Remaja Masjid, Gaul dengan Jazz
Ramadhan Jazz Festival lahir sebagai negasi bahwa remaja masjid itu tidak gaul. Acara ini pun menyelipkan donasi sosial.
Ramadhan Jazz Festival lahir dari keresahan remaja masjid yang kerap dicap tidak keren oleh publik. Karena label ini, anak muda jadi berpikir dua kali untuk berorganisasi di masjid. Paduan kegiatan sosial dan musik pun dipilih untuk menegasikan label tersebut.
Ramadhan Jazz Festival 2024 yang berlangsung pada 29-30 Maret 2024 ditutup dengan keriaan para pengunjung yang rata-rata berasal dari Jabodetabek. Senyum bercampur letih tampak di wajah mereka seusai menonton para artis di hari kedua: Dwiki Dharmawan bersama Iwan Abdie dan Fakhri Violin, Nadhif Basalamah, The Groove bersama Tiara Effendy, serta Marcel Siahaan.
Pada hari pertama, acara ini dimeriahkan oleh Alfie Alfandy, Maliq & D’Essentials, Salma Salsabil, Bilal Indrajaya, dan Ecoutez. Bisa dibilang acara jazz di pelataran Masjid Cut Meutia ini adalah hiburan yang ditunggu-tunggu kaum Muslim seusai shalat Tarawih.
Acara ini sebetulnya tidak khusus untuk umat Islam saja. Siapa pun boleh hadir asal berpakaian sopan. Maklum, walau judulnya festival musik, tetap saja acara ini diadakan di rumah ibadah.
Festival musik di masjid memang tak lazim. Ramadhan Jazz Festival bahkan diklaim sebagai acara jazz satu-satunya yang diadakan di pelataran masjid. Walau ide ini ”radikal”, nyatanya Ramadhan Jazz Festival berhasil merebut hati para pengunjung selama 14 tahun terakhir.
Perwakilan Yayasan Masjid Cut Meutia, M Pradana Indraputra, mengatakan, ide ini muncul lantaran remaja masjid kerap dianggap tidak keren. Label ini membuat ia dan teman-temannya memutar otak agar anak muda mau datang ke masjid. Mereka tak mesti jago mengaji atau rajin shalat, tetapi minimal mau menjejakkan kaki di masjid.
”Di zamanku, tantangan remaja masjid adalah suka dianggap remeh, dan maaf, kampungan. Enggak trendi. Ibaratnya, masuk organisasi remaja masjid itu enggak menarik bagi orang,” ucap Pradana di Jakarta, Jumat (29/3/2024). Ia adalah bagian dari Remaja Islam Masjid Cut Meutia (RICMA) sekitar satu dekade lalu.
Muncullah ide untuk membuat acara musik di pelataran masjid. Ia mengatakan, mereka terinspirasi dari Java Jazz Festival yang sangat populer.
”Waktu itu ada yang setuju dan tidak setuju,” ucap Pradana. ”Ramadhan Jazz Festival akhirnya dibuat di pelataran masjid habis shalat Tarawih. Maksudnya, agar shalat dulu, habis itu kita nonton acara musik,” kata Pradana yang juga salah satu inisiator Ramadhan Jazz Festival.
Baca juga: Mereka yang Senantiasa Menjaga Masjid dengan Ikhlas
Keinginan tersebut berhasil diwujudkan. Shalat Tarawih di bulan Ramadhan selalu menjadi teaser untuk Ramadhan Jazz Festival yang berlangsung setelahnya. Ibaratnya, pesta boleh berjalan, tetapi shalat tak boleh ketinggalan.
Ramadhan Jazz Festival digelar untuk pertama kalinya pada 2011 di pelataran Masjid Cut Meutia, Jakarta. RICMA, yang tidak tahu bagaimana cara menyelenggarakan festival jazz, lantas mengontak WartaJazz melalui Twitter (Sekarang X). Ajakan kolaborasi dari RICMA disambut baik oleh WartaJazz. RICMA dan WartaJazz bahkan tetap bermitra di 2024.
Donasi
Saat pertama kali diselenggarakan, Ramadhan Jazz Festival bisa diakses secara gratis. Sebagai ganti tiket masuk, pengunjung diminta untuk mendonasikan buku.
”Gagasan RJF (Ramadhan Jazz Festival) itu syiar (Islam). Jadi, memang motifnya bukan komersial. Di tahun pertama, kami enggak pakai sistem ticketing. Terus saya pikir, kalau hanya digratiskan kok ada yang kurang. Jadi, diusulkan untuk mengganti tiket masuk dengan donasi buku,” ujar CEO WartaJazz Agus Setiawan Basuni, Sabtu (30/3).
