Advokat Senior Bersatulah Wujudkan Wadah Tunggal
Advokat senior, mari saling memaafkan dan kembali bersama-sama membangun Peradi dan marwah profesi advokat. Bersama memberikan darma bhakti untuk negeri ini. Hentikan saling mencaci atau menyerang kehormatan pribadi.
Pengantar: Harian Kompas dan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) bekerja sama untuk melakukan pendidikan hukum dan menumbuhkan kesadaran hukum dalam masyarakat, melalui Konsultasi Hukum dan Kabar Hukum yang dimuat di Kompas.id. Kabar hukum menjadi wadah bagi anggota Peradi untuk menuangkan pemikirannya, baik berbentuk opini/artikel atau rilis/berita. Untuk Konsultasi Hukum, warga bisa mengajukan pertanyaan terkait persoalan hukum melalui e-mail: hukum@kompas.id dan kompas@kompas.id, yang akan dijawab oleh sekitar 50.000 anggota Peradi. Untuk Kabar Hukum, anggota Peradi bisa mengirimkannya pada alamat email yang sama. Terima kasih
Baca Juga: Peradi Harus Hasilkan Advokat Berkualitas
Berbagai pendapat dan pemikiran telah dilontarkan, termasuk melalui media massa, tentang organisasi advokat, khususnya Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pemikiran dan pendapat yang muncul lebih banyak mencari pembenaran atas keberadaan organisasinya. Hal ini memicu keprihatinan, bagaimana adagium "Ubi Societas Ibi Justicia" bisa diwujudkan di negeri ini, bagaimana bisa menegakkan hukum dan keadilan di masyarakat, jika advokat, khususnya para senior belum mampu mengurus dirinya sendiri, dan tidak menyadari kekurangan itu, khususnya dalam mengurus organisasi.
Dalam sejarah organisasi advokat, kondisi saat ini merupakan kisah perpecahan kedua, yang sebenarnya terjadi pada tahun 2015. Perpecahan sebelumnya, setelah sempat bersatu, pertama kali terjadi tahun 1964. Tentu saja, sebagai advokat, kita taka da yang berkeinginan organisasi advokat terus-menerus terbelah, pecah untuk ketiga kalinya. Apalagi, jika menengok ke belakang, perjuangan melahirkan UU Advokat dan melahirkan wadah tunggal organisasi advokat sebenarnya sudah sangat panjang dan lama. Jangan sampai tiga kali organisasi advokat terpecah-belah.
Perpecahan lagi di tubuh organisasi advokat, yang sejak tahun 2004 kembali bersatu dengan pembentukan Peradi sesuai amanat UU Advokat, adalah saat sejumlah pendiri Peradi melahirkan Kongres Advokat Indonesia (KAI) tahun 2008. Perpecahan dan permasalahan organisasi advokat kian meruncing saat dilangsungkan Musyawarah Nasional (Munas) Peradi tahun 2015 di Makassar tidak bisa melahirkan kepengurusan yang diterima oleh semua kalangan. Peradi terbelah.
Perpecahan itu semakin meruncing, karena sejumlah kalangan yang mengedepankan ego dan pembenarannya. Padahal, untuk mempersatukan advokat, yang dibutuhkan adalah kedewasaan, dan bukan hanya mengedepankan kehebatan atau kepakaran dalam hukum, tetapi abai dan membuat kondisi organisasi advokat semakin terpuruk, dikorbankan, serta hilang uang, tenaga, pemikiran, waktu, dan yang lainnya. Advokat muda, calon advokat, dan mahasiswa yang bercita-cita menjadi advokat berada dalam kebingungan, sebab organisasi advokat semakin banyak terlahir. Masyarakat yang membutuhkan perlindungan hukum serta kepastian hukum dan keadilan juga terombang-ambing.
Baca Juga: Advokat Ingin Dilibatkan dalam Pembentukan Undang-Undang
UU Advokat
Apabila menggunakan logika berpikir masyarakat pada umumnya atas bahasan organisasi advokat yang berputar-putar masalahnya, dapat diambil benang merah, persoalan dualisme atau multilisme organisasi advokat terjadi, karena beberapa pihak yang merasa dirinya sebagai pakar dan paham hukum, tetapi ternyata tidak taat asas. Para advokat jika menyelesaikan masalah kliennya, pasti berpegangan pada hukum. Aturan hukum, termasuk undang-undang (UU). Namun, dalam menyelesaikan persoalan organisasi advokat, pegangannya bukan UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, melainkan kebenaran dan keyakinannya sendiri.
Pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) UUD 1945 mengenai asas-asas Perundang-undangan memastikan, bahwa UU tidak boleh berlaku surut. UU lebih tinggi pula kekuatan berlakunya, dibandingkan aturan lain, kecuali Konstitusi dan Ketetapan (Tap) MPR, seperti ditegaskan dalam adagium lex superiori derogat lex inferiori. Polemik mengenai organisasi advokat sesungguhnya telah terjawab oleh UU Advokat.
