Delapan Jam Masuk Kerangkeng di Langkat, Penghuni Meninggal
Fakta baru ditemukan dalam kasus penganiayaan hingga meninggal di kerangkeng di rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana. Ada korban meninggal hanya 8 jam setelah masuk kerangkeng.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
STABAT, KOMPAS — Fakta-fakta baru ditemukan dalam kasus penganiayaan hingga meninggal di kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin-Angin. Ada korban yang meninggal hanya 8 jam setelah diserahkan keluarga ke panti rehabilitasi narkoba ilegal itu. Ada korban penganiayaan dan kerja paksa terhadap anak berusia 17 tahun.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Sumatera Utara Komisaris Besar Hadi Wahyudi mengatakan, mereka mendapat fakta baru setelah menggali makam Dodi Santoso (26), warga Desa Lau Lugur, Kecamatan, Salapian, Langkat.
”Dari keterangan keluarga, korban diantar ke kerangkeng pada pagi dan sorenya sudah meninggal,” kata Hadi, Sabtu (16/4/2022).
Keterangan keluarga tersebut sangat penting untuk membuktikan adanya penganiayaan hingga meninggal di kerangkeng tersebut. Pembongkaran kembali makam Dodi dilakukan Polda Sumut, Kamis (14/4), untuk menindaklanjuti temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Awalnya, penyidik Polda Sumut mendapat informasi bahwa Dodi meninggal setelah satu bulan menghuni kerangkeng. Namun, keterangan keluarga menyebut Dodi hanya bertahan selama 8 jam di kerangkeng itu.
Dodi diantarkan oleh ayahnya ke kerangkeng pada 12 Februari 2018 pagi hari dalam keadaan sehat. Ia berharap, anaknya bisa sembuh dari kecanduan narkoba. Panti rehab itu dipilih karena tidak memungut biaya.
Sore harinya, anaknya sudah diantar ke rumah dalam keadaan meninggal. ”Kuat dugaan korban meninggal karena dianiaya,” kata Hadi.
Keluarga pun tidak melapor ke polisi karena telah menandatangani surat perjanjian untuk tidak menuntut panti rehab jika ada yang meninggal atau sakit. Padahal, menurut Hadi, tindak pidana tidak bisa berlindung di balik surat perjanjian. Penyidik pun saat ini masih menunggu kesimpulan hasil otopsi untuk mencocokkan dengan keterangan saksi.
Kuat dugaan korban meninggal karena dianiaya. (Hadi Wahyudi)
Dodi merupakan korban ketiga yang dibongkar makamnya. Pada Februari lalu, polisi sudah membongkar dua makam korban, yakni Abdul Sidik Isnur (39), warga Kelurahan Sawit Seberang, Kecamatan Sawit Seberang, serta Sarianto Ginting (35), warga Desa Purwobinangun, Kecamatan Sei Bingei.
Sarianto meninggal tiga hari setelah masuk kerangkeng pada Juni 2021. Sementara Abdul meninggal tujuh hari setelah masuk pada Februari 2019.
Penyidik pun menyimpulkan keduanya meninggal karena penganiayaan. Satu korban lagi meninggal tahun 2015 dengan inisial U tidak dibongkar makamnya karena keluarga tidak mengizinkan.
Penganiayaan anak
Hadi mengatakan, mereka juga mendalami temuan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang menyebut ada korban yang masih berusia anak yang mendapat penyiksaan dan kerja paksa.
”Korban berinisial D, berusia 17 tahun. Punggungnya dicambuk hingga robek dan lebam. Wajahnya juga dipukul hingga lebam,” ujarnya.
Hadi menyebut, D juga dipaksa makan cabai dan garam. Ia dimasukkan ayahnya ke kerangkeng dari Februari hingga Juni 2021 karena kenakalan remaja. Ia juga dipekerjakan di pabrik kelapa sawit milik Terbit tanpa upah.
Penyelidikan dugaan penganiayaan hingga meninggal dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) itu dilakukan Polda Sumut setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan dua ruangan mirip penjara saat menggeledah rumah Terbit, dalam penyelidikan kasus korupsi, Rabu (19/1/2022).
Saat ditemukan, ruangan itu dihuni 57 orang. Sedikitnya 656 orang tercatat pernah menghuni panti rehabilitasi narkoba ilegal itu sejak tahun 2010.
Penyidik Polda Sumut telah menetapkan Terbit sebagai tersangka TPPO dan penganiayaan hingga meninggal. Delapan lainnya telah ditetapkan menjadi tersangka, yakni HS, IS, TS, RG, JS, SP, HG, dan DP yang merupakan anak Terbit.
Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Mohammad Choirul Anam mengatakan, mereka berkoordinasi dengan Polda Sumut agar semua kasus yang ditemukan diungkap. Hal ini penting agar semua korban mendapat keadilan dan gambaran kasus bisa dilihat secara menyeluruh.
Pengacara delapan tersangka, Sangap Surbakti, mengatakan, mereka akan menghadapi kasus tersebut di persidangan. Ia pun tidak memberikan tanggapan tentang penyidikan kasus itu.