Perlu Terobosan Hukum guna Mengatur ”Sharing Economy”
Aktivitas bisnis bermodel ”sharing economy” berkembang pesat dengan tumbuhnya banyak ”start up”. Namun, perkembangan model bisnis baru itu belum diikuti dengan penerbitan regulasi yang mumpuni.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
BANTUL, KOMPAS — Selama beberapa tahun terakhir, aktivitas bisnis dengan model sharing economy atau ekonomi berbagi berkembang pesat dengan tumbuhnya banyak start up atau usaha rintisan. Namun, perkembangan model bisnis baru itu belum diikuti dengan penerbitan regulasi yang mumpuni. Oleh karena itu, perlu terobosan hukum untuk melahirkan regulasi yang tepat terkait sharing economy.
Demikian diungkapkan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Mukti Fajar Nur Dewata saat menyampaikan orasi ilmiah dalam rangka pengukuhan dirinya sebagai guru besar, Rabu (25/5/2022), di Gedung Sportorium UMY, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dalam kesempatan tersebut, Mukti menyampaikan orasi ilmiah berjudul ”Hukum dan Kesejahteraan: Konsep Regulasi di Era Sharing Economy”. Selain menjadi Guru Besar Ilmu Hukum UMY, Mukti Fajar juga menjabat Ketua Komisi Yudisial.
Dalam orasi ilmiahnya, Mukti menyatakan, perkembangan teknologi telah melahirkan sistem ekonomi baru yang disebut sebagai sharing economy. Sharing economy sering didefinisikan sebagai aktivitas berbasis peer to peer (rekan ke rekan) untuk memperoleh, menyediakan, atau berbagi akses ke barang jasa yang difasilitasi oleh platform online (daring) berbasis komunitas.
Menurut Mukti, aktivitas bisnis dengan model sharing economy itu banyak digerakkan oleh anak-anak muda yang kemudian mendirikan start up. Dia menambahkan, model bisnis tersebut juga berkembang pesat di Indonesia karena banyak start up yang tumbuh di Tanah Air.
Pada 2022, jumlah start up di Indonesia mencapai 2.346, meningkat dibanding tahun 2020 sebanyak 2.195 start up. Start up di Indonesia yang berhasil tumbuh besar, antara lain, Gojek, Traveloka, Tokopedia, Bukalapak, dan Blibli.
Berkembangnya aktivitas sharing economy itu memiliki dampak positif, yakni makin banyak masyarakat yang menjadi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). UMKM itu bermunculan karena adanya peluang ekonomi yang dihadirkan oleh sejumlah startup yang mengimplementasikan konsep sharing economy.
Akan tetapi, Mukti mengatakan, berkembangnya model bisnis sharing economy itu juga melahirkan persoalan di bidang hukum. ”Sharing economy dengan model bisnisnya yang mengacaukan atau disruptive ini melahirkan persoalan hukum baru. Norma hukum yang ada seakan lumpuh dan tidak mampu mengatur loncatan perkembangannya,” ujarnya.
Persoalan hukum itu, antara lain, terlihat dalam upaya pemerintah untuk mengatur transportasi daring. Mukti menyebut, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah peraturan terkait transportasi daring, tetapi regulasi-regulasi itu dinilai belum mampu mengatur transportasi daring secara tepat. Bahkan, sebagian peraturan itu justru dibatalkan setelah adanya uji materi.
Menurut Mukti, problem regulasi itu muncul karena pemerintah memandang model bisnis sharing economy dengan perspektif bisnis konvensional. Padahal, kedua model bisnis tersebut memiliki paradigma yang berbeda. ”Dalam menghadapi fenomena ini, hukum seakan kehilangan daya normatifnya untuk mengatur inovasi yang meloncat dan mengacaukan sistem ekonomi pasar,” ujarnya.
Pengaturan sendiri
Menghadapi masalah hukum terkait aktivitas sharing economy, Mukti menyatakan, dibutuhkan adanya terobosan hukum terkait dua hal. Terobosan pertama adalah mengembangkan hukum bisnis berdasarkan prinsip pragmatisme. Dalam prinsip ini, hukum harus melihat kebenaran dari sisi praktis, yakni kebaikan dan kemanfaatannya.
”Hukum bisnis harus didesain secara pragmatis agar dapat mengawal perubahan model bisnis yang cepat sekali berubah,” tutur Mukti.
Adapun terobosan kedua yang disebut Mukti adalah perlunya pergeseran otoritas regulator dari pemerintah kepada para pelaku usaha. Dengan pergeseran itu, para pelaku sharing economy bisa melakukan self regulation atau pengaturan sendiri. Dalam model self regulation, pengaturan sharing economy bisa dilakukan berdasarkan kesepakatan para pelaku usaha sendiri.
Pengalaman banyak negara telah membuktikan, regulasi selalu pontang-panting karena tertinggal dalam memberikan perlindungan dan kepastian hukum akibat kemunculan berbagai inovasi disruptif dan model bisnis baru dalam sharing economy.
Meski begitu, model self regulation itu bukan berarti menghilangkan peran pemerintah sepenuhnya. Menurut Mukti, pemerintah masih bisa berperan sebagai penjaga dan penegak hukum dalam situasi tertentu, misalnya ketika terjadi kecurangan dan persaingan tidak sehat.
Selain itu, pemerintah juga bisa memainkan sejumlah peran, yakni mencegah terjadinya praktik monopolistik, menjaga masyarakat sebagai konsumen dari produk yang berbahaya, menjaga dan mencukupi kebutuhan masyarakat jika terjadi kelangkaan produk, memberikan perlindungan dan jaminan sosial bagi masyarakat yang kurang beruntung, serta memungut pajak dari transaksi ekonomi untuk kemudian dimanfaatkan bagi kepentingan publik.
Sementara itu, dalam sambutan yang disampaikan melalui rekaman video, Presiden Joko Widodo mengucapkan selamat atas pengukuhan Mukti Fajar sebagai Guru Besar Ilmu Hukum UMY. Presiden menyebut, sebagai akademisi, Mukti telah memberikan kontribusi penting dalam pengembangan ilmu hukum agar terus relevan dengan kemajuan dan perkembangan zaman.
Presiden menyatakan, inovasi dan perkembangan teknologi telah membuat kompleksitas baru yang luar biasa, terutama dalam dunia hukum. Hal ini karena banyak isu-isu baru yang memiliki risiko hukum baru, misalnya mata uang kripto, rekayasa genetika, hingga kemunculan model bisnis sharing economy.
”Pengalaman banyak negara telah membuktikan, regulasi selalu pontang-panting karena tertinggal dalam memberikan perlindungan dan kepastian hukum akibat kemunculan berbagai inovasi disruptif dan model bisnis baru dalam sharing economy,” kata Presiden.
Oleh karena itu, Presiden mengapresiasi orasi ilmiah Mukti yang menawarkan konsep hukum yang mengedepankan kecepatan dan fleksibilitas dalam memutakhirkan regulasi, tetapi tetap mampu memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi publik. ”Saya berharap, tawaran ini akan diperdalam oleh para akademisi dan praktisi,” kata Presiden.