Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sedang menyiapkan dokumen pengusulan Jalur Rempah sebagai warisan budaya tak benda dunia.
JAKARTA, KOMPAS — Rempah-rempah dikenal dunia jauh sebelum kedatangan bangsa- bangsa Eropa ke Nusantara. Kemasyhuran cita rasa pala, cengkeh, jahe, lada, dan kayu manis tidak lepas dari kepiawaian pelaut-pelaut Nusantara berlayar memperdagangkan hasil bumi ke berbagai belahan dunia.
Kisah tentang pelayaran pelaut-pelaut Nusantara antara lain tertuang dalam Negarakertagama karya Mpu Prapanca pada era Kerajaan Majapahit, 1350-1389 yang menyebut pelaut-pelaut Majapahit telah berlayar sampai ke Tiongkok dan India. Sejarawan Universitas Hasanuddin, Makassar, almarhum Edward L Poelinggomang juga pernah menyatakan, selain Majapahit, sekitar abad ke-16 dan ke-17, Kerajaan Gowa dan Tallo juga telah berdagang rempah-rempah ke sejumlah negara.
Karena itulah, euforia perdagangan rempah pada abad ke-16 dengan datangnya bangsa-bangsa Eropa ke Nusantara merupakan kelanjutan dari rangkaian panjang sejarah jalur perdagangan rempah sejak ribuan tahun lalu. Sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa inilah, penguasaan perdagangan rempah berawal. Kisah besar munculnya jalur perdagangan rempah inilah yang akan diusulkan Kemdikbud ke World Heritage Committee (WHC) UNESCO.
Kisah besar munculnya jalur perdagangan rempah inilah yang akan diusulkan Kemdikbud ke World Heritage Committee (WHC) UNESCO.
“Kami sedang menyiapkan penyusunan dokumen Jalur Rempah ke WHC untuk mendapatkan daftar tentatif (Tentative List). Setelah masuk dalam daftar tentatif, tahun depan kemungkinan Jalur Rempah bisa diusulkan sebagai warisan budaya dunia,” kata Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Nadjamuddin Ramly, Jumat (20/9/2019), di Jakarta.
Dibedah bersama-sama
Saat ini, proses penyusunan dokumen Jalur Rempah diupayakan melalui pengumpulan kajian-kajian dari para ahli. Selain itu, digelar pula rangkaian diskusi kelompok terpumpun di sejumlah daerah, mulai dari Ternate, Maluku Utara, Sumatera Selatan, Riau, hingga daerah-daerah lain yang terkoneksi dengan jalur rempah.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Takbenda yang ditetapkan di Paris, Perancis pada 17 Oktober 2003. Indonesia resmi meratifikasi Konvensi tersebut melalui Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2007.
Indonesia telah memiliki sembilan khazanah Warisan Dunia, yang terdiri dari lima Warisan Budaya dan Empat Warisan Alam. Lima Warisan Budaya itu meliputi Kompleks Candi Borobudur (1991), Kompleks Candi Prambanan (1991), Situs Manusia Purba Sangiran (1996), Lanskap Budaya Provinsi Bali: Sistem Subak sebagai Manifestasi dari Filosofi Tri Hita Karana (2012), dan Warisan Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto (2019). Adapun Warisan Alam meliputi Taman Nasional Ujung Kulon (1991), Taman Nasional Komodo (1991), Taman Nasional Lorentz (1999), dan Warisan Hutan Hujan Tropis Sumatera (2004).
Indonesia telah memiliki sembilan khazanah Warisan Dunia, yang terdiri dari lima Warisan Budaya dan Empat Warisan Alam.
Pada tahun 2019 ini, terdapat 29 khazanah, yaitu alam (4), budaya (24), dan campuran (1) di dunia yang ditetapkan masuk ke dalam Daftar Warisan Dunia, salah satunya Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto di Sumatera Barat. Indonesia juga sudah menempatkan 19 warisan alam dan budaya nasional pada Daftar Sementara Warisan Dunia.
“Bakal warisan budaya yang akan diusulkan lagi tahun depan adalah Yogyakarta, Kebun Raya Bogor, Pemukiman Tradisional Toraja di Sulawesi Selatan, dan Karst Sangkulirang Mangkalihat di Kalimantan Timur serta Koridor Budaya Maritim Indonesia,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid.
Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO Kemdikbud, Prof Arief Rachman, saat penyerahan sertifikat penetapan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto sebagai Warisan Dunia UNESCO dari Kementerian Luar Negeri ke Kemdikbud, mengingatkan agar sertifikat tersebut tidak menjadi “arsip mati”, tetapi sebaliknya memunculkan “kekuatan-kekuatan” baru.
“Tidak pantaslah kalau Ombilin sudah ditetapkan, lalu anak-anak di daerah sana tidak paham, guru-gurunya tidak mengerti mengapa ia ditetapkan. Teman-teman di akar rumput terutama pendidik perlu memahami kekuatan edukatif Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto. Kalau sudah berbicara tentang pendidikan, maka harus ada bukunya. Bukunya beda harus memiliki nilai-nilai ilmiah,” kata dia.