Cegah Polemik Nazaruddin Terulang, DPR: Perbaiki Sistem Peradilan Pidana
Proses remisi, asimilasi, dan pemberian status ”justice collaborator”, misalnya, seharusnya diputuskan di pengadilan. Kementerian Hukum dan HAM menyebutkan, pembenahan sistem sudah direncanakan dalam RUU Pemasyarakatan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Komisi III DPR meminta ada perbaikan dalam sistem peradilan pidana. Proses remisi, asimilasi, dan pemberian status justice collaborator, misalnya, seharusnya diputuskan di pengadilan.
Sebab, pengambilan hak seseorang hanya dimungkinkan oleh undang-undang atau putusan pengadilan. Pembenahan sekaligus penting agar tidak ada lagi perdebatan antarinstansi seperti terjadi dalam kasus bebasnya terpidana korupsi Nazaruddin. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyebutkan, pembenahan itu sudah direncanakan dalam RUU Pemasyarakatan.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, dalam rapat antara Komisi III dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly, Senin (22/6/2020), mempertanyakan tentang remisi atau potongan masa hukuman selama 4 tahun 1 bulan atau 49 bulan bagi terpidana korupsi Muhammad Nazaruddin.
Remisi itu, di antaranya, remisi khusus hari raya Idul Fitri, remisi umum 17 Agustus, remisi dasawarsa tahun 2015, hingga remisi tambahan donor darah. Nazaruddin juga telah melunasi hukuman pidana denda Rp 1,3 miliar yang dijatuhkan kepadanya (Kompas.com, 18 Juni 2020). Nazaruddin seperti diberitakan, bebas setelah mendapatkan hak cuti menjelang bebas selama dua bulan terhitung sejak Minggu (14/6/2020).
”Bagaimana cara menghitung dua pertiga masa tahanan karena Nazaruddin diadili untuk dua perkara pidana berbeda? Ini penting ke depannya sebagai bentuk politik hukum kita terkait terpidana yang dalam satu masa diadili untuk dua perkara pidana berbeda. Ke depan, politik hukum kita harus jelas,” kata Arsul.
Tak hanya itu, ia mengingatkan agar ke depan politik hukum Indonesia harus lebih jelas. Sistem peradilan pidana yang terintegrasi (integrated criminal justice system) harus secara tegas memisahkan peran antara penyelidik dan penyidik, penuntut, dan pengadil perkara. Begitu pula Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kemenhumkam yang seharusnya hanya berperan sebagai pendukung.
Semestinya, ia melanjutkan, penyelidik, penyidik, dan penuntut tidak boleh ikut campur dalam proses remisi ataupun asimilasi. Yang berhak memutuskan pemotongan masa tahanan adalah pengadilan. Ke depan, penyelidik, penyidik, dan penuntut tidak bisa ikut campur dalam hal tersebut.
Begitu pula yang ditekankan oleh anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari.”Fungsi dari masing-masing lembaga hukum harus didudukkan sesuai kewenangan masing-masing. Pengadilan seharusnya yang berwenang membuat alasan meringankan, memberatkan hukuman, serta pertimbangan pencabutan hak dari warga negara,” tambahnya.
Selain itu, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Muhammad Nasir Djamil, menilai, proses penetapan seseorang sebagai justice collaborator atau membantu penegak hukum dalam membongkar kasus seharusnya dikembalikan pula ke pengadilan. Menurut dia, selama ini ada standar tidak jelas terkait pemberian status tersebut.
Akibatnya, setiap instansi pemerintah berdebat dan membingungkan masyarakat seperti dalam kasus Nazaruddin. Ketidakjelasan penetapan justice collaborator ini, menurutnya, harus diperbaiki dengan aturan undang-undang.
RUU Pemasyarakatan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly sepakat bahwa ke depan Indonesia harus memiliki sistem pemidanaan yang benar. Menurut dia, meskipun dikritik dan banyak penolakan, RUU Pemasyarakatan memiliki semangat untuk membenahi sistem tersebut.
Desain yang dirancang ke depan, kepolisian, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Komisi Pemberantasan Korupsi hanya akan menyidik dan menyelidik perkara. Kemudian, kejaksaan akan menuntut dan pengadilan akan menghukum.
Adapun Ditjen PAS hanya berwenang membina narapidana tersebut. Pembinaan, di antaranya, meliputi hak dikunjungi keluarga, pendidikan, cuti, dan perawatan.
”Pencabutan hak seseorang hanya dimungkinkan oleh UU dan putusan pengadilan. Ke depan, saya kira yang berhak menentukan apakah dia justice collaborator atau tidak adalah pengadilan,” ujar Yasonna.
Dalam kasus Nazaruddin, publik dibuat bertanya-tanya dengan keputusan remisi hukuman empat tahun. Sebab, Ditjen PAS mengklaim bahwa mereka sudah mendapatkan surat keterangan dari KPK bahwa Nazaruddin telah bekerja sama dalam mengungkap beberapa kasus korupsi atau menjadi justice collaborator. Namun, belakangan KPK membantahnya.
Yasonna dalam rapat kembali menjelaskan, dalam hukuman kasus yang pertama untuk Nazaruddin, yaitu perkara korupsi pembangunan wisma atlet di Sumatera Selatan senilai 4,6 miliar, KPK sudah mengeluarkan surat bahwa Nazaruddin bekerja sama untuk membongkar kasus korupsi (justice collaborator). KPK juga mengeluarkan keterangan bahwa Nazaruddin kooperatif sehingga berhak mendapatkan remisi sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012.
Kronologisnya adalah pada tanggal 9 Juni 2014, KPK mengirimkan surat kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin yang menyatakan bahwa Nazaruddin telah menunjukkan sikap kerja sama yang baik dalam mengungkap kasus tindak pidana korupsi pembangunan pusat pendidikan dan pelatihan olahraga. Jadi, sesuai PP 99/2012, Nazaruddin berhak mendapatkan hak remisi. Selain itu, KPK juga kembali mengirimkan surat pada 11 Agustus 2014 yang menyatakan bahwa rekomendasi pemberian remisi diserahkan kepada Dirjen PAS sebagai instansi yang berwenang.
Adapun untuk perkara kedua, yaitu tindak pidana pencucian uang (TPPU), Nazaruddin sudah membayar denda Rp 1 miliar. Pada 2017, KPK kembali mengirimkan surat perihal keterangan bahwa Nazaruddin kooperatif dalam membongkar kasus korupsi. Kemudian, ada pula surat dari Kemenkumham kepada KPK terkait dengan asimilasi, kerja sosial, dan pembebasan bersyarat kepada Nazaruddin. Namun, karena Nazaruddin sudah dinyatakan sebagai justice collaborator, dia berhak mendapatkan remisi setelah menjalani 2/3 masa tahanannya.
”Karena itu adalah high profile case, Dirjen PAS menyurati KPK untuk meminta surat rekomendasi asimilasi kepada KPK. Namun, KPK tidak memberikan rekomendasi sehingga yang bersangkutan tetap di tahanan,” tutur Yasonna.
Kemudian, yang terakhir, sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada 7 April 2020 mengusulkan agar Nazaruddin mendapatkan cuti menjelang bebas. Sidang TPP menyetujui hal tersebut.
Apalagi, Nazaruddin akan habis masa tahanannya pada 13 Agustus 2020. Jadi, berdasarkan Pasal 103 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat, Nazaruddin berhak mendapatkan hak cuti menjelang bebas selama dua bulan.
”Dua bulan lagi beliau bebas, jadi ini merupakan cuti adaptasi sebelum hidup di luar tahanan,” kata Yasonna.