Bukan karena Disorot AS, Dewas KPK Dituntut Tegas Tangani Kasus Lili
Prestasi dan kinerja KPK yang dinilai sudah relatif baik belakangan ini harus dijaga dan dipertahankan. Jangan sampai marwah lembaga antirasuah ini ternoda pelanggaran kode etik pimpinannya.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dugaan pelanggaran etik oleh unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Lili Pintauli Siregar, menjadi sorotan dalam laporan tentang Praktik Hak Asasi Manusia 2021 yang dirilis Biro Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Perburuhan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Dewan Pengawas KPK dituntut untuk tegas menangani kasus dugaan pelanggaran etik tersebut, bukan karena disorot AS, tetapi untuk menjaga marwah lembaga antirasuah ini.
Seperti disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, Minggu (17/4/2022), KPK mesti menyikapi isu penegakan etik tersebut secara bijak. Bukan karena disoroti oleh AS, tetapi karena dugaan pelanggaran etik pimpinan KPK itu merupakan isu di dalam negeri. KPK dituntut bersikap bijak dengan menyelesaikan dugaan pelanggaran etik itu secara transparan. Jika memang dalam laporan terbaru ditemukan bukti, Lili Pintauli harus dijatuhi sanksi.
”Dewas (Dewan Pengawas) harus menunjukkan sikap tegas kepada publik. Kalau Lili Pintauli salah harus dijatuhi sanksi, tapi kalau benar harus dibela. Jangan sampai terjadi distrust atau demoralisasi terhadap KPK,” ujar Mahfud.
Mahfud menegaskan, prestasi dan kinerja KPK yang sudah baik belakangan ini harus dijaga dan dipertahankan. Dia mengibaratkan kinerja dan prestasi KPK sebagai lukisan. Jangan sampai lukisan yang sudah bagus ternoda oleh tetesan cat yang tidak perlu.
Lili Pintauli kembali dilaporkan kepada Dewas KPK karena diduga melakukan pelanggaran kode etik. Lili diduga menerima fasilitas akomodasi berupa hotel serta tiket menonton ajang balap MotoGP Mandalika pada 18-20 Maret 2022 dari salah satu perusahaan BUMN.
Sebelumnya, Lili juga diputus bersalah telah melakukan pelanggaran kode etik karena menjalin komunikasi dengan M Syahrial, Wali Kota Tanjung Balai yang tengah beperkara di KPK. Pelanggaran etik itulah yang disorot dalam Laporan Praktik HAM 2021 Departemen Luar Negeri AS.
Dewas (Dewan Pengawas) harus menunjukkan sikap tegas kepada publik. Kalau Lili Pintauli salah harus dijatuhi sanksi, tapi kalau benar harus dibela. Jangan sampai terjadi distrust atau demoralisasi terhadap KPK.
Sorotan tentang Lili Pintauli tercantum di halaman 36 Laporan Praktik HAM 2021 yang dipublikasi di situs resmi Kedutaan Besar AS untuk Indonesia, Rabu (13/4/2022) lalu. Laporan yang dikeluarkan secara rutin setiap tahun oleh Departemen Luar Negeri AS itu memuat situasi HAM di negara-negara yang mendapatkan bantuan dari AS dan juga negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dalam laporan itu sebenarnya disoroti banyak hal, terutama temuan masyarakat sipil Indonesia tentang kemunduran penegakan hukum di KPK akibat revisi Undang-undang KPK. LSM dan aktivis berpendapat bahwa kemampuan KPK untuk menyelidiki kasus korupsi terbatas karena badan pengawasnya dipilih dan ditunjuk oleh presiden. Selain itu juga karena kini KPK tidak sepenuhnya bersifat independen karena menjadi bagian dari cabang kekuasaan eksekutif.
Kemudian, secara khusus, laporan itu juga menyebut tentang pelanggaran etik yang dilakukan oleh Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar. Lili divonis bersalah pada 30 Agustus 2021 atas pelanggaran etik dalam penanganan kasus suap yang melibatkan Wali Kota Tanjung Balai Muhammad Syahrial. Dewas KPK memutus Lili bersalah melakukan kontak yang tidak pantas dengan subyek penyelidikan untuk keuntungan pribadinya sendiri. Lili kemudian dikenai sanksi pemotongan gaji 40 persen selama setahun.
Menanggapi laporan itu, Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, pandangan luar negeri terhadap isu pemberantasan korupsi di Indonesia menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi merupakan isu global yang butuh perhatian dan kerja sama semua pihak. Tidak hanya antar-pemangku kepentingan pada lingkup domestik, tetapi juga pada tataran global. Oleh karena itu, secara kelembagaan KPK menghormati pandangan dari Departemen Luar Negeri AS.
”KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia pun turut aktif dalam berbagai forum internasional. Baik dalam konteks penyusunan kebijakan pencegahan dan pendidikan antikorupsi, pertukaran data dan informasi, maupun penanganan perkara lintas yurisdiksi,” ujar Ali.
Dalam berbagai forum internasional, lanjutnya, KPK bahkan beberapa kali berbagi tentang praktik terbaik (best practice)pemberantasan korupsi di Indonesia, baik melalui pendekatan pendidikan, pencegahan, maupun penindakan. KPK juga terbuka terhadap praktik terbaik pemberantasan korupsi di luar negeri untuk dapat diadopsi dan diterapkan di Indonesia. Sebab, selama ini Indonesia juga telah mendapatkan banyak manfaat dari kerja sama global, seperti pengusutan perkara serta pemulangan dan pemulihan aset di luar negeri untuk dimasukkan ke kas negara.
Terkait dengan sorotan AS terhadap isu penegakan kode etik, dengan payung hukum Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, Dewas KPK telah menyusun kode etik secara cermat dan telah melakukan penegakan secara profesional dan independen. Dewas KPK juga memastikan pihak-pihak yang telah terbukti melakukan pelanggaran untuk melaksanakan sanksi dan hukuman yang dijatuhkan oleh Dewas KPK.
”Berbagai dialektika dan diskursus ini kami menyakini sebagai langkah penguatan pemberantasan korupsi demi memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat,” kata Ali.
Didesak mundur
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan, sebagai negara maju dan modern, AS sangat memedulikan pola dan perilaku etik pemimpin suatu negara, termasuk dalam pemberantasan korupsi. Standar negara demokrasi yang menjunjung tinggi HAM adalah menjaga integritas pejabatnya, baik dari pelanggaran norma maupun kode etik. Sorotan AS terhadap perilaku Lili Pintauli, menurut Boyamin, wajar karena menurut standar AS, hal itu merupakan hal yang aneh dan janggal. Tak lazim seorang pejabat negara melanggar kode etik, tetapi tidak mundur dari jabatannya.
”Apalagi berulang-ulang, (Lili Pintauli Siregar) tidak hanya melanggar etik, tetapi dengan tebal muka tidak mundur, tetap bertahan di jabatannya,” kata Boyamin.
Boyamin meminta, setelah menjadi sorotan dunia internasional itu, Lili Pintauli mundur dari KPK.
Peneliti Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan, sorotan AS terhadap KPK, terutama soal pelanggaran etik yang dilakukan Lili Pintauli Siregar, adalah hal yang sangat memalukan. Hal ini dapat dipahami karena sebelum UU KPK direvisi, KPK menjadi rujukan bagi lembaga antikorupsi dunia. Tahun 2013 lalu, KPK bahkan pernah menjadi satu-satunya lembaga yang menerima penghargaan Ramon Magsaysay Award di Filipina. Saat itu, KPK dinilai memiliki rekam jejak yang impresif dalam pemberantasan korupsi. Selain itu, KPK juga dinilai sebagai lembaga independen yang berhasil mengampanyekan gerakan antikorupsi di Indonesia.
”Bertolak belakangnya situasi KPK hari ini berbanding lurus dengan tindakan komisioner KPK yang semakin banyak kontroversinya. Wajar jika kemudian diulas di berbagai negara, termasuk AS,” kata Kurnia.
Ulasan khusus soal pelanggaran etik Lili tersebut, kata Kurnia, juga bisa dinilai menurunkan kepercayaan publik dalam negeri ataupun luar negeri terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Bahkan, jika Departemen Luar Negeri AS ingin lebih detail lagi, tidak hanya Lili yang melanggar kode etik. Ketua KPK Firli Bahuri juga telah dinyatakan melanggar kode etik saat melakukan ziarah makam dengan menyewa pesawat jet pribadi.
”Tidak hanya Lili, Ketua KPK sendiri juga pernah dinyatakan melanggar kode etik meski hanya dijatuhi teguran sanksi tertulis. Rasa-rasanya ini belum pernah terjadi pada komisioner KPK sebelumnya,” ujar Kurnia.
Khusus untuk dugaan penerimaan gratifikasi tiket dan akomodasi MotoGP oleh Lili Pintauli, Kurnia berpadangan bahwa seharusnya dugaan itu tidak hanya diselidiki secara etik. Menurut dia, hal itu bisa diselidiki secara pidana karena berkaitan dengan dugaan korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 12B UU Tipikor disebutkan, gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Dikhawatirkan ada transaksi yang terjadi antara Lili dan pihak pemberi gratifikasi.
”Seharusnya yang bergerak tidak hanya Dewas KPK, tetapi juga Kedeputian Penindakan KPK, atau bahkan penegak lain. Ini supaya memperjelas apakah itu hanya gratifikasi atau sudah mengarah pada suap,” kata Kurnia.