Resolusi Konflik di Papua Harus Ditangani Lebih Sistematis
Komisioner Komnas HAM, Amiruddin, mendorong Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengoordinasikan penanganan persoalan di Papua. Pendekatan holistik diperlukan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Untuk mengatasi eskalasi konflik bersenjata di Papua, pemerintah diharapkan dapat menerapkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Undang-undang ini diharapkan mampu menangani konflik bersenjata secara lebih sistematis.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Amiruddin Al Rahab, Selasa (8/3/2022), mengatakan, sebagai ketua pengarah percepatan pembangunan di Papua, Wakil Presiden Ma’ruf Amin seharusnya bisa lebih mengoordinasikan penanganan permasalahan di Papua. Dengan perkembangan situasi keamanan di Papua, semestinya Wapres mengambil langkah sinergis menyelesaikan masalah itu.
Apalagi, saat ini, konflik bersenjata di Papua sudah lintas kabupaten. Dibutuhkan institusi atau lembaga yang lebih tinggi untuk menangani konflik tersebut, ”UU tentang Penanganan Konflik Sosial mungkin bisa dipakai agar penanganan di Papua lebih tersistematis dan tidak sporadis. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan juga bisa mengambil alih kendali di lapangan agar Menteri Sosial bisa menyediakan bahan logistik pangan untuk dikirim ke daerah yang terdampak pengungsi,” kata Amiruddin.
Pada Rabu (2/3/2022), kelompok kriminal bersenjata (KKB) menyerang pekerja PT Palapa Timur Telematika, pemenang tender proyek Palapa Ring, yang memperbaiki menara base transceiver station (BTS) untuk jaringan telekomunikasi 4G di Distrik Beoga Barat, Kabupaten Puncak. Delapan dari sembilan pekerja meninggal dalam serangan itu. Sehari kemudian KKB menyerang 11 petugas Pos Koramil Danber. Prajurit Satu Heriyanto mengalami luka tembak di bagian leher.
Amiruddin menambahkan, atas nama HAM, pemerintah bisa melakukan langkah-langkah penyelesaian secara formal. Apalagi, hal itu sudah diamanatkan di UU dan juga aturan turunan lainnya. Dengan demikian, atas nama kemanusiaan, pemerintah bisa memberikan perhatian kepada masyarakat Papua. Harapannya, apabila komunikasi bisa dijalin secara intensif, kepercayaan masyarakat Papua bisa dikembalikan.
”Jika langkah-langkah itu dilakukan, mungkin masyarakat bisa pelan-pelan menumbuhkan rasa kepercayaan terhadap pemerintah pusat,” ucap Amiruddin.
Persoalannya, mengurai permasalahan Papua pada hari ini tidaklah mudah. Amiruddin menggambarkan rasa kepercayaan masyarakat Papua sudah mulai memudar. Terutama karena ada trauma masa lalu yang tak kunjung disembuhkan.
Oleh karena itu, terhadap proses hukum penuntasan dugaan pelanggaran HAM berat Paniai, misalnya, Kejaksaan Agung harus bisa mengomunikasikan langkah apa saja yang telah dilakukan selama 90 hari penyidikan. Hal itu dinilai penting untuk membangun kepercayaan masyarakat Papua dalam proses hukum dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu.
”Mudah-mudahan dengan itu semua, semua pihak bisa mencari ruang jalan penyelesaian yang lebih baik. Masyarakat Papua bisa mengapresiasi dan terbuka jalan untuk resolusi konflik bersenjata di Papua,” lanjut Amiruddin.
Sementara itu, dalam diskusi daring ”Konsolidasi Akademisi Papua dan Papua Barat: Pembangunan dan Resolusi Konflik Papua”, peneliti masalah Papua dari Universitas Cenderawasih, Elvira Rumkabu, menyampaikan, pendekatan pembangunan infrastruktur di Papua belum secara signifikan berkorelasi positif terhadap penyelesaian konflik bersenjata di Papua.
Padahal, harapan terbesar dari warga sipil yang terdampak konflik adalah perdamaian. Elvira berharap, pemerintah dapat mengevaluasi pendekatan pembangunan dan pendekatan keamanan yang dijalankan di Papua. ”Operasi penegakan hukum, labelisasi teroris, kekerasan politik, masalah pengungsian, penembakan terhadap warga sipil, semua harus diselesaikan agar tidak menjadi trauma dan lingkaran kekerasan yang tidak selesai di Papua,” kata Elvira.