Warga Nilai Iuran BPJS Kesehatan Masih Layak Dinaikkan
Sejumlah warga menilai, iuran JKN-KIS yang dikelola BPJS Kesehatan masih layak untuk dinaikkan. Defisit BPJS dikhawatirkan akan mengurangi manfaat asuransi pemerintah.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah warga menilai, iuran Jaminan Kesejatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan masih layak untuk dinaikkan. Besarnya beban penjaminan yang tidak dapat sepenuhnya ditanggung iuran masyarakat dikhawatirkan terus mengurangi manfaat asuransi pemerintah tersebut.
Herman (30), pekerja swasta, mengaku tidak keberatan dengan kenaikan iuran Jaminan Kesejatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Ia sudah memanfaatkan jaminan kesehatan tersebut untuk persalinan kedua anaknya.
”Anak saya dua-duanya lahir normal dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Bayangkan kalau biaya sendiri, saya mungkin harus berutang puluhan juta karena biaya persalinan, kan, enggak murah,” tuturnya kepada Kompas, Selasa (10/3/2020).
Ia menilai, kenaikan iuran yang ditanggung sebagian oleh perusahaannya dan pendapatannya tidak akan terlalu membebani keuangan keluarganya.
Pendapat yang sama diungkapkan Hendriyapto (47), yang selama ini membiayai iuran JKN-KIS untuk orangtuanya. Asuransi itu setahun terakhir dipakai untuk membiayai pengobatan ayahnya yang mengidap pembengkakan jantung.
Dengan asuransi pemerintah tersebut, kontrol kesehatan untuk sang ayah yang perlu dilakukan tiap bulan bisa terjamin. Sayangnya, sebulan terakhir ada obat yang kini dikurangi fasilitas layanan kesehatan. Defisit BPJS Kesehatan ditengarai sebagai pemicunya.
”Baru sebulan lalu obatnya dikurangi, biasanya dapat banyak untuk sebulan. Kemarin dikasih hanya untuk seminggu. Kata dokternya, BPJS sekarang hanya kasih sedikit, selebihnya jadi nebus sendiri. Untung harga obatnya cuma berapa ratus ribu. Masih terjangkau,” tuturnya.
Oleh karena itu, pekerja swasta tersebut tidak keberatan jika harus mengikuti kesepakatan pemerintah yang menaikkan iuran agar pelayanan kesehatan bisa lebih maksimal.
BPJS Kesehatan mencatatkan potensi defisit sampai Rp 32,8 triliun pada 2019. Mengutip Kompas (18/2/2020), defisit terjadi karena rata-rata iuran dari semua peserta baru sebesar Rp 36.700 per orang, lebih rendah dari rata-rata biaya kesehatan Rp 50.700 per orang. Nilai defisit tahun lalu pun berpotensi melebar hingga mencapai Rp 77,9 triliun Pada 2024.
Defisit terus membengkak kendati pemerintah ikut mengalokasikan triliunan rupiah untuk 96,8 juta jiwa peserta penerima bantuan iuran (PBI) JKN-KIS. Anggaran yang dikucurkan pemerintah meningkat dari 26,7 triliun pada 2019 menjadi Rp 48,8 triliun pada 2020.
Sejauh ini, porsi terbesar anggaran BPJS tersedot untuk penyakit tidak menular dan tergolong katastropik. Berdasarkan laporan keuangan BPJS Kesehatan 2016, penyakit jantung paling banyak menyedot anggaran, yaitu Rp 7,48 triliun. Diikuti penyakit gagal ginjal Rp 2,59 triliun, lalu penyakit kanker Rp 2,35 triliun.
Perbaikan sistem
Untuk mengurangi defisit BPJS Kesehatan, pemerintah membuat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan untuk menaikan iuran mulai 1 Januari 2020. Namun, kebijakan itu baru-baru ini dibatalkan melalui keputusan Mahkamah Agung (MA), akhir Februari lalu.
Lembaga peradilan itu mengabulkan uji materi perpres yang mengatur kenaikan iuran hingga sebesar Rp 42.000 per orang per bulan untuk kelas III, Rp 110.000 per orang per bulan untuk kelas II, dan Rp 160.000 per orang per bulan untuk kelas I.
Sebelumnya, iuran untuk kelas III sebesar Rp 25.400 per orang per bulan, kelas II sebesar Rp 51.000 per orang per bulan, dan kelas I sebesar Rp 80.000 per orang setiap bulan.
Namun, sebagian warga setuju agar iuran BPJS Kesehatan tidak naik. Kenaikan iuran JKN-KIS, menurut Fitri, seorang pegawai swasta, hanya akan mengurangi pendapatan suaminya yang menanggung iuran tersebut.
”Kalaupun (iuran) naik, paling enggak pemerintah perlu memperbaiki sistem dan fasilitas kesehatannya,” ujar Fitri.