GPIB Immanuel di Jakarta menggelar konser Jazz Goes to Immanuel pada 12-14 Agustus 2022. Dana yang terkumpul akan digunakan untuk memelihara gedung gereja yang merupakan bangunan cagar budaya berusia 183 tahun.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
Jazz sempat dikenal sebagai musiknya priyayi kota ketika berkembang di Indonesia beberapa dekade silam. Orang yang mengerti dan suka jazz dipandang berkelas.
Mungkin, jika itu masih terjadi di zaman sekarang, anak muda bakal berceletuk sarkastis, “Si Paling Jazz.” Namun, jazz kini telah melebur ke berbagai lapis masyarakat dan genre musik, tidak lagi eksklusif. Gereja berusia 183 tahun di pusat kota Jakarta bisa bersaksi soal itu.
Orang-orang tua, muda, berjilbab, berkalung salib, harum minyak wangi, hingga beraroma minyak angin datang ke pelataran Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel di kawasan Gambir, Jakarta Pusat akhir pekan lalu. Ada konser Jazz Goes to Immanuel pada 12-14 Agustus 2022 di sana.
Ada 20 musisi yang memeriahkan konser, seperti Barry Likumahuwa, Echa Soemantri, Tompi, Gerald Situmorang, Monita Tahalea, Sri Hanuraga, Nonaria, dan Saxx in the City. Tidak semuanya musisi jazz. Ada juga band bercorak pop D’masiv. Ada lagi yang aksi panggungnya memadukan jazz dan rap.
Sama seperti esensi jazz, yakni improvisasi, para musisi bebas “memainkan” panggung agar hidup. Musisi Barry Likumahuwa, misalnya, saat sedang asyik membetot bas tiba-tiba berseru, “All the way from NYC, please welcome, Joey Alexander!”
Penonton yang hadir di Sabtu (13/8/2022) balik berseru sambil tepuk tangan. Penonton tidak menyangka bakal kedatangan Joey, pianis muda kelahiran Indonesia yang pernah menembus nominasi Grammy Awards.
Joey langsung duduk di belakang kibor. Jari-jarinya menari lincah di atas tuts hingga liukan nada-nada jazz terdengar. Barry membalas dengan betotan bas yang tak kalah asyik pula. Sesi jamming Barry-Joey berlangsung sekitar lima menit, lantas diakhiri gestur respek dari keduanya. Joey kembali naik ke panggung saat Echa Soemantri dan Tompi tampil.
Kendati konser bertema jazz, berbagai genre musik melebur dalam satu panggung. Jazz kini menjadi musik yang luwes, tidak lagi kaku seperti zaman dulu. Keluwesan jazz lantas dikembangkan, tidak hanya ke spektrum musik, namun pemanfaatannya sebagai media menggalang dana.
Penggalangan dana
Pihak gereja menggelar konser ini untuk menggalang dana perawatan gedung gereja. Kebetulan GPIB Immanuel ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya nasional. Butuh dana besar untuk merawat gedung, setidaknya Rp 1 miliar per tahun.
Gereja sempat direvitalisasi pada 2021 dengan bantuan Pemprov DKI Jakarta. Namun, kondisi gedung yang baik diperkirakan hanya bertahan tiga tahun pascarevitalisasi. Rencana perawatan gedung ke depan mesti dipikirkan dari sekarang. Karena itu, konser pun diadakan.
Selama ini, pihak gereja menggalang dana dari jemaat untuk memelihara gereja. Namun, upaya ini belum cukup.
Masyarakat umum kemudian diajak untuk terlibat merawat bangunan cagar budaya. Setelah bangunan ditetapkan sebagai cagar budaya, gereja bukan lagi milik jemaat saja, tapi juga masyarakat.
Penggalangan dana ini juga mencontoh sejarah pembangunan gereja di abad ke-19. Pada tahun 1830-an, muncul wacana membangun gereja untuk umat Kristen Belanda di Batavia.