Ketentuan yang mengatur advokat dan organisasi advokat jelas adalah UU No. 18/2003. UU itulah roh advokat. UU ini berlaku bagi advokat yang terlahir dari Peradi, termasuk KAI atau organisasi advokat lain. Pasal 34 UU Advokat menyatakan, Peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai Advokat, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dibentuk atau diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru sebagai pelaksanaan Undang-Undang ini.
Mengenai posisi advokat, jelas dasar hukumnya mengikuti pasal 5 ayat (1), juncto pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) UU Advokat. Aturan itu menegaskan, advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas, dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Advokat yang dapat menjalankan pekerjaan profesi advokat, adalah yang diangkat sesuai dengan ketentuan UU ini, serta setiap Advokat yang diangkat berdasarkan UU ini wajib menjadi anggota organisasi advokat
Surat Ketua Mahkamah Agung (MA) Nomor 089/KMA/VI/2010 tertanggal 25 Juni 2010 yang pada pokoknya menyatakan, Ketua Pengadilan Tinggi dapat mengambil sumpah para advokat yang telah memenuhi syarat, dengan ketentuan bahwa usul penyumpahan tersebut harus diajukan oleh pengurus Peradi. Sebenarnya menjadi pertanyaan, atas dasar apa Surat Ketua MA itu? UU Advokat jelas tidak menghapuskan organisasi advokat yang telah ada, dan kedudukan UU itu lebih tinggi dibandingkan Surat Ketua MA. Dan, Surat Ketua MA itu akhirnya direvisi dengan Surat Ketua MA Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015, yang intinya MA menyatakan Ketua Pengadilan Tinggi memiliki kewenangan untuk melakukan penyumpahan terhadap advokat yang memenuhi syarat dari organisasi manapun.
Baca Juga: Penyatuan Peradi Terus Diupayakan
Mengenai satu Dewan Kehormatan, walau berbeda atau berasal lebih dari satu organisasi advokat, juga ditegaskan pada pasal 27 ayat (1) UU Advokat. Ketentuan ini menyatakan organisasi advokat membentuk Dewan Kehormatan Organisasi Advokat, baik di tingkat pusat atau daerah. UU Advokat telah menyatakan dengan jelas adanya hanya satu organisasi advokat, sehingga seharusnya hanya ada satu Dewan Kehormatan yang dibentuk oleh organisasi advokat. Jika ada keberatan terhadap pasal ini, seharusnya sejak awal ada uji materi (judicial review) berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK).
Profesi advokat pun terjaga dalam pasal 6 UU Advokat. Ia bisa dipersoalkan, jika melakukan tindakan: (a) Mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya; (b) Berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya; (c) Bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan; (d) Berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya; (e) Melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan dan atau perbuatan tercela; dan (f) Melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi.
Mengenai organisasi advokat, jelas dasar hukumnya, yaitu pasal 1 angka (4) juncto pasal 28 ayat (1) juncto pasal 32 ayat (3) dan ayat (4) UU Advokat. Ketentuan itu menyebutkan, organisasi advokat adalah organisasi profesi yang didirikan berdasarkan UU Advokat. Organisasi advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri, yang dibentuk sesuai dengan ketentuan UU ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat.
Untuk sementara tugas dan wewenang organisasi advokat, sebagaimana dimaksud dalam UU ini dijalankan bersama oleh Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya UU No. 18/2003, organisasi advokat harus telah terbentuk.
Polemik yang mengatakan organisasi advokat dalam UU Advokat tidak disebutkan Peradi, , memang benar adanya. Peradi lahir pada tanggal 21 Desember 2004, sebagaimana amanah UU Advokat. Peradi menjadi satu-satunya wadah profesi advokat atau wadah tunggal yang dibentuk paling lambat dua tahun sejak berlakunya UU, dan disahkan pada tanggal 5 April 2003, seperti tercatat pada Lembaran Negara Nomor 49 Tahun 2003.
Logikanya, sesuai perintah UU Advokat, organisasi advokat yang sah dan diakui oleh negara, adalah Peradi. Apalagi, kepengurusan Peradi sudah berjalan empat periode. Jika saat ini ada empat ketua umum mengatas-namakan kepengurusan Peradi, maka mari kita perhatikan siapa ketua umum yang menerima serah terima dari ketua umum sebelumnya, yang Peradi pertama kali dibentuk sesuai amanat UU Advokat. Namun, logika itu tak sepenuhnya bisa diterima oleh advokat senior, apalagi terjadi penundaan dan permasalahan dengan Munas Peradi tahun 2015 di Makasar. Padahal, seyogyanya penilaian itu dikembalikan kepada UU Advokat sebagai aturan yang tertinggi.
