Ombudsman Tunggu Presiden Jatuhkan Sanksi ke KPK dan BKN
”Ini sudah sesuai dengan perintah UU ORI, kalau ada rekomendasi tidak dijalankan, ORI menyampaikan laporan ke Presiden dan DPR,” ujar Ketua Ombudsman RI M Najih soal rekomendasi ORI kepada KPK dan BKN.
Oleh
IQBAL BASYARI, NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lebih dari enam bulan setelah Ombudsman RI memberikan rekomendasi tentang alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi aparatur sipil negara, pihak-pihak terkait belum melaksanakan rekomendasi tersebut. Ombudsman menunggu langkah Presiden Joko Widodo dalam memberikan sanksi administrasi kepada Pimpinan KPK dan Kepala Badan Kepegawaian Negara sesuai usulan ORI.
Surat perihal laporan mengenai tidak dilaksanakannya rekomendasi Ombudsman RI (ORI) dan usulan pengenaan sanksi administrasi kepada Ketua DPR dan Presiden ditandatangani oleh Ketua ORI Mokhammad Najih, 29 Maret 2022. Dalam surat itu disebutkan, rekomendasi ORI tertanggal 15 September 2021 belum dilaksanakan oleh Ketua dan atau Pimpinan KPK serta Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Oleh karena itu, ORI mengusulkan kepada Presiden untuk memberikan sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang ORI karena rekomendasi itu sifatnya wajib dilaksanakan. Adapun sanksi yang dikenakan sampai dengan pembebasan jabatan.
”Ini sudah sesuai dengan perintah UU ORI, kalau ada rekomendasi tidak dijalankan, ORI menyampaikan laporan ke Presiden dan DPR,” ujar Najih, Minggu (3/4/2022).
Anggota ORI, Robert Na Endi Jaweng, menambahkan, hampir semua rekomendasi dijalankan oleh terlapor. Sangat jarang rekomendasi ORI tidak dijalankan sehingga pihaknya harus bersurat ke Presiden dan Ketua DPR. Jika ORI tidak mengirim surat tersebut, ORI justru bisa disalahkan karena proses ini telah diatur dalam UU.
Kepada Presiden, ORI berharap bisa menjatuhkan sanksi administrasi yang sesuai. Sementara kepada Ketua DPR diharapkan menjalankan fungsi pengawasan kepada mitra kerja agar taat perundang-undangan dengan menjalankan rekomendasi ORI. ”Presiden dan tim akan melihat sanksi apa yang sesuai untuk diterapkan,” kata Robert.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengatakan, surat dari ORI akan disikapi terlebih dahulu oleh Pimpinan DPR karena yang dituju adalah Ketua DPR Puan Maharani. Biasanya surat seperti itu akan dibahas di rapat pengganti Badan Musyawarah DPR. ”Komisi III DPR akan menindaklanjuti surat tersebut jika memang hasil rapat pengganti Bamus DPR menugaskan Komisi III DPR untuk mem-follow up-nya,” ucapnya.
Jika diberikan mandat, lanjut Arsul, Komisi III DPR akan segera mengadakan rapat dengan KPK dan ORI untuk mendalami permasalahan tidak dilaksanakannya rekomendasi tersebut. Pihaknya akan berupaya mencari kemungkinan penyelesaian yang baik atas permasalahan ini agar tidak berlarut.
”Penyikapan terhadap masalah ini, menurut hemat saya, tidak bisa hanya dengan KPK. Sebab, keputusan yang menyangkut nasib sejumlah pegawai KPK itu dulu dibuat lintas kementerian/lembaga,” ujarnya.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, pada prinsipnya KPK menghormati penyampaian surat tersebut. Namun, pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN yang telah dilantik per 1 Juni 2021 yang lalu sudah melalui tahapan yang sesuai landasan hukum, mekanisme, serta pelibatan instansi yang memiliki kewenanganan dan kompetensi dalam rangkaian proses pengalihan tersebut.
”Proses ini juga telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi sebagai institusi yang punya kewenangan dalam pengujian UU. Di mana MK menyatakan dengan tegas bahwa tes wawasan kebangsaan pegawai KPK dalam proses pengalihan status menjadi ASN adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945,” katanya.
Selain itu, lanjut Ali, Mahkamah Agung juga menilai bahwa desain pengalihan pegawai KPK menjadi ASN telah mengikuti ketentuan dalam UU No 5/2014 tentang ASN dan peraturan pelaksanaannya. Sementara Komisi Informasi Pusat (KIP) telah secara obyektif memberikan putusannya dalam sidang sengketa informasi terkait proses pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN. Putusan KIP menguatkan bahwa pengelolaan data dan informasi yang dilakukan KPK terkait proses pengalihan pegawainya menjadi ASN telah taat prosedur dan sesuai koridor pengelolaan Informasi publik.
”KPK berharap semua pihak menghormati keputusan-keputusan tersebut, sekaligus menunggu proses pengujian yang sedang berlangsung di Pengadilan Tata Usaha Negara,” ujarnya.
Sementara itu, hingga Minggu malam, Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerjasama BKN Satya Pratama belum memberikan jawaban. Mereka masih menyusun jawaban untuk menanggapi rekomendasi ORI kepada BKN.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengatakan, rekomendasi ORI sifatnya wajib dilaksanakan. Jika tidak dijalankan, UU Pelayanan Publik memberikan kewenangan kepada atasan terlapor untuk memberikan sanksi administrasi hingga pembebasan jabatan atau pemberhentian dari jabatan.
Menurut dia, Presiden bisa memberhentikan Kepala BKN sesuai usulan dari ORI, karena berada di bawah Presiden. Sementara bagi pimpinan KPK, ia menilai Presiden tidak dapat memberhentikan. Sekalipun berada di rumpun kekuasaan eksekutif, KPK merupakan lembaga independen dan bukan bawahan Presiden.
Salah satu solusi jika usulan tidak dijalankan ialah melaporkan Pimpinan KPK ke Dewan Pengawas KPK karena melanggar etik akibat tidak melaksanakan UU. Jika diputus melanggar etik berat, sanksi yang dijatuhkan bisa memerintahkan pimpinan KPK mundur.
Namun, lanjut Zaenur, tidak ada konsekuensi hukum bagi Presiden jika tidak menjalankan usulan pengenaan sanksi administrasi kepada Kepala BKN ataupun pimpinan KPK. ”Usulan pengenaan sanksi ini sangat bergantung kepada iktikad baik dari Presiden untuk melaksanakan usulan dari ORI. Tidak ada konsekuensi hukum apa pun bagi Presiden,” ucap Zaenur.