Kasus Perindo yang Rugikan Negara Ratusan Miliar Rupiah Segera Disidangkan
Penyidik menyerahkan berkas perkara dan enam tersangka dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan usaha Perum Perindo tahun 2016-2019 kepada penuntut umum. Perkara tersebut menyebabkan kerugian negara ratusan miliar rupiah.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus dugaan korupsi di Perusahaan Umum Perikanan Indonesia atau Perum Perindo yang merugikan keuangan negara ratusan miliar akan segera disidangkan. Penyidik telah melimpahkan berkas perkara beserta enam tersangka kepada jaksa penuntut umum.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Rabu (16/2/2022), dalam keterangan tertulis mengatakan, penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung telah menyerahkan berkas perkara dan enam tersangka dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan usaha Perum Perindo tahun 2016-2019 kepada penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, Penyerahan dilakukan di kantor Kejari Jakut.
Keenam tersangka tersebut adalah Syahrial Japarin (SJ), eks Direktur Utama Perum Perikanan Indonesia periode 2016-2017; Wenny Prihatini (WP), bekas Vice President Perdagangan, Penangkapan, dan Pengelolaan Perum Perindo; Riyanto Utomo (RU), Direktur Utama PT Global Prima Santosa; Nabil M Basyuni (NMB), Direktur PT Prima Pangan Madani; Lalam Sarlam (LS), Direktur PT Kemilau Bintang Timur; serta Irwan Ghazali (IG), selaku pihak swasta.
Leonard menyampaikan, kasus tersebut diduga berawal dari penerbitan surat utang jangka menengah atau medium term notes (MTN) pada 2017 sehingga didapatkan dana segar sebesar Rp 200 miliar. Untuk mendapatkan dana itu, Perum Perindo menjual prospek Perum Perindo dalam hal penangkapan ikan.
Namun, dana yang seharusnya digunakan untuk membiayai perikanan tangkap itu justru digunakan untuk bisnis perdagangan ikan dengan metode jual beli ikan secara putus. Dalam penunjukan mitra bisnis perdagangan ikan, Perum Perindo diduga tidak melakukan analisis usaha, rencana keuangan, dan proyeksi pengembangan usaha.
Bahkan, beberapa bisnis perdagangan ikan tersebut tidak dibuat perjanjian kerja sama, tidak ada berita acara serah terima barang, serta tidak ada laporan jual beli ikan.
”Lemahnya verifikasi syarat pencairan dana bisnis perdagangan ikan dan lemahnya kontrol lapangan dalam penyerahan ikan, timbul transaksi-transaksi fiktif yang dilakukan oleh mitra bisnis perdagangan ikan Perum Perindo,” kata Leonard.
Buntutnya, dari transaksi fiktif itu bermuara pada tunggakan pembayaran oleh mitra bisnis perdagangan ikan Perum Perindo. Jumlah tunggakan itu adalah Rp 176,8 miliar dan 279.891,5 dollar AS atau sekitar Rp 3,9 miliar.
Dengan telah diserahkannya berkas perkara dan para tersangka kepada penuntut umum, persidangan akan segera dilangsungkan. ”Tim jaksa penuntut umum akan segera mempersiapkan surat dakwaan untuk kelengkapan pelimpahan keenam berkas perkara tersebut di atas ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” kata Leonard.
Pembenahan sistem
Secara terpisah, Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) Yenti Garnasih berpandangan, terus berulangnya dugaan kasus korupsi, khususnya di badan usaha milik negara (BUMN), memperlihatkan bahwa terdapat permasalahan dalam sistem, tidak hanya dalam BUMN, tetapi juga pemerintahan, lembaga peradilan, dan khususnya sistem politik.
”Korupsi ini masalah besar. Kelihatannya akar permasalahannya tidak hanya satu meski kemudian pada ujungnya adalah integritas dan moral,” kata Yenti.
Menurut Yenti, persoalan korupsi di BUMN perlu dibenahi mulai dari proses perekrutan para pejabat di BUMN, yakni direksi dan komisaris. Kemudian mesti dibenahi pula penempatan pejabat di Kementerian BUMN.
Yang menjadi masalah, lanjut Yenti, selama ini penempatan pejabat di BUMN ataupun Kementerian BUMN terlihat sebagai bagi-bagi ”kue”. Padahal, seharusnya BUMN diisi oleh para profesional di bidangnya. Yenti menilai, selama ini berbagai kebijakan ataupun proses hukum terlalu menekankan pada pertimbangan aspek politik.
”Karena ini BUMN, kita bicara korporasi, ada kontrak, ada tender yang seharusnya transparan, yang seharusnya hanya berdasarkan kepentingan BUMN itu sendiri, bukan kepentingan politik. Sementara masyarakat hanya menjadi penonton. Sekarang, apakah hanya mau mementingkan politik atau mau membangun bangsa,” ujar Yenti.
Di sisi lain, menurut Yenti, sistem peradilan pidana, khususnya terhadap kejahatan korupsi, tidak memberikan efek jera. Akibatnya, orang menjadi tidak takut untuk melakukan korupsi. Oleh karena itu, Yenti berharap agar pembenahan peradilan pidana dilakukan dengan menerapkan hukuman maksimal bagi pelaku kejahatan korupsi.