Saat Para Hakim Konstitusi Saling Lempar Celetukan
Dalam forum kerap kali ada celetukan yang dilontarkan pembicara untuk membangun relasi dengan audiens. Apa yang terjadi jika yang berbicara para hakim konstitusi?
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
Udara dingin terasa di ballroom Hotel Aryaduta Bali, Kamis (19/5/2022) malam. Sekitar 100 peserta konferensi nasional Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara atau APHTN-HAN berkumpul di ruangan untuk mendengar seminar dari tiga hakim konstitusi. Mereka tak hanya berasal dari anggota APHTN-HAN, tetapi juga dari hakim serta peneliti hukum dan administrasi negara dari kementerian dan lembaga.
Malam itu, hadir empat hakim konstitusi. Mereka adalah Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman serta hakim konstitusi Arief Hidayat, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih. Namun, hanya Anwar, Arief Hidayat, dan Saldi yang naik ke podium untuk menjadi narasumber seminar ”Dinamika Negara Hukum Demokratis Pasca Perubahan UUD 1945”. Mereka berbicara tentang banyak hal mengenai situasi ketatanegaraan terkini. Tak kalah menarik, mereka juga saling berkelakar.
”Perasaan cinta (terhadap asosiasi) itu, kan, tidak ditentukan oleh warna baju yang saya pakai. Saya lagi romantis-romantisnya nih, mengikuti Ketua MK,” ujar Saldi yang disambut gelak tawa peserta. Anwar tersenyum tipis saat mendengar ucapan tersebut.
Kelakar Saldi itu seolah mengingatkan publik bahwa dalam waktu dekat Anwar akan mempersunting Idayati, adik kandung Presiden Joko Widodo. Meskipun pernikahan adalah hak setiap orang, muncul diskursus terkait dampak pernikahan terhadap MK. Ada kekhawatiran hal itu bisa menyulitkan posisi MK, terutama saat memutus perkara yang berkaitan dengan Presiden.
Dalam kesempatan itu, Anwar juga kembali menepis kekhawatiran publik itu. Anwar mengklaim konflik kepentingan bisa dihindari karena dalam memutus perkara di MK, ada delapan hakim konstitusi lainnya. MK tetap independen dan tidak memihak dalam memutus perkara.
”Seperti yang pernah dikatakan Prof Enny Nurbaningsih beberapa waktu lalu. Faktanya bahwa kami tidak tunduk kepada salah satu hakim konstitusi termasuk ketua. Jadi, putusan atau pendapat ketua tidak harus diikuti. Kami masih independen, masing-masing merdeka untuk menyampaikan pendapat. Jadi, keliru kalau ada pendapat dari siapa pun kalau ketua bisa memengaruhi putusan. Itu tidak mungkin,” tutur Usman.
Anwar mengklaim konflik kepentingan bisa dihindari karena dalam memutus perkara di MK, ada delapan hakim konstitusi lainnya. MK tetap independen dan tidak memihak dalam memutus perkara.
Saat ditanya seusai seminar, Saldi menampik bahwa hal yang disampaikannya adalah sindiran. Menurut dia, itu adalah kelakar spontan untuk mencairkan suasana.
Kendati begitu, Saldi juga sempat memberikan contoh kasus hukum terkini yang berkaitan dengan isu konflik kepentingan di MK. MK sedang menangani perkara uji materi UU MK. UU itu digugat baik secara formil maupun materiil, salah satunya karena norma perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi serta ketua dan wakil ketua MK.
Saat menjawab pertanyaan dari peserta seminar, Saldi menyebut soal perdebatan baru di Mahkamah Agung Amerika Serikat tentang masa jabatan hakim agung yang semula seumur hidup jadi maksimal usia 70 tahun. Menurut dia, di AS sudah ada yang mengajukan draf rancangan UU yang menyatakan usia maksimal hakim 70 tahun.
”Ilmu itu terus berkembang dengan argumentasi-argumentasi yang muncul kemudian. Tiba-tiba AS ingin mencontoh usia maksimal hakim di Indonesia, yaitu 70 tahun. Oleh karena itu, kami berharap dialog ketatanegaraan menjadi penting diwadahi untuk memberikan kritik konstruktif,” kata Saldi.
Di Indonesia, masa jabatan hakim agung dan hakim konstitusi sudah dibatasi hingga usia 70 tahun. Yang menjadi perdebatan saat ini adalah revisi ketiga Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK mengatur usia maksimal untuk menjadi hakim menjadi 55 tahun. Sebelum direvisi, usia hakim MK minimal 47 tahun.
Hakim sekarang juga dapat menjabat hingga 15 tahun sampai usia pensiun 70 tahun. Ketentuan ini menghapus periodisasi yang sebelumnya diatur, yaitu menjabat lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Revisi UU MK juga memperpanjang masa jabatan pimpinan MK dari semula 2,5 tahun menjadi lima tahun.