Biaya pembangunan gereja saat itu 150.000 gulden yang dikumpulkan dari umat Lutheran (40.000 gulden), umat Hervorm (40.000 gulden), pemerintah kolonial (50.000 gulden), dan sumbangan Belanda (20.000 gulden).
Gereja lantas dibangun pada 1834-1839. Pada 24 Agustus nanti, GPIB Immanuel genap berusia 183 tahun. Sebelumnya, gereja diberi nama Willemskerk untuk menghormati Raja Willem I, Raja Belanda pada 1813-1840. Pada tahun 1984, gereja ini dinamai Immanuel.
Revitalisasi
Ketua IV Pelaksana Harian Majelis Jemaat GPIB Immanuel Jakarta Rico JPH Sihombing mengatakan, upaya revitalisasi gedung gereja sudah berlangsung sejak 2006. Revitalisasi dimulai dengan mencari gambar kerja gereja hingga ke Belanda, namun tidak ditemukan. Pihak gereja akhirnya menggandeng sejumlah pakar, termasuk arsitek almarhum Han Awal. Gambar kerja gereja akhirnya dibuat ulang dari nol.
Perbaikan di sana-sini juga dilakukan bertahap. Sebelumnya, kondisi gedung gereja tidak begitu baik. Kusen kayu seberat sekitar satu ton rapuh dimakan rayap. Padahal, kusen itu termasuk struktur penopang. Selain itu, cat pada tubuh gedung mengelupas.
“Bangunan ini berpori sehingga kami perlu menggunakan cat khusus produksi Jerman. Harga cat itu mahal sekali,” kata Rico.
“Kusen pintu juga butuh biaya besar saat diperbaiki. Menurut penelitian, kayu yang digunakan sebelumnya hanya ada di Seram (Maluku). Akhirnya kami ganti dengan kayu jati yang paling mendekati dengan kayu aslinya, lalu diperkuat dengan struktur baja. Itu sendiri menghabiskan biaya sekitar Rp 1 miliar,” tambahnya.
Ketua Majelis Jemaat GPIB Immanuel Abraham Ruben Persang mengatakan, biaya pemeliharaan juga didapat dari penyewaan gedung untuk masyarakat non-jemaat gereja, misalnya untuk menggelar pernikahan. Ada juga pihak swasta yang menyewa gedung gereja.
Saat dihubungi terpisah, Kepala Pusat Konservasi Cagar Budaya DKI Jakarta Linda Enriany mengatakan, konser jazz di Gereja Immanuel sesuai dengan Tim Sidang Pemugaran DKI Jakarta yang merekomendasikan pemanfaatan gedung. Namun, pihak penyelenggara tetap mesti memperhatikan keamanan bangunan dari potensi kerusakan.
Konser penggalangan dana ini juga diapresiasi. Dengan demikian, bangunan cagar budaya dapat membiayai dirinya sendiri agar tetap terawat. Tidak semua bangunan cagar budaya dalam kondisi terawat.
Menurut Linda, tidak semua pengelola atau pemilik bangunan punya dana. Adapun tanggung jawab pengelolaan bangunan cagar budaya ada di tangan pengelola atau pemilik bangunan, sesuai UU Cagar Budaya.
Kepala Bidang Pelindungan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Norviadi Setio Husodo menambahkan, pemilik atau pengelola bangunan bisa mengajukan bantuan dana ke pemerintah. Permohonan untuk bangunan cagar budaya tingkat daerah bisa diajukan ke pemprov, sementara cagar budaya nasional ke pemerintah pusat.
Jazz Goes to Immanuel diharapkan bisa menggalang dana setidaknya Rp 1 miliar. Kalau pun tak tercapai, konser ini diharapkan terselenggara lagi tahun depan dan merangkul lebih banyak orang. Semoga keluwesan jazz tidak terbatas hanya di liukan nada-nadanya, tapi juga untuk kelestarian bangunan tua ini. In jazz, we trust…