Donasi buku kembali dilakukan pada gelaran RJF berikutnya. Pada RJF 2012, penyelenggara bekerja sama komunitas Sabantara dari Universitas Indonesia untuk mengirimkan hasil donasi buku ke Nusa Tenggara Timur.
Berbagai ide untuk donasi pun muncul setelahnya. Pada RJF 2017, penyelenggara kembali menggratiskan akses masuk, tetapi pengunjung diharapkan berdonasi lewat donor darah, buku, mainan, atau infak (Kompas.id, 9/6/2017).
”Biasanya stok darah di PMI (Palang Merah Indonesia) menurun pas Ramadhan. Jadi, kami merespons situasi dengan donor darah sebagai pengganti tiket masuk,” kata Agus.
Pada gelaran RJF di 2019, donasi yang terkumpul sebanyak Rp 165 juta. Donasi itu disalurkan, antara lain, ke Yayasan Kanker Cancer Information and Support Center (CISC) (Kompas, 2/6/2019).
Baca juga: Ramadhan Jazz Festival, dari Dunia Musik untuk Palestina
Berbeda dengan gelaran-gelaran sebelumnya, RJF 2024 hanya bisa diakses jika pengunjung membeli tiket yang harganya tak sampai Rp 100.000 per hari. Pendapatan dari penjualan tiket bakal didonasikan ke Palestina melalui Danone-AQUA.
”Kami sudah berkabar dengan Kedutaan Besar Palestina di Indonesia untuk mengabari bahwa kami akan donasi ke sana,” kata Ketua Umum RICMA M Ridho Dafiutomo.
Donasi untuk RJF sebetulnya telah dilakukan dengan banyak cara. Selama ini, sejumlah penampil enggan menerima bayaran atas penampilannya. Ada juga yang mau menyesuaikan tarif untuk tampil.
Ridho menambahkan, RJF juga jadi media mempererat harmoni masyarakat. Beda agama maupun beda pilihan politik tak lagi jadi soal jika dipersatukan dalam musik. Mendiang Glen Fredly, misalnya, hampir tidak pernah absen mengisi panggung RJF.
Di RJF 2019, Glenn Fredly yang tak merayakan Lebaran, mengatakan bahwa festival ini memberi kesempatan untuk merayakan begitu banyak hal yang patut dirayakan. ”Salah satunya kebaikan,” kata Glenn.
Bangunan cagar budaya
RJF di sisi lain juga memberi kesempatan bagi publik untuk mengenal Masjid Cut Meutia yang juga bangunan cagar budaya. Bangunan ini dikenal dengan nama Boplo dan dibangun pada abad ke-20. Bangunan ini mulanya kantor bagi NV De Bouwploeg, sebuah perusahaan pengembang kawasan Nieuw Gondangdia (kini Menteng) pada 1912. Bangunan ini didesain oleh PAJ Moojen yang juga perancang kawasan Menteng.
Sebelum menjadi masjid, bangunan ini pernah menjadi kantor pos pembantu dan pernah digunakan Angkatan Laut Jepang pada masa Perang Dunia II. Bangunan ini juga pernah digunakan Perusahaan Jawatan Kereta Api hingga 1957. Pada 1957-1964, bangunan ini digunakan sebagai kantor dinas perumahan.
Dewan Perwakilan Gotong Royong (DPR GR) serta Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pernah berkantor pula di Boplo hingga 1970. Setelahnya, Kantor Urusan Agama menggunakan bangunan ini hingga 1985, lalu bangunan ini difungsikan sebagai masjid hingga sekarang.
Acara musik di pelataran bangunan cagar budaya—sekaligus rumah ibadah—juga pernah berlangsung di Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel, Jakarta. Pihak gereja menggelar konser Jazz Goes to Immanuel pada 12-14 Agustus 2022 dengan 20 penampil, seperti Gerald Situmorang, Tompi, Monita Tahalea, dan Barry Likumahuwa. Pendapatan dari konser digunakan buat memelihara gedung gereja yang dibangun pada tahun 1834-1839 itu.
Butuh dana besar untuk merawat gedung tersebut, setidaknya Rp 1 miliar per tahun. Gereja sempat direvitalisasi pada 2021 dengan bantuan Pemprov DKI Jakarta, tetapi kondisi gedung yang baik diperkirakan hanya bertahan tiga tahun pascarevitalisasi. Rencana perawatan gedung mesti dipikirkan sejak dini sehingga dibuatlah konser penggalangan dana.
Baca juga: Melebur dalam Liukan Nada Jazz