Kejaksaan Buru Kerugian Negara dalam Kasus Garuda hingga ke Luar Negeri
Salah satu opsi yang mungkin ditempuh ialah melalui gugatan arbitrase. Langkah ini akan dilakoni setelah putusan pengadilan membuktikan kerugian negara pada kasus Garuda mengalir ke pihak penyedia pesawat di luar negeri.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam perkara dugaan korupsi pengadaan pesawat di PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tahun 2011-2021, sebagian besar kerugian negara disinyalir mengalir kepada pihak penyedia pesawat yang berbasis di luar negeri. Untuk memaksimalkan pemulihan kerugian negara tersebut, kemungkinan akan digunakan mekanisme gugatan ke pengadilan arbitrase.
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Supardi, Selasa (5/4/2022) malam, menyampaikan, dalam perkara dugaan korupsi pengadaan pesawat di Garuda Indonesia, penyidik masih memeriksa saksi-saksi. Supardi memastikan bahwa perkara tersebut akan segera diselesaikan dan dilimpahkan kepada jaksa penuntut umum.
”Masih proses penyidikan, tetapi sudah semakin mengerucut selesainya (pemberkasan) perkara. Semisal nanti ada (dugaan) tindak pidana pencucian uang, akan disidik sambil jalan,” ujar Supardi.
Menurut dia, dugaan terjadinya gratifikasi dalam proses pengadaan pesawat di Garuda Indonesia tersebut merupakan modus terjadinya kerugian keuangan negara. Proses pengadaan dilakukan tanpa memenuhi kaidah yang berlaku, mulai dari studi kelayakan, analisis kebutuhan pesawat, hingga mitigasi risiko dalam pengadaan barang dan jasa.
Sebaliknya, pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600 sudah diarahkan untuk memenangkan pihak penyedia barang dan jasa tertentu, yakni Bombardier Inc dan Avions de Transport Regional. Sementara jumlah kerugian keuangan negara masih dihitung Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Pihak kejaksaan menyebutkan bahwa biaya untuk pengadaan pesawat saja mencapai Rp 3,6 triliun.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangani perkara suap pembelian pesawat dan mesin pesawat dengan menyeret bekas Direktur Utama Garuda Indonesia periode 2005-2014, Emirsyah Satar, ke penjara. Ia dinilai terbukti bersalah menerima suap dari Direktur Utama PT Mugi Rekso Abadi, Soetikno Soedarjo, dan melakukan pencucian uang.
Menurut Supardi, dalam perkara yang ditangani kejaksaan, penyidik tidak lagi fokus untuk mendalami perkara suap atau gratifikasi, tetapi pada kerugian keuangan negara atau perekonomian negara agar dapat memulihkan aset secara maksimal.
Namun, pihaknya sudah menyadari bahwa kemungkinan besar sebagian kerugian negara itu mengalir kepada pihak-pihak yang berada di luar negeri. Oleh karena itu, salah satu solusi yang mungkin ditempuh adalah menggunakan mekanisme yang diakui dunia internasional, yakni melalui gugatan arbitrase. Namun, hal itu baru akan dilakukan jika nantinya terbukti melalui putusan di pengadilan.
"Semisal kick back (uang) bagi mereka yang di Indonesia itu kecil, berarti, kan, (sebagian besar) uangnya mengalir ke sana (ke luar negeri). Ini (proses) panjang (untuk gugatan arbitrase)," kata Supardi.
Proses pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600 diduga telah menguntungkan beberapa pihak, yakni perusahaan Bombardier Inc di Kanada dan perusahan Avions de Transport Regional (ATR) di Perancis selaku pihak penyedia barang dan jasa. Pihak yang diuntungkan lainnya adalah perusahaan Alberta SAS yang berbasis di Perancis dan Nordic Aviation Capital (NAC) yang berbasis di Irlandia selaku lessor atau pihak yang memberikan pembiayaan pengadaan pesawat.
Secara terpisah, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, menyampaikan, saksi terbaru yang diperiksa dalam perkara dugaan korupsi di Garuda adalah HAP selaku Direktur Sumber Daya Manusia dan Umum PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Tahun 2013.
Sebelumnya, penyidik memeriksa empat saksi, salah satunya adalah IS, Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk saat ini. Tiga saksi lainnya adalah WA selaku Komisaris PT Garuda Indonesia (persero) Tbk tahun 2013, BR selaku Komisaris PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tahun 2013, dan VY selaku Senior Manager Marketing Research PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tahun 2005-2015.
Menurut Ketut, keempat saksi tersebut diperiksa terkait proses pengadaan pesawat yang dilakukan di Garuda Indonesia. ”Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan,” kata Ketut.