Saat menjawab pertanyaan dari peserta seminar, Anwar Usman juga sempat ”mengganggu” Saldi Isra. Menurut Anwar, Saldi pernah mengatakan kepadanya kalau ingin mundur dari jabatannya sebagai hakim konstitusi.
”Di AS sekarang ini sedang ada perdebatan untuk membatasi usia maksimal hakim agung menjadi 70 tahun atau tidak lebih dari 18 tahun masa jabatan,” kata Saldi.
Saat menjawab pertanyaan dari peserta seminar, Anwar Usman juga sempat ”mengganggu” Saldi Isra. Menurut Anwar, Saldi pernah mengatakan kepadanya kalau ingin mundur dari jabatannya sebagai hakim konstitusi.
”Adinda Prof Saldi ini juga pernah (mau) mengundurkan diri. Saya bilang, eh jangan. Adinda itu garisnya jadi hakim,” ujar Anwar.
Menanggapi saling lempar kelakar hakim konstitusi di acara Konferensi Nasional APHTN-HAN, Sekretaris Jenderal APHTN-HAN Bayu Dwi Anggono menilai itu sebagai hal yang wajar. Apalagi, bagi yang sudah mengenal karakter masing-masing sebelum mereka menjabat sebagai hakim konstitusi. Menurut Bayu, hujan kelakar itu juga lazim karena mungkin pada saat bekerja bersama menangani perkara uji materi UU ini di MK, ketiganya sering mengalami perbedaan pendapat.
”Dinamika biasalah itu bagi yang sudah mengenal karakter mereka. Prof Arief itu biasanya bercanda ala Jawa semarangan yang tentu saja berbeda dengan gaya bercanda Ketua MK atau Saldi Isra,” kata Bayu.
Kritik dan masukan konstruktif
Bayu mengatakan, forum rakornas dan konferensi nasional APHTN-HAN diharapkan dapat memberikan kritik dan masukan konstruktif terhadap masalah ketatanegaraan dan administrasi negara saat ini. Menurut dia, konferensi kali ini bisa dikatakan berhasil jika dilihat dari parameter banyaknya peserta yang mendaftarkan makalah. Total ada 250 orang yang mengirimkan makalah. Mereka membahas lima isu utama, yaitu penataan legislasi dan peraturan kebijakan, pokok-pokok haluan negara dan sistem ketatanegaraan Indonesia, pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, perkembangan kewenangan peradilan tata usaha negara, serta perizinan pasca-UU Cipta Kerja.
”Konferensi yang berhasil adalah konferensi yang berbobot sehingga yang tersaring adalah mereka yang memang paper-nya layak dipresentasikan dalam konferensi nasional,” ujar Bayu.
Konferensi nasional kali ini, imbuh Bayu, juga lebih komprehensif dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Sebab, kali ini, APHTN-HAN tidak hanya berdiskusi soal isu-isu ketatanegaraan semata. Namun, menggabungkan antara isu ketatanegaraan dan isu administrasi negara. Menurut Bayu, isu-isu hukum tata negara memang tidak bisa dilepaskan dari isu administrasi negara. Sebab, jantung dari isu tata negara adalah administrasi negara yang membahas tentang pelayanan negara terhadap publik.
Terkait dengan pemilihan lima isu yang dibahas, Bayu menyebut pada saat pandemi Covid-19, proses legislasi mendapatkan banyak catatan merah. Ini dibuktikan oleh putusan Mahkamah Konstitusi di uji formil UU Cipta Kerja yang mengingatkan pembentuk undang-undang untuk kembali pada hakikat legislasi. Pembentuk UU diingatkan lagi soal ketertiban administrasi pembuatan undang-undang.
Adapun terkait pemilu dan pilkada, menurut Bayu, isu tersebut sangat kontekstual. Dia menyoroti masih maraknya isu kontraproduktif terkait penundaan pemilu, di saat tahapan dimulainya pemilu sudah ada di depan mata. Idealnya, saat ini, semua pihak berfokus mewujudkan pemilu yang berintegritas. Anehnya, sejumlah elite politik justru masih menyuarakan isu penundaan pemilu.
”Seharusnya seluruh pihak berfokus tentang bagaimana mewujudkan Pemilu 2024 yang lebih berkualitas. Jangan sampai kompleksitas permasalahan yang dihadapi sama dengan pemilu sebelumnya, tahun 2019,” kata Bayu.
Seluruh rekomendasi yang dihasilkan dari para pemakalah ini selanjutnya akan dibukukan. Buku kemudian akan diserahkan kepada kementerian, lembaga, dan pihak terkait untuk menjadi masukan konstruktif dan pembenahan ketatanegaraan ke depan.