Administrasi Perkara Pidana di Kepolisian Masih Lemah
Kepolisian diminta untuk lebih memperbaiki sistem administrasi perkara pidana. Hal itu penting agar kekurangan dalam hal administrasi tidak menjadi alasan para tersangka mengajukan praperadilan
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Survei kepatuhan hukum 2019 yang dilakukan oleh Ombudsman RI menunjukkan bahwa pemenuhan dokumen dalam proses penyidikan perkara pidana masih rendah. Tanpa evaluasi dan perbaikan signifikan, kelemahan dalam administrasi dokumen itu dapat berdampak buruk bagi kepolisian sebab celah ini bisa dimanfaatkan para tersangka untuk mengajukan praperadilan.
Ombudsman RI melakukan survei administratif yang dilakukan terhadap berkas perkara tindak pidana umum yang sudah berkekuatan hukum tetap di peradilan tingkat pertama. Berkas perkara yang dinilai adalah perkara pidana dengan vonis di atas 5 tahun yang diputus dalam kurun waktu 2015-2019. Sampel berkas perkara didapatkan dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan di 11 provinsi di Indonesia. Metode survei menggunakan teknik purposive sampling atau pemilihan sampel berdasarkan tujuan penelitian.
Hasil survei menunjukkan bahwa dalam indikator pemenuhan unsur dokumen, nilai kepolisian di tahap penyidikan paling jeblok, yaitu 31,85 persen. Meskipun jumlah dan lokasi yang disurvei berbeda, indikator unsur pemenuhan dokumen ini juga turun dari hasil survei tahun 2018 ke 2019.
Anggota Keasistenan Utama Substansi III Ombudsman RI, Dhurandhara Try Widigda, dalam rilis survei, Kamis (25/6/2020), mengatakan, survei kepatuhan hukum itu menggunakan pendekatan sistem peradilan pidana terintegrasi. Setiap dokumen dari tahap penyidikan, penuntutan, pengadilan, hingga lembaga pemasyarakatan saling terhubung dalam setiap proses sehingga arsip dokumen administrasi itu ada di setiap lembaga hukum terkait.
”Dalam survei kepatuhan hukum ini, kami melihat dua indikator besar, yaitu ketersediaan dokumen dan pemenuhan unsur dokumen,” kata Dhurandhara.
Anggota Ombudsman RI, Adrianus Meliala, mengatakan, hasil survei menunjukkan bahwa dalam indikator pemenuhan unsur dokumen, nilai kepolisian pada tahap penyidikan paling jeblok, yaitu 31,85 persen. Meskipun jumlah dan lokasi yang disurvei berbeda, indikator unsur pemenuhan dokumen ini juga turun dari hasil survei tahun 2018 ke 2019. Tahun 2018, pemenuhan unsur dokumen di tingkat penyidikan sebesar 46,66 persen.
Jika dilihat lebih rinci, dokumen dalam tahap penyidikan yang kerap terlewatkan itu adalah surat perintah penggeledahan, surat perintah penyidikan, surat panggilan saksi dan ahli, surat perintah penyitaan, surat perintah tugas, surat penunjukan penasihat hukum, berita acara penahanan, surat perintah penahanan, berita acara penyitaan, berita acara penangkapan, dan surat perintah penangkapan.
Adrianus menjelaskan bahwa aspek formil dan materiil sama-sama penting di dalam proses hukum. Dalam bekerja, para penyidik memang kerap tergesa-gesa dan dituntut serba cepat untuk mengungkap perkara. Namun, jika tidak dibenahi, ketidaktertiban administrasi itu juga dapat menjadi bumerang bagi kepolisian. Celah tersebut dapat dimanfaatkan bagi penasihat hukum atau orang-orang yang melek hukum untuk menggugat praperadilan. Tersangka dalam kasus yang disidik polisi pun dapat bebas demi hukum.
”Ini alarm bagi dunia peradilan dan sistem peradilan pidana kita. Cara kerja ini harus diperbaiki agar celah administrasi tidak merugikan masyarakat dan tidak ada celah juga bagi polisi untuk menyalahgunakan wewenangnya,” kata Adrianus.
Dalam bekerja, para penyidik memang kerap tergesa-gesa dan dituntut serba cepat untuk mengungkap perkara. Namun, jika tidak dibenahi, ketidaktertiban administrasi itu juga dapat menjadi bumerang bagi kepolisian. Celah tersebut dapat dimanfaatkan bagi penasihat hukum atau orang-orang yang melek hukum untuk menggugat praperadilan.
Adrianus menambahkan, meskipun dokumen di tingkat penyidikan kerap tidak lengkap, anehnya berkas itu tetap dinyatakan P21 di kejaksaan. Berkas yang sudah lengkap itu kemudian dapat segera dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan. Padahal, selama ini retorika hukum yang dibangun adalah berkas yang sudah lengkap di tingkat penuntutan adalah berkas yang sudah sempurna. Ternyata, hasil survei ini menunjukkan bahwa masih ada celah-celah bolong dari sisi administrasi yang harus diperbaiki bersama para penegak hukum.
”Survei ini hanya melihat ada atau tidaknya dokumen di setiap tahapan hukum. Soal mengapa tidak ada dokumen itu, kemungkinan ada dua, yaitu dokumen tidak ada sejak proses berlangsung atau dalam penyimpanan berkas tidak diarsipkan dengan baik,” ujar Adrianus.
Sementara itu, hasil kepatuhan pemenuhan unsur dokumen di tingkat pemasyarakatan juga masih rendah, yaitu 53,79 persen. Adapun di tingkat penuntutan, tingkat kepatuhan sedang, sebesar 70,62 persen; dan di tingkat peradilan, kepatuhannya tinggi, sebesar 83,39 persen.
Meskipun demikian, dalam indikator lain, yaitu ketersediaan dokumen di tahap penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pemasyarakatan hasilnya cukup memuaskan. Rata-rata lembaga hukum sudah patuh. Pada tahap penyidikan tingkat kepatuhan sebesar 83,39 persen, penuntutan 96,36 persen, peradilan bahkan mencapai 100 persen, dan lembaga pemasyarakatan 86,36 persen.
Ombudsman merekomendasikan kepada kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan agar menaati peraturan perundangan dan peraturan internal administrasi perkara agar tidak terjadi proses mala-adminstrasi.
Dari hasil survei ini, Ombudsman merekomendasikan kepada kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan agar menaati peraturan perundangan dan peraturan internal administrasi perkara agar tidak terjadi proses mala-adminstrasi. Selain itu, tertib administrasi juga meningkatkan integritas aparat penegak hukum. Ke depan, sistem penanganan perkara tindak pidana di setiap lembaga juga harus lebih terintegrasi agar ada fungsi kontrol dalam penanganan perkara.