Murni dalam diskusi tersebut mengatakan, belum ada regulasi dengan mandat besaran alokasi anggaran untuk pangan dan air sebagai kebutuhan utama manusia. Demikian juga tidak sinkronnya pusat dan daerah dalam rencana pembangunan jangka menengah.
”Upaya mengatasi persoalan salah satunya lewat satgas ketahanan pangan daerah supaya pangan lokal jadi fokus di daerah masing-masing. Kalau berjalan dengan baik, cukup membantu,” ucapnya.