Ketum Peradi: Negara Jangan Membiarkan Organisasi Advokat Terbelah
Ketua Umum Peradi Otto Hasibuan mengkritik wacana yang disampaikan Menkumham Yasonna Laoly untuk membuat organisasi advokat menjadi sistem ”multibar”. Perubahan dinilai bisa berimbas pada kualitas advokat.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia Otto Hasibuan berharap negara tidak membiarkan terus-menerus organisasi advokat terbelah. Dia menegaskan bahwa untuk menjaga kualitas dan integritas advokat, Indonesia membutuhkan sistem single bar.
Single bar adalah mengembalikan organisasi advokat ke dalam satu rumah. Sistem itu dinilai dapat menjaga akuntabilitas standardisasi profesi, pengawasan, dan penindakan terhadap advokat yang nakal.
Otto Hasibuan dalam acara Peluncuran Logo dan Toga Baru Advokat, di Jakarta, Kamis (10/6/2021) malam, mengatakan, sesuai UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Indonesia menganut sistem single bar. Artinya, hanya ada satu organisasi yang memiliki kewenangan untuk melakukan uji kompetensi profesi advokat. Ini bertujuan agar proses seleksi advokat, sebelum disumpah di pengadilan tinggi, berkualitas. Sebab, ada standardisasi dan kualifikasi yang jelas sebelum calon advokat lolos.
Namun, yang terlihat saat ini, justru praktik multibar yang terlihat. Tanpa ada standardisasi yang jelas untuk menguji calon advokat. Bahkan, di organisasi lain di luar Peradi, dengan mudahnya memberi surat pengantar sumpah jabatan, tanpa melalui uji kompetensi calon advokat. Menurut dia, ini merusak kualitas dan citra advokat di tengah masyarakat. Ketika advokat tidak kompeten yang dirugikan adalah masyarakat pencari keadilan.
”Peradi berjuang bukan untuk Peradi dan advokat saja, tetapi untuk kepentingan pencari keadilan. Sebagai penegak keadilan, advokat itu harus primus interpares atau terbaik dari yang terbaik. Kalau advokat tidak berkualitas, yang rugi adalah para pencari keadilan,” kata Otto.
Acara tersebut juga dihadiri oleh sejumlah tokoh seperti Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, anggota Komisi Yudisial Amzulian Rifai, serta beberapa ketua pengadilan tinggi dan negeri di Jakarta.
Otto tidak mempermasalahkan perihal banyaknya organisasi yang menaungi advokat di Indonesia. Sebab, hal itu dilindungi oleh konstitusi sebagai bagian dari kebebasan berserikat dan berkumpul. Namun, dia berharap pemerintah tak membiarkan organisasi advokat terbelah.
Pemerintah harus memberi perhatian terhadap advokat sebagai pilar penegak keadilan. Idealnya adalah dengan memberikan satu kewenangan kepada organisasi advokat yang berwenang mengatur segala urusan tentang advokat, di antaranya uji kompetensi, pengawasan, dan penindakan perilaku advokat.
”Diperlukan organisasi tunggal yang berwenang mengatur segala urusan tentang advokat. Dengan demikian, kualitas advokat bisa terjaga,” kata Otto.
Otto pun menyayangkan wacana yang disebut oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Rabu (9/6/2021) lalu. Saat itu, anggota Komisi III DPR membahas tentang urgensi pembahasan revisi UU Advokat dalam Prolegnas 2021.
Yasonna mengatakan, ada wacana untuk membuat organisasi advokat menjadi sistem multibar. Sebab, menurut dia, selama ini organisasi yang mewadahi profesi advokat sulit untuk disatukan. Dia bersama Menko Polhukam Mahfud MD pernah menyatukan dua organisasi Peradi. Namun, pasca-penandatanganan nota kesepahaman, dua organisasi Peradi tetap berjalan sendiri-sendiri.
”Karena sulit sekali menyatukan organisasi advokat, kita buat sistem multibar atau banyak organisasi advokat yang resmi diakui. Tetapi, nanti dibuat konsorsium yang berwenang untuk mengurusi masalah advokat,” kata Yasonna.
Otto Hasibuan mengkritik wacana tersebut. Menurut dia, wacana multibar muncul karena DPR dan pemerintah kurang paham dengan seluk-beluk permasalahan advokat. Sistem multibar, lanjutnya, sama saja menafikan UU Advokat.
Di negara demokrasi, sistem multibar memang bisa diterapkan. Namun, jika semua organisasi advokat diberi kewenangan sama, terutama soal menguji kompetensi calon advokat, yang terjadi adalah standardisasi uji kompetensi yang tidak sama. Misalnya, jika untuk lolos menjadi advokat di Peradi membutuhkan tujuh tahapan seleksi, di organisasi lain hanya tiga tahapan. Bahkan, ada yang berani langsung memberi surat pengantar sumpah di pengadilan tinggi tanpa melalui uji kompetensi.
”Selain itu, kalau ada pelanggaran etik atau perilaku advokat, siapa yang mengawasi? Penegak hukum hakim, polisi, jaksa saja ada yang mengawasi. Masa advokat dibiarkan semau dan sesuka sendiri. Bisa rusak nanti hukum di Indonesia,” kata Otto.
Otto mengingatkan, advokat bukanlah profesi yang main-main. Advokat adalah penegak hukum yang menjalankan sistem hukum di Indonesia.
Dalam menangani perkara, bahkan advokat mengawal sejak awal di penyidik sampai putusan pengadilan. Karena itu, advokat perlu dilindungi oleh negara. Dengan segala permasalahan yang ada saat ini, Otto berharap negara tidak menutup mata. Negara harus intervensi dan tidak boleh membiarkan organisasi advokat terbelah.
”Advokat memiliki potensi membelokkan atau meluruskan hukum. Itulah kekuatan dari advokat. Oleh karena itu, negara tidak boleh membiarkan organisasi advokat terbelah. Single bar is a must,” kata Otto.