Di satu sisi, ada tren menjadikan MK sebagai lembaga pengadil sengketa politik ketika sebuah undang-undang mendapat penolakan publik. Namun, di sisi lain, pemerintah mengesampingkan pertimbangan dan putusan MK.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·4 menit baca
Senin, 5 Januari 2009, Prof Dr Satjipto Rahardjo menulis di Kompas. Judulnya: ”Sisi Lain Mahkamah Konstitusi”. Dalam salah satu alineanya, Satjipto menulis, ”Ludah kesembilan orang itu mengeluarkan api (dalam bahasa Jawa Idu Geni). Oleh karena sekali mereka memutus, dua ratusan juta manusia di Indonesia harus diam patut, manut. Tidak boleh ada protes, banding, tidak ada jalan untuk melawan. Di atas MK hanya ada langit! Apakah itu tidak mengerikan namanya!”
Satjipto menempatkan begitu tinggi posisi sembilan hakim konstitusi. Dalam teks konstitusi, satu-satunya profesi yang mensyaratkan sebagai negarawan yang menguasai konstitusi adalah hakim konstitusi. Tak ada pejabat lain yang diberi status sebagai negarawan yang menguasai konstitusi.
Pada sebuah masa, MK begitu digdaya. Lembaga itu menjadi pemutus masalah negara yang berpotensi mengarah pada kisruh konstitusional yang mengancam hilangnya hak dasar warga negara. Saat terjadi potensi hilangnya hak memilih, Ketua MK Mahfud MD mengambil prakarsa yang mengizinkan warga negara yang tidak mendapat surat pemberitahuan untuk memilih, bisa memilih dengan KTP.
MK pula yang pertama kalinya yang mengizinkan sadapan percakapan yang dilakukan KPK diperdengarkan dalam sidang Mahkamah Konstitusi. Dalam rekaman sadapan itulah terbongkar praktik mafia peradilan.
Pada sebuah masa, MK begitu digdaya. Lembaga itu menjadi pemutus masalah negara yang berpotensi mengarah pada kisruh konstitusional yang mengancam hilangnya hak dasar warga negara.
Marwah MK ikut dijaga oleh pimpinan nasional waktu itu sehingga lembaga tersebut bisa ikut dalam menjalankan peran sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution). Namun, kecelakaan sejarah yang dilakukan hakim MK, Akil Mochtar dan Patrialis Akbar, membuat MK berada di titik nadir. Kedua hakim konstitusi itu ditangkap KPK.
Mahkamah Konstitusi adalah satu lembaga produk reformasi. Ia menjadi kanal warga negara untuk menguji undang-undang. UU KPK, UU Pemilu, UU Cipta Kerja, UU Pemilihan Kepala Daerah menjadi langganan untuk diuji materi. Putusan MK final dan mengikat. Namun, MK tak punya kewenangan untuk mengeksekusi putusan itu. Putusan MK akan sangat bergantung pada Presiden.
Presiden punya peranan penting untuk menjaga marwah mahkamah. Jika putusan MK tak lagi didengar, akan berakhir pula roh dari mahkamah. Berbicara soal putusan MK bukan hanya menyangkut soal amar putusan, melainkan juga pertimbangan hakim konstitusi. Dalam beberapa putusan dalam pertimbangannya, MK menafsirkan teks konstitusi, misalnya soal ”kegentingan memaksa” sebagai syarat penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. MK memberi tafsir konstitusional apa itu kegentingan memaksa.
Dalam putusan nomor 138-PUU-VIII-2009, MK memberi tafsir kegentingan memaksa sebagai adanya kebutuhan untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang; undang-undang itu belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum. Kekosongan hukum itu tak dapat diatasi dengan cara membuat UU dengan prosedur biasa karena memakan waktu lama. Itulah tafsir MK soal frasa kegentingan memaksa yang ditulis MK dalam bagian pertimbangannya. Pertimbangan MK menjadi hukum.
Presiden punya peranan penting untuk menjaga marwah mahkamah. Jika putusan MK tak lagi didengar, akan berakhir pula roh dari mahkamah. Berbicara soal putusan MK bukan hanya menyangkut soal amar putusan, melainkan juga pertimbangan hakim konstitusi.
MK juga pernah memberi pertimbangan soal partisipasi bermakna (meaningful participation) saat pengujian UU Cipta Kerja. Dalam pertimbangannya—bukan dalam amar putusannya—memberikan tafsir soal partisipasi bermakna sebagai hak didengarkan pendapatnya; hak dipertimbangkan pendapatnya; hak mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang disampaikannya. Tafsir MK soal partisipasi itu memperkaya khazanah hukum.
Meminjam pendapat hakim konstitusi Enny Nurbaningsih di Kompas, 18 Mei 2022, pertimbangan hukum suatu putusan bersifat ratio decidendi atau tak dapat dipisahkan dengan amar putusannya. Latar belakang pendapat hakim Enny adalah sebagai respons atas ”diabaikannya” pertimbangan MK soal perlunya pemerintah membuat aturan pelaksanaan soal penunjukan pejabat kepala daerah agar memenuhi syarat terbuka, transparan, akuntabel agar menghasilkan sosok yang kompeten, berintegritas yang mau bekerja tulus untuk kepentingan rakyat.
MK juga memberikan pertimbangan kekosongan jabatan penjabat kepala daerah bisa diisi prajurit TNI dan Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif dan sesuai kompetensinya.
Dalam kenyataannya, pertimbangan MK itu dikesampingkan. Belum ada aturan pelaksanaan yang dibuat untuk mengisi kekosongan penjabat kepala daerah dengan alasan pertimbangan MK tidak masuk dalam amar putusan. Saat ditanya soal apakah Kementerian Dalam Negeri akan membuat aturan teknis seperti yang diperintahkan MK, Dirjen Otonomi Daerah Akmal Malik menyampaikan penunjukan penjabat kepala daerah selama ini berjalan sesuai aturan sejak tahun 2015. ”Semua berjalan baik, kok,” ujarnya (Kompas, 6/5/2022).
Sikap pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, punya risiko politik dan hukum. Penunjukan penjabat kepala daerah di 101 wilayah pada tahun 2022 berpotensi digugat karena dianggap mengabaikan putusan MK. Secara politik, sikap ini kian menunjukkan bagaimana politik hukum pemerintah terhadap Mahkamah Konstitusi.
Di satu sisi, ada tren menjadi juristocracy menjadikan MK sebagai lembaga untuk menjadi pengadil sengketa politik ketika sebuah undang-undang mendapat penolakan publik. Namun, di sisi lain, pemerintah mengesampingkan pertimbangan dan putusan MK. Sikap itu ambivalen serta tidak ikut menjaga marwah mahkamah dan kurang menghargai eksistensi lembaga negara yang mandatnya sama-sama berasal dari konstitusi. Sikap pemerintah itu sangat berisiko politik, hukum, dan konstitusi.