BPJS Kesehatan Jadi Syarat Transaksi, Pemerintah Lihatlah Kondisi Rakyat
Komunitas Peduli BPJS Kesehatan sedang mempelajari lebih lanjut Inpres No. 1/2022, yang mensyaratkan bukti kepesertaan JKN untuk jual beli tanah, dan berencana mengajukan Hak Uji Materiil ke Mahkamah Agung (MA).
Oleh
Johan Imanuel
·5 menit baca
Pengantar: Harian Kompas dan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) bekerja sama untuk melakukan pendidikan hukum dan menumbuhkan kesadaran hukum dalam masyarakat, melalui konsultasi hukum yang dimuat di Kompas.id setiap hari Sabtu dan Kabar Hukum. Kabar hukum menjadi wadah bagi anggota Peradi untuk menuangkan pemikirannya, baik berbentuk opini/artikel atau rilis/berita. Untuk Konsultasi Hukum, warga bisa mengajukan pertanyaan terkait persoalan hukum melalui e-mail: hukum@kompas.id dan kompas@kompas.id, yang akan dijawab oleh sekitar 50.000 anggota Peradi. Untuk Kabar Hukum, anggota Peradi bisa mengirimkannya pada alamat email yang sama. Terima kasih
JAKARTA, KOMPAS -- Komunitas Peduli Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menilai Pemerintah mulai kehabisan akal dalam menutup defisit dana BPJS Kesehatan. Apalagi dengan mewajibkan para pihak dalam transaksi jual beli wajib memiliki kepesertaan BPJS Kesehatan. Hal itu dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Dermanto Turnip, Perwakilan Komunitas Peduli BPJS Kesehatan mengatakan, Inpres ini dinilai memberatkan para pihak dalam peralihan hak atas tanah. "Hal ini aneh, kalau tidak kepesertaan BPJS Kesehatan, masa menjadikan batal transaksinya. Padahal, syarat jual beli sudah sah kalau terpenuhi syarat sahnya perjanjian, sesuai Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata, baik syarat subyektif maupun obyektif," jelasnya di Jakarta, Sabtu (19/2/2022).
Sementara itu, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti mengatakan, dalam Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), kepesertaan BPJS adalah wajib bagi warganegara Indonesia. Dengan kepesertaan BPJS Kesehatan, masyarakat tidak akan mengalami keterlambatan dalam mendapatkan penanganan Kesehatan, jika sakit.
Berbicara kepada media di Rumah Sakit Universitas Negeri 11 Maret (RS UNS) Surakarta, Jawa Tengah, Sabtu (19/2), Ali Ghufron menjelaskan, untuk mengoptimalisasi pelaksanaan program JKN, Presiden Joko Widodo menerbitkan Inpres Nomor 1 Tahun 2022. Ada sekitar 30 Kementerian dan Lembaga untuk mengambil langkah sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing untuk mendorong optimalisasi program JKN. Inpres itu ditandatangani Presiden Jokowi pada 6 Januari 2022.
Pada pengantar Inpres itu, khususnya butir kedua ayat ke-17, disebutkan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk memastikan pemohon pendaftaran peralihan hak tanah, karena jual beli, merupakan peserta aktif dalam program JKN.
Mengenai jual beli tanah dengan melampirkan Salinan kepersertaan BPJS Kesehatan, lanjut Ali rencananya dimulai pada Maret 2022. Kepesertaan BPJS Kesehatan di Indonesia sekarang mencapai 235 juta, dan diharapkan pada tahun 2024 minimal 98 persen penduduk negeri ini sudah menjadi anggota BPJS Kesehatan.
BPJS Kesehatan mencatatkan aset neto mencapai Rp 37,92 triliun per 30 November 2021. Kondisi keuangan yang kian sehat ini mesti dimanfaatkan untuk meningkatkan mutu layanan kesehatan masyarakat, terutama aspek promosi kesehatan dan pencegahan penyakit. Sebelumnya, pada 2020, aset neto BPJS Kesehatan defisit Rp 5,69 triliun dan pada 2019 defisit Rp 51 triliun. Ini pertama kalinya BPJS Kesehatan mencetak aset neto hingga Rp 37,92 triliun selama tujuh tahun beroperasi.
Hingga 30 November 2021, BPJS Kesehatan mencatat penerimaan iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) sebesar Rp 124,89 triliun. Penerimaan iuran diprediksi mencapai Rp 137,42 triliun pada 31 Desember 2021. (Kompas.id, 30/12/2021)
Perwakilan Komunitas BPJS Kesehatan lainnya, Faisal menerangkan, langkah Pemerintah terkait kewajiban menunjukkan kepesertaan aktif JKN untuk transaksi pertanahan bisa dibilang engga nyambung, dan seolah pemerintah putus asa dalam menutup defisit BPJS Kesehatan, sehingga kalau pihak yang ingin melalukan peralihan hak atas tanah harus membayar iuran BPJS Kesehatan lebih dahulu. Apalagi, tak ada pelanggaran hukum oleh warga, jika mereka tidak menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Faisal Juga menerangkan mekanisme balik nama selama ini sudah sesuai dengan dasar hukum yang merupakan turunan dari UU Agraria.
Pada umumnya Balik Nama Serifikat Tanah atas perorangan yang dilakukan di BPN dengan menyerahkan dokumen formil, seperti akta jual beli (AJB) asli yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Salinan kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK), yang disesuaikan aslinya dan fotocopy tersebut dilegalisir oleh BPN. Ditambah dalam pelaksanaan balik nama sertifikat hak milik atas tanah tentunya memiliki Standar Operasional Proses (SOP) yang dapat dilihat pada Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2010. Mengenai pajak atau biaya dalam pelaksanaan balik nama tercantum dalam UU Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB ( Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) yang menegaskan, bahwa “Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan dikenakan terhadap orang.”
“Apakah Pemerintah sudah meneliti kondisi di luar Ibu Kota? Banyak warga yang tinggal di pedesaan, di daerah pegunungan atau daerah yang jauh yang sulit untuk mengakses BPJS Kesehatan, sehingga bila hal itu menjadi persyaratan yang di luar dari persyaratan formil yang pada umumnya, maka itu bisa memberatkan dan menyulitkan masyarakat di wilayah tertentu,” tandas Faisal
Faisal dan rekan Komunitas Peduli BPJS Kesehatan sedang mempelajari lebih lanjut Inpres No. 1/2022 tersebut dan berencana mengajukan Hak Uji Materiil ke Mahkamah Agung (MA). “Kami akan mendalami Inpres tersebut agar dapat kami batalkan melalui Hak Uji Materiil ke MA, karena jelas bertentangan dengan filosofi UU Agraria yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3),” imbuhnya lagi.