Kondisi organisasi advokat kian pelik lagi, karena persoalannya bukan diselesaikan secara musyawarah dengan mengacu pada UU Advokat, tetapi keberatan itu bergulir di Pengadilan dan sudah mempunyai putusan. Ada dua putusan pengadilan, yang semuanya sepatutnya dihormati tanpa syarat. Musyawarah harus dikedepankan. Namun, hal ini belum juga terjadi, sehingga konflik mengenai organisasi advokat terus berlarut-larut.
Sebenarnya tahun 2019 Kementerian Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) turun tangan, membantu menyelesaikan polemik kepengurusan Peradi dengan membentuk Tim Sembilan, yang mewakili tiga kepengurusan Peradi. Tim ini tak menemukan titik temu, sehingga organisasi advokat pun masih terus carut-marut. Apalagi, salah seorang anggota Tim Sembilan pun “tak tahan” dan membentuk kepengurusan baru, yaitu Peradi Pergerakan.
Tim Sembilan memang tak sepenuhnya mandiri dan independen, karena masih ada campur tangan dari kepengurusan masing-masing. Untuk masalah organisasi advokat, semestinya juga tidak perlu campur tangan pemerintah, karena acuan dan aturannya sudah sangat jelas, yakni UU Advokat yang sudah lama diperjuangkan oleh para advokat di negeri ini. Langkah terbaik untuk menyelesaikan persoalan organisasi advokat, adalah munas luar biasa dengan tanpa syarat apapun. Munaslub untuk mewujudkan organisasi advokat single bar, wadah tunggal Peradi seperti yang sejak awal disepakati, setelah UU Advokat terlahir.
Baca Juga: Negara Tidak Boleh Membiarkan Organisasi Advokat Terbelah
Peradi organ negara
Oleh karena dibentuk berdasarkan UU, sebagai wadah tunggal advokat, Peradi adalah organ negara. Kekurang-pemahaman dari sejumlah advokat, menyebabkan timbul pertanyaan, jika Peradi, adalah organ negara seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman (MA), mengapa tak dilantik oleh Presiden? Peradi sebagai wadah tunggal advokat, adalah juga salah satu pilar penegak hukum yang sama kedudukannya dengan Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman, tetapi kepengurusannya tidak dilantik oleh Presiden, sebab mengacu kepada UU Advokat, profesi ini mempunyai makna yang bebas, mandiri, dan independen. Advokat juga tidak menerima gaji atau menggunakan uang APBN sebagai penghasilan/pendapatannya, karena mendapatkan honorarium berdasarkan kesepakatan dengan kliennya sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 UU Advokat.
Peradi bukan satu-satunya organ negara yang kepengurusannya tidak dilantik oleh Presiden. Ada juga Dewan Pers, yang pembentukannya mengacu dan berdasarkan pada UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Oleh karena sifat pers atau pekerja media (wartawan) yang menjadi tulang punggung Dewan Pers itu harus merdeka, mandiri, independen, dan tidak boleh ada campur tangan dari pemerintah, bahkan menjadi pengontrol kekuasaan, termasuk pemerintah, anggota Dewan Pers pun tidak dilantik oleh Presiden. Dewan Pers didukung aparatur sipil negara (ASN) serta menerima dana APBN untuk gaji pegawai dan operasionalnya, tetapi anggota Dewan Pers tak mendapatkan gaji dari APBN.
Advokat muda, baik yang masih muda usianya atau belum lama disumpah sebagai advokat, sebenarnya sangat berharap, bahkan memohon kepada advokat senior untuk mengakhiri konflik maupun kepengurusan ganda organisasi advokat. Mohon advokat senior untuk merenung, introspeksi diri, melakukan tindakan nyata untuk menjaga integritas dan kredibilitas advokat, baik di mata sesama rekan advokat, klien, masyarakat, dan mitra internasional. Buang egomu. Kembali ke khittah, ke aturan dasar yang membuat advokat dan organisasi advokat diakui setara dengan pilar penegak hukum lainnya, yakni UU Advokat. UU No. 18/2003 itu hingga kini masih berlaku, sehingga seharusnya menjadi jalan untuk menyelesaikan berbagai persoalan terkait advokat.
Advokat senior, mari saling memaafkan dan kembali bersama-sama membangun Peradi dan marwah profesi advokat. Bersama-sama memberikan darma bhakti untuk negeri ini, yang kini dalam kondisi tidak sedang baik-baik saja, akibat pandemi, krisis dan konflik internasional, serta persoalan lainnya. Bergandengan tangan, mewujudkan Indonesia yang berkeadilan sosial, menjadi teladan bagi advokat muda, serta menegakkan kehormatan diri, sehingga dikenang sebagai advokat yang menjadi pemersatu negeri. Hentikan saling mencaci atau menyerang kehormatan pribadi. Sesungguhnya kita sesama advokat, adalah saudara dalam mewujudkan keadilan, sebelum langit benar-benar runtuh.
Nur Setia Alam Prawiranegara SH MKn
Advokat Anggota Peradi