Kejagung Siapkan 34 Jaksa untuk Pengadilan HAM Kasus Paniai
Sebanyak 34 jaksa ditunjuk Jaksa Agung sebagai tim penuntut umum kasus pelanggaran HAM berat di Paniai. Harapan besar diletakkan di pundak para jaksa itu. Namun, juga ada keraguan terhadap penanganan kasus ini.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin membentuk tim penuntut umum untuk menyelesaikan perkara dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat di Paniai tahun 2014. Tim penuntut umum tersebut terdiri atas 34 jaksa yang berasal dari Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi Papua, dan Kejaksaan Negeri Makassar.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana, Selasa (24/5/2022), mengatakan, tim penuntut umum tersebut dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 147 Tahun 2022 tanggal 23 Mei 2022 dan Surat Perintah Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PRIN-41/A/Fh.2/05/2022 tanggal 23 Mei 2022.
”Selanjutnya, penuntut umum akan segera menyusun surat dakwaan dan melimpahkan berkas perkara tersebut ke Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pengadilan Negeri Makassar,” kata Ketut dalam keterangan tertulis.
Ketut menjelaskan, setelah beberapa waktu lalu berkas perkara dinyatakan lengkap, pada Selasa (24/5/2022) tim penyidik perkara pelanggaran HAM berat di Paniai menyerahkan tanggung jawab terhadap tersangka beserta barang bukti perkara kepada tim jaksa penuntut umum. Pelimpahan tersangka dan barang bukti tersebut dilakukan secara virtual.
Dalam perkara tersebut, seorang berinisial IS ditetapkan sebagai tersangka. Ketika peristiwa Paniai terjadi pada Desember 2014, IS merupakan perwira menengah yang merupakan perwira penghubung di Komando Distrik Militer (Kodim) Paniai.
”Tersangka didampingi oleh penasihat hukumnya dilakukan pemeriksaan di kantor Kejaksaan Negeri Biak Numfor, sedangkan pemeriksaan barang bukti dilakukan di Gedung Bundar, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus,” ujar Ketut.
Menurut Ketut, tersangka IS dijerat dengan Pasal 42 Ayat (1) Huruf a dan b junctis Pasal 7 Huruf b, Pasal 9 Huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan kedua, Pasal 42 Ayat (1) Huruf a dan b junctis Pasal 7 Huruf b, Pasal 9 Huruf h, Pasal 40 undang-undang yang sama.
Perlindungan saksi
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo mengatakan, sekitar seminggu lalu, tim dari Kejaksaan Agung telah berkoordinasi dengan LPSK. Tim dari kejaksaan menanyakan prosedur tentang pengajuan perlindungan bagi saksi-saksi yang diperlukan untuk proses peradilan nanti.
”Itu tergantung jaksa nanti saksi siapa saja yang diperlukan, lalu nanti kami berikan perlindungan. Kalau sudah minta perlindungan LPSK, maka LPSK yang akan mengatur semuanya (terhadap saksi itu),” kata Hasto.
Paralel dengan itu, lanjut Hasto, LPSK akan berkoordinasi dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengenai para korban. Mereka akan diidentifikasi dan dilakukan asesmen terkait dengan penilaian kompensasi. Berkas terkait identifikasi dan penilaian kompensasi tersebut akan diserahkan ke jaksa penuntut umum untuk dimasukkan ke dalam surat penuntutan yang nantinya akan dibacakan jaksa di pengadilan.
”Kemarin saya sampaikan ke jaksa bahwa proses peradilan ini mudah-mudahan menjadi monumental karena kasus sebelumnya belum pernah sukses. Kami berharap semoga ini bisa terwujud karena itu berarti negara punya perhatian terhadap kasus pelanggaran HAM berat,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar berharap, Jaksa Agung benar-benar memilih para jaksa yang memang memiliki kapasitas ke dalam tim jaksa penuntut umum perkara tersebut. Sebab, keraguan terhadap kesungguhan Jaksa Agung dalam menangani kasus Paniai masih terus ada.
Kemarin saya sampaikan ke jaksa bahwa proses peradilan ini mudah-mudahan menjadi monumental karena kasus sebelumnya belum pernah sukses. Kami berharap semoga ini bisa terwujud karena itu berarti negara punya perhatian terhadap kasus pelanggaran HAM berat. (Hasto Atmojo Surojo).
”Penetapan tersangka yang hanya satu orang dan merupakan perwira penghubung ini mengesankan penanganan perkara ini hanya formalitas. Terhadap keraguan ini, apakah kejaksaan meresponsnya dengan baik atau memang proses hukum ini hanya sekadarnya saja,” kata Wahyudi.
Seiring dengan itu, Wahyudi juga berharap Mahkamah Agung menyiapkan majelis hakim yang memang memiliki kapasitas dan kualitas sebagai hakim untuk pengadilan HAM. Sebab, sudah lebih dari satu dasawarsa pengadilan HAM tidak pernah dilakukan. Hal ini menjadi tantangan tersendiri untuk menghadirkan baik hakim maupun jaksa yang terbaik dalam perkara HAM berat.
Kapasitas dan kualitas hakim ataupun jaksa penuntut umum tersebut juga penting karena tiga kasus pelanggaran HAM berat terdahulu, yakni Timor Timur, Tanjung Priok, dan Abepura, sama sekali tidak bisa menghukum terduga pelaku. Hal ini pula yang menambah keraguan terhadap kesungguhan penuntasan kasus Paniai ini.
”Karena kasus ini akan sangat menentukan nasib Papua ke depan, termasuk bagaimana pemerintahan Jokowi hari ini berkomitmen terhadap penyelesaian kasus HAM di Papua,” ujar Wahyudi.