Sudah 61 Saksi Diperiksa, Tersangka Kasus Paniai Diumumkan Awal April
Penyidik perkara dugaan pelanggaran HAM berat di peristiwa Paniai akan segera menetapkan tersangka. Penanganan kasus Paniai diharapkan menjadi pintu masuk penuntasan perkara pelanggaran HAM berat lainnya.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setidaknya sudah 61 saksi yang diperiksa penyidik Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia atau HAM berat di Paniai, Papua, tahun 2014. Keterangan dari para saksi dinilai sudah lengkap sehingga penyidik akan mengumumkan tersangka yang harus bertanggung jawab atas peristiwa yang menyebabkan lima warga sipil meninggal itu pada awal April.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana, Jumat (25/3/2022), menyampaikan, sejak awal Januari hingga saat ini, penyidik dari Direktorat HAM Berat pada Jampidsus Kejagung telah memeriksa 61 saksi yang terkait dengan perkara dugaan pelanggaran HAM Berat di Paniai tahun 2014. Terakhir pada Kamis (24/3/2022), seorang saksi berinisial H diperiksa penyidik di Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat.
”Berdasarkan hasil ekspose yang telah dilakukan pada minggu ini, tim jaksa penyidik akan segera menentukan tersangka pada awal April 2022,” kata Ketut sebagaimana disampaikan dalam keterangan tertulis.
Ketut mengatakan, ke-61 saksi tersebut memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Enam saksi di antaranya merupakan saksi ahli. Mereka adalah ahli forensik yang mengambil visum korban dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Paniai, ahli balistik pengujian senjata api, ahli hukum humaniter, ahli HAM yang berat, ahli legal forensik, serta ahli hukum militer.
Sementara, 55 saksi lainnya berasal dari berbagai unsur, yakni 8 dari kalangan masyarakat sipil, 24 orang dari unsur TNI, 17 orang dari unsur kepolisian, dan 6 orang merupakan bagian dari tim investigasi yang dibentuk Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Secara terpisah, Wakil Ketua Eksternal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin Al Rahab mengatakan, jika proses penyidikan sampai pada penentuan tersangka dan kemudian berlanjut ke penuntutan di pengadilan, hal itu menjadi penanda bagi masyarakat Indonesia bahwa Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM masih ada. Kini, masyarakat menantikan penetapan nama tersangka dalam perkara tersebut.
Kami berharap Jaksa Agung lebih menunjukkan komitmennya dalam menjalankan UU No 26/2000 terhadap peristiwa pelanggaran HAM berat yang lain. Karena Peristiwa Paniai ini baru langkah awal dari pemerintahan ini untuk menuntaskan peristiwa pelanggaran HAM berat yang lain.
Seiring dengan itu, proses penegakan hukum terhadap peristiwa Paniai juga memperlihatkan peluang bagi pengusutan dugaan pelanggaran HAM berat lainnya. ”Kami berharap Jaksa Agung lebih menunjukkan komitmennya dalam menjalankan UU No 26/2000 terhadap peristiwa pelanggaran HAM berat yang lain. Karena Peristiwa Paniai ini baru langkah awal dari pemerintahan ini untuk menuntaskan peristiwa pelanggaran HAM berat yang lain,” kata Amiruddin.
Selain peristiwa Paniai, terdapat 12 dugaan pelanggaran HAM berat lain. Di antaranya peristiwa Jambu Keupok, Aceh, tahun 2003; peristiwa Wasior 2001; dan peristiwa Wamena 2003. Ketiga peristiwa tersebut terjadi setelah UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM terbit.
Sembilan peristiwa lain terjadi sebelum diterbitkannya UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Antara lain peristiwa 1965-1966; penembakan misterius 1982-1985; peristiwa Talangsari, Lampung 1989; dan kasus Rumah Geudong pada era Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh 1989-1998. Selain itu, ada kasus penculikan dan penghilangan orang 1997-1998; kasus kerusuhan Mei 1998; peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II pada 1998-1999; peristiwa Simpang KKA 1999; peristiwa dukun santet, ninja dan orang gila di Banyuwangi 1998-1999.
Menurut Amiruddin, proses penyidikan yang dilakukan Jaksa Agung sampai saat ini patut diapresiasi. Sebab, proses tersebut menunjukkan adanya upaya untuk penegakan hukum terhadap peristiwa HAM berat secara bertahap.
Salah satu peristiwa pelanggaran HAM berat yang penting untuk segera dituntaskan adalah peristiwa Jambu Keupok, Aceh, yang terjadi pada 2003. Penuntasan kasus tersebut penting untuk menunjukkan komitmen negara sekaligus memperkuat perdamaian di Aceh pasca-Kesepakatan Helsinski yang ditandatangani pada 